Allah dan Para Malaikat

Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar bershalawat (mendo'akan kebaikan) bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia” [HR at-Tirmidzi (no. 2685) dan ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 7912)].

Jumat, 20 Desember 2013

Fitnah Ketampanan Pria bagi Wanita dan Pria Lain


“Suatu malam,” tutur Ibnu Sirin sebagaimana dinukil Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin, “Umar bin Khathab R.a meronda. Lalu terdengar seorang wanita yang bersenandung rindu.”
adakah caraku untuk minum khamr
ataukah jalan yang kan menghantar
diriku kepada putera Hajjaj, si Nashr?
Mendengar itu, Umar bin Khathab R.a berkata pada dirinya sendiri, “Tidak akan terjadi selagi Umar masih hidup.”
Maka, pada pagi harinya Umar bin Khathab R.a mengirim seorang utusan untuk memanggil seseorang yang bernama Nashr bin Hajjaj. Nashr adalah lelaki yang sangat tampan, bahkan mungkin paling tampan di kota Madinah kala itu. Selain itu, ia juga shalih dan bersifat kalem. Ketampanannya menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah, kata Umar bin Khathab R.a.
Lantas, Umar bin Khathab R.a pun menggunduli Nashr dengan maksud untuk menghilangkan atau mengurangi ketampanannya. Namun, ternyata Nashr makin tampak tampah, gagah, dan jantan.
“Pergilah dan jangan menetap di Madinah,” kata Umar bin Khathab R.a. Ia pun mengirim si lelaki tampan itu ke Basrah di Irak.
Di Basrah, Nashr menginap di rumah Mujasyi’ bin Mas’ud. Rumah itu adalah rumah yang bahagia. Isteri Mujasyi’ merupakan wanita yang cantik. Celakanya, Nashr jatuh hati pada isteri Mujasyi’ yang cantik itu, dan lebih anehnya cinta Nashr pun berbalas dari isteri Mujasyi’. Jika Nashr dan Mujasyi’ berbincang-bincang, maka sang isteri pun turut  bersama keduanya.
Suatu hari, mereka berbincang bertiga. Nashr menulis di atas tanah sebuah pernyataan. Kemudian isteri Mujasyi’ pun menulis jawaban yang sama. Mujasyi’ yang setengah buta huruf pun merasa curiga dengan tulisan sang isteri, “Begitu pula saya.”
Mujasyi’ tidak tertarik untuk turut menulis karena ia  setengah buta huruf. Di undangnya seorang penulis dan menyuruhnya membaca tulisan di tanah itu. “Sesungguhnya,” kata si penulis itu membacakan tulisan Nashr, “Aku masih mencintaimu, yang andaikan cinta ini ada di atasmu, maka dia akan memayungimu. Dan jika cinta ini ada di bawahmu, maka ia akan menyanggamu.” Sebuah syair sajak yang romantis.
Nashr mengetahui apa yang dilakukan Mujasyi’. Maka ia pun merasa sangat malu. Dia meninggalkan rumah Mujasyi’ dan tinggal sendirian. Lama-lama badannya lemah dan kurus seperti anak burung kelaparan. Mujasyi’ dan isterinya mengetahui hal ini. Maka, atas dasar rasa kasihan Mujasyi’ menyuruh isterinya datang mengobati Nashr.
“Pergilah,” kata Mujasyi pada isterinya, “Sandarkan Nashr padamu dan  berilah dia makanan dengan tanganmu sendiri.”  Sang isteri menolak melakukan itu. Namun, Mujasyi’ tetap meminta isterinya melakukan hal itu. Betapa gembira Nashr melihat kedatangan perempuan yang dicintainya. Maka, segeralah sesudah diobati ia beranjak sembuh. Dengan kepedihan karena tak bisa menyemikan rasa cintanya Nashr bin Hajjaj pergi meninggalkan Basrah. Kota dimana ia mencintai seseorang yang tidak berada dalam satu ruang pernikahan yang sama.”
Kisah ini juga ditulis Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syar’iyah-nya.
Di dalam Al Qur’an, surat Yusuf, disebutkan kisah Nabi Yusuf A.s yang terkenal paling tampan:
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang dzalim tiada akan beruntung.” (QS Yusuf 23)
Dan wanita-wanita di kota berkata: “Istri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.” Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” (QS Yusuf 30-31)

Fitnah Bagi Pria Lain

Sebagian ulama mengharamkan khalwat (mojok) bersama pemuda yang sedang tumbuh jenggot, di dalam rumah, di kedai, atau di tempat pemandian di-Qiyas-kan kepada larangan berkhalwat dengan wanita. Di antara para pemuda yang sedang tumbuh jenggot itu ada yang ketampanannya melebihi kecantikan seorang wanita. Maka fitnahnya pun lebih besar. Sebab ada satu kejahatan yang bisa dilakukan berhubungan dengannya yang tidak bisa dilakukan berhubungan dengan wanita. Juga ada kejahatan yang lebih mudah dilakukan berhubungan dengannya dibandingkan jika dilakukan berhubungan dengan wanita. Jadi pantas saja jika ini lebih diharamkan.
Umar bin Al Khathab R.a dalam Talbis Iblis, berkata, “Tidaklah datang kepada seorang alim dari tujuh perkara yang akan menghancurkan yang lebih ditakutkan atas dirinya dari seorang anak yang berparas seperti wanita.”
Abus Sa’ib Rahimahullah dalam Dzammul Hawa, berkata, “Benar-benar aku lebih merasa takut atas seorang ahli ibadah dari fitnah seorang anak laki-laki yang berparas wanita di bandingkan tujuh puluh gadis.”
Fath Al Mushili Rahimahullah dalam Dzammul Hawa, juga berkata, “Aku berteman dengan tiga puluh dari ulama yang mulia, semuanya memberikan wasiat kepadaku ketika berpisah agar aku tidak berteman dengan anak laki-laki yang masih muda.”
Ibnul Jauzi Rahimahullah, berkata, “Suatu kaum tidak bermaksud menyengaja berteman dengan al murdan (lelaki muda yang sedang tumbuh jenggot). Hanyalah mereka mendidik anak tersebut untuk bertaubat dan bersifat zuhud, kemudian mereka menemaninya dengan tujuan untuk memberikan kebaikan kepadanya. Kemudian iblis membuat perkara yang samar kepada mereka, dan mengatakan: jangan kalian mencegahnya dari perkara yang baik! Kemudian mereka berulang kali memandang kepadanya dengan tidak sengaja dan berkobarlah fitnah di dalam qalbu mereka, sampai setan mampu menjerat mereka sesuai dengan kemampuannya. Terkadang mereka yakin dengan agama mereka sendiri, maka setan membinasakan mereka dan melemparkan mereka ke dalam maksiat yang paling dalam sebagaimana yang dilakukan terhadap Barshisha.”
Barshisha adalah ahli ibadah dari Bani Isra’il yang kufur disebabkan jeratan iblis dan tipu daya mereka yang dilakukan dengan bertahap.
Al Hafizh Ibnul Qayyim, dalam Ghadul Bashar, berkata, “Dan faedah menundukan pandangan, berlipat-lipat dari apa yang telah kami sebutkan. Hanyalah kami memberikan peringatan yang keras atas permasalahan tersebut, terlebih dalam masalah melihat kepada sesuatu yang tidak dijadikan oleh Allah jalan untuk bisa ditunaikan hajat kepadanya secara syari’at, seperti al Murdan (lelaki muda yang belum tumbuh jenggot) yang bagus wajahnya. Maka sesungguhnya mengumbar pandangan kepada mereka merupakan racun yang mematikan dan penyakit yang kronis.”
Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah, berkata di dalam Kitab Tahrirul Maqal, “Ucapan salaf untuk menghindari mereka, peringatan untuk melihat mereka, peringatan untuk terjatuh dalam fitnah mereka dan bercampur dengan mereka sangat banyak tidak bisa dihitung. Mereka -Ridhwanullahi ‘Alaihim- menamakannya dengan al Murd (busuk dan bangkai) karena syari’at yang mulia, dan agama yang jelas dan tinggi kedudukannya, telah menyatakan kotornya perbuatan melihat kepada mereka, melarang untuk bercampur dengan mereka dan bersepi sepi dengan mereka karena akan mengantarkan ke dalam perkara yang busuk.”
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab Al Iman, suatu ketika Sufyan ats Tsauri masuk ke pemandian umum. Tiba-tiba masuk seorang anak yang berwajah tampan. Sufyan pun berkata, “Keluarkan ia dari sini. Sesungguhnya aku melihat bersama setiap wanita itu satu setan, namun aku melihat bersama setiap pemuda tampan itu ada belasan setan.”
Seorang laki-laki mengunjungi Imam Ahmad bin Hanbal bersama seorang pemuda tampan. Melihat hal itu Imam Ahmad bertanya, “Apa hubunganmu dengannya?”
“Ia kemenakan saya.” jawab orang itu.
Lalu Imam Ahmad bin Hanbal bertutur, “Lain kali jangan ke sini bersamanya. Juga jangan berjalan di muka umum bersamanya supaya orang yang tidak mengenalmu atau mengenalnya berprasangka buruk kepadamu!”

Memandang Lelaki Tampan

Dalam, Tahdzirul Ikhwan Min Mushahabatil Murdan, disebutkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa memandang lelaki muda yang sedang tumbuh jenggot, hukumnya sebagai berikut:
Yang pertama: Pandangan yang disertai dengan syahwat. Maka ini haram secara mutlak.
Yang kedua: Pandangan yang dipastikan tidak ada syahwat padanya (maka ini tidak haram). Seperti pandangan seseorang yang Wara’ (orang yang menjauhkan diri dari dosa dan maksiat) kepada puteranya yang tampan, puterinya yang cantik dan ibunya yang cantik. Maka ini tidak disertai dengan syahwat, kecuali apabila seseorang dari kalangan manusia yang paling Fajir, maka kapan saja syahwat itu ada maka perkaranya menjadi haram. Berdasarkan ini maka pandangan seseorang yang tidak condong qalbunya kepada lelaki muda yang sedang tumbuh jenggot, sebagaimana para sahabat dan umat-umat yang tidak mengenal perbuatan keji ini, tidak terbesit pada qalbunya dari syahwat; karena dia tidak menganggap hal ini dan dia orang yang selamat qalbunya pada hal seperti ini.
Yang ketiga: hanyalah terjadi perselisihan di antara ulama pada bagian “yang ketiga”, yaitu pandangan yang tidak disertai dengan syahwat; akan tetapi dikhawatirkan akan bangkit syahwat tersebut. Maka padanya ada dua pendapat pada madzhab Imam Ahmad :
  1. Tidak boleh dan ini yang paling shahih di antara keduanya dan dihikayatkan dari nash Asy Syafi’i dan yang lainnya.
  2. Dibolehkan; karena yang menjadi asal adalah tidak bangkitnya syahwat, maka tidak diharamkan dengan sekedar keraguan bahkan boleh jadi perkaranya menjadi makruh.
Pendapat yang pertama adalah yang benar sebagaimana yang benar dalam madzab Asy Syafi’i dan Ahmad bahwa melihat kepada wajah wanita Ajnabiyyah tanpa ada hajat ini tidak diperbolehkan, walaupun syahwat tidak ada, akan tetapi dikhawatirkan bangkitnya syahwat, oleh sebab itu diharamkan bersepi-sepi dengan wanita Ajnabiyyah karena hal itu adalah dugaan adanya persangkaan jelek padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar