Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang
sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah
seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap
bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia
Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah
keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh
yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar
di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh
Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan
Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau
Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim
ke Champa, dan
adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian,
beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri
(Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan
Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat
yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek
yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis
Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]
Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang
tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di
tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan
ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh
Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas.
Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang
menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya
adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh
masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin
Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut:
Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far
ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad
al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi
ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi
al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad
Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar
Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana
Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia
Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan
Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan
Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung
Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju
Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama
tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia
berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang
sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan
masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan
dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat
turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat,
yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di
Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.
Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin.
Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama}
asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang
dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa
ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di
daerah Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang
Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang
cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari
wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar
Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian
Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal
Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon
sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal
karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran
Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari
pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat
pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan
dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka
menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.
Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang
muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia
diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari
Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi
salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden
Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang
putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan
Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian
melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar
Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati
Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]
Teori Keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut
Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat
lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur
penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang
sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang
diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju
Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut.
L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli
hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le
Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[6]
mengatakan :
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama
Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan
perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa
dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain
Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum
Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad
SAW).”
Van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204) :
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat
penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan
Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan
penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka
terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya
pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh
sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka
berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab
Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang
diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek
moyangnya.”
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut
abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran
sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal
dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya,
yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad,
Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut
lainnya.
* Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut
sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka,
pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia.
Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah,
Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar
bermadzhab Hanafi.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait ; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait ; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori Keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang
kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan
menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa
Indonesia.[rujukan?] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras
masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan
Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.[rujukan?]
Referensi-referensi yang menyatakan
dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat
ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud
hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet
Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan,
yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman.
Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui
identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila
dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan
Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu
Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama
Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak
dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de
Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java
in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones.
Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila
orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah
dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan
Parlindungan [7].
Sumber tertulis tentang Walisongo
1. Terdapat beberapa sumber tertulis
masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya
Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan
Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup
banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Diambil dari Blogsport Sohiblagi
Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain
Pulobata adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu Pesantren
Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428.
Nama asli Syekh Quro ialah Syekh
Hasanuddin atau ada pula yang menyebutnya Syekh Mursahadatillah.
Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama)
penganut madzhab Hanafi yang berasal dari Makkah, yang berdakwah di
daerah Karawang dan diperkirakan datang ke Pulau Jawa melalui Champa
atau kini Vietnam selatan.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Syekh
Quro melakukannya melalui pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah,
sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI An Nahl ayat 125,
yang artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan)
dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka
dengan cara yang terbaik”.
Sebagian cerita menyatakan bahwa pada
Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana
Haji Sampo Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63
buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25.000 orang untuk
menjalin persahabatan dengan kesultanan yang beragama Islam.
Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu
rupanya diikutsertakan Syekh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar Agama
Islam di Kesultanan Malaka, Sebab Syekh Hasanuddin adalah putra seorang
ulama besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik
yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh
Jalaluddin, ulama besar Makkah.
Bahkan menurut sumber lain, garis keturunannya sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali KRW, menantu Rasulullah SAW.
Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok
pimpinan Laksamana Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan
persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati Cirebon dan
sebagai wujud kerjasama itu maka kemudian dibangunlah sebuah menara di
pantai pelabuhan Muara Jati.
Dikisahkan pula bahwa setelah Syekh
Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau mengadakan
kunjungan ke daerah Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura melalui
pelabuhan Muara Jati. Kedatangan ulama besar tersebut disambut baik oleh
Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati putra bungsu Prabu Wastu
Kancana, Syahbandar di Cerbon Larang (yang menggantikan Ki Gedeng
Sindangkasih yang telah wafat). Ketika kunjungan berlangsung, masyarakat
di setiap daerah yang dikunjungi merasa tertarik dengan ajaran Islam
yang dibawa Syekh Quro, sehingga akhirnya banyak warga yang memeluk
Islam.
Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh
Syekh Hasanuddin rupanya sangat mencemaskan penguasa Pajajaran waktu
itu, yaitu Prabu Wastu Kencana atau Prabu Angga Larang yang menganut
ajaran Hindu. Sehingga beliau diminta agar penyebaran agama tersebut
dihentikan.
Oleh Syekh Hasanuddin perintah itu
dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa
meskipun dakwah itu dilarang, namun kelak dari keturunan Prabu Angga
Larang akan ada yang menjadi seorang Waliyullah. Beberapa saat kemudian
Syekh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng Tapa.
Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa sendiri
sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama besar itu, Sebab ia
pun sebenarnya masih ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam.
Oleh karena itu, sewaktu Syekh Hasanuddin kembali ke Malaka, putrinya
yang bernama Nyai Subang Karancang atau Nyai Subang Larang dititipkan
ikut bersama ulama besar ini untuk belajar Agama Islam di Malaka.
Beberapa waktu lamanya berada di Malaka,
kemudian Syekh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk kembali ke wilayah
Kerajaan Hindu Pajajaran. Dan untuk keperluan tersebut, maka telah
disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk
Nyai Subang Larang.
Sekitar tahun 1418 Masehi, setelah
rombongan ini memasuki Laut Jawa, kemudian memasuki Muara Kali Citarum
yang pada waktu itu ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang
memasuki wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya
rombongan perahu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang.
Kedatangan rombongan ulama besar ini disambut baik oleh petugas
Pelabuhan Karawang dan diizinkan untuk mendirikan musholla yang
digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat tinggal.
Setelah beberapa waktu berada di
pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla
yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam
mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama
santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya
tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu
suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang
secara sukarela menyatakan masuk Islam.
Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin
(yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan
Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang
dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala
mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim
utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah
Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro.
Namun tatkala putra mahkota ini tiba di
tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu
ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang.
Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri
Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya
untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya
untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.
Lamaran tersebut rupanya diterima oleh
Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang
Saketi”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.
Sumber lain menyatakan bahwa hal itu
merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam
melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga
mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah
ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden
Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun
dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung sekarang)
dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.
Pernikahan di musholla yang senantiasa
menganggungkan asma ALLAH SWT itu memang telah membawa hikmah yang
besar, dan Syekh Quro memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh
ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Sebab para putra-putri
yang dikandung oleh Nyai Subang Larang yang muslimah itu, memancarkan
sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di sekitarnya. Nyai Subang Larang sebagai
isteri seorang raja memang harus berada di Istana Pakuan Pajajaran,
dengan tetap memancarkan Cahaya Islamnya.
Putra pertama yang laki-laki bernama
Raden Walangsungsang setelah melewati usia remaja, maka bersama adiknya
yang bernama Raden Rara Santang, meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran
kemudian mendapat bimbingan dari ulama besar yang bernama Syekh Dzatul
Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Setelah kakak beradik ini menunaikan
ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang menjadi Pangeran Cakrabuana
memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon.
Sedangkan Raden Rara Santang sewaktu di
Makkah diperistri oleh Sultan Mesir yang bernama Syarif Abdullah. Adik
Raden Walangsungsang yang bungsu adalah laki-laki bernama Raden Sangara
atau Pangeran Kian Santang, pada masa dewasanya menjadi Muballigh untuk
menyebarkan agama Islam di daerah Garut.
Adapun kegiatan Pesantren Quro yang
lokasinya tidak jauh dari pelabuhan Karawang, rupanya kurang
berkembangnya karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan
Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi oleh Syekh Quro, sehingga
pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di masjid lebih
dititik beratkan pada ibadah seperti shalat berjamaah.
Kemudian para santri yang telah
berpengalaman disebarkan ke pelosok pedesaan untuk mengajarkan agama
Islam, terutama di daerah Karawang bagian selatan seperti Pangkalan.
Demikian juga ke pedesaan di bagian utara Karawang yang berpusat di Desa
Pulo Kalapa dan sekitarnya.
Dalam semaraknya penyebaran agama Islam
oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syekh Quro, kemudian
disempurnakan oleh para ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk
“joglo” beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan
Cirebon.
Pengabdian Syekh Quro dengan para santri
dan para ulama generasi penerusnya adalah “menyalakan pelita Islam”,
sehingga sinarnya memancar terus di Karawang dan sekitarnya.
Makam Syekh Quro terdapat di Dusun
Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Lokasi makam penyebar
agama Islam tertua, yang konon lebih dulu dibandingkan Walisongo
tersebut, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat
kota Lumbung Padi di Jawa Barat itu.
Dalam sebuah dokumen surat masuk ke
kantor Desa Pulokalapa tertanggal 5 November 1992, ditemukan surat
keterangan bernomor P-062/KB/PMPJA/ XII/11/1992 yang dikirim Keluarga
Besar Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII. Surat tersebut
ditujukan kepada kepala desa, berisi mempertegas keberadaan makam Syekh
Quro yang terdapat di wilayah Dusun Pulobata Desa Pulokalapa, Kecamatan
Lemah Abang bukan sekedar petilasan Syekh Quro tetapi merupakan tempat
pemakaman Syekh Quro.
Selain itu, di Dusun Pulobata juga
terdapat satu makam yang diyakini warga Karawang sebagai makam Syekh
Bentong atau Syekh Darugem, yang merupakan salah seorang santri utama
Syekh Quro. Wallohu a’lam *** (Dirangkum oleh Pa’e Daffa dari berbagai sumber. Ref. Bayt Al-Hikmah Institute).
Sekelumit Tentang Fatimah Putri Nabi
”Fatimah adalah bagian dariku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku, siapa yang membuatnya gembira maka ia telah membahagiakanku.” (Al Hadis).
Kata ‘Fatimah’ berasal dari suku kata
‘Fathama’ yang berarti menyapih atau menghentikan atau menjauhkan.
Sebuah riwayat menyebutkan, dinamakan ‘Fatimah’ karena Allah ingin
menjauhkan putri bungsu Rasulallah saw dari neraka. Dari cintanya
Rasulallah kepada Fatimah, belilau selalu menyebut-nyebut fatimah
sebagai contoh dan perumpamaan. Misalnya “ jika anakku Fatimah mencuri,
aku akan potong tangannya”. Hadits ini menggambarkan bagaimana
Rasulallah saw tidak pilihkasih dalam menegakkan hukum agama, sampai
sampai ia bersedia memotong tangan anaknya yang paling dicintainya,
Fatimah, jika ia mencuri demi untuk menegakkan keadilan.
Fatimah juga disebut al-Battul yang
berarti memisahkan, karena kenyataannya ia memang terpisah atau berbeda
dari wanita-wanita lainnya, baik dari segi keutamaan, agama dan
kecantikannya. Ada lagi yang mengatakan, karena ia memisahkan diri dari
keduniaan untuk mendekat kepada Allah. Di kalangan suku Quraisy, Fatimah
dikenal fasih dan pintar.
Fatimah dilahirkan di Makkah tahun 18
sebelum Hijrah Nabi SAW. Dia adalah putri bungsu Rasulallah saw setelah
Zainab, Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Saudara laki-lakinya yang tertua Qasim
dan Abdullah, meninggal dunia pada usia muda. Fatimah sangat terkenal
di dunia Islam, karena ia hidup paling dekat dan paling lama bersama
Rasulallah saw. Dari dialah keturunan Rasulallah saw (ahlul Bait)
berkembang yang tersebar di hampir semua negri Islam.
Fatimah dinikahkan dengan Ali bin bi
Thalib setahun setelah hijrah. Pada waktu itu Tidak sedikit dari
orang-orang Quraisy yang ingin menikahinya. Ya maklum, selain cantik
rupawan, ia adalah perempuan terhormat, anak Rasulullah saw. Dia pernah
dilamar oleh Sayyidina Abu Bakar dan Umar, sahabat terdeket Rasulallah
saw, namun ditolak secara halus oleh beliau.
Fatimah sangat sederhana dalam berumah
tangga dengan imam Ali ra, bahkan sering kekurangan. Beberapa kali ia
harus menggadaikan barang-barang keperluan rumah tangga untuk membeli
makanan, sampai-sampai kerudungnya pernah digadaikan kepada seorang
Yahudi Madinah. Namun demikian, mereka tetap bahagia sebagai suami istri
sampai akhir hayat.
Fatimah adalah putri kesayangan
Rasulullah saw. Putri yang sangat dicintai Nabi saw. Suatu waktu
Rasulallah saw pernah mengatakan kepada imam Ali ra, ”Fatimah adalah
bagian dariku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku, siapa yang
membuatnya gembira, maka ia telah membahagiakanku.” Ini dikatakan oleh
Rasulullah saw sehubungan dengan keinginan seorang tokoh Quraisy untuk
menikahkan anak perempuannya kepada imam Ali ra. Imam Ali tidak menolak
tetapi segera dicegah oleh Rasulullah saw.
Pernah Rasulallah saw marah besar ketika
mendengar putri beliau, Fathimah ra akan dimadu Sayyidina Ali bin Abi
Thalib. Ketika mendengar rencana itu, Rasulallah saw pun langsung masuk
ke masjid dan naik ke atas mimbar, lalu berseru, “Beberapa keluarga Bani
Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri
mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan
mengizinkan, sekali lagi aku tidak akan mengizinkan. Sungguh aku tidak
izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, dan aku
persilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian
dariku, apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa
yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” Begitulah kurang
lebih bunyi hadist Rasulallah saw.
Sekarang, kalau Rasulallah saw melarang
imam Ali bin Abi Thalib ra untuk memadu putri beliau, Fatimah ra. Maka
saya yakin hampir setiap orangtua di dunia tidak akan rela jika putrinya
dimadu. Karena, seperti dikatakan Rasulallah saw, perbuatan itu akan
menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Hadist di atas juga merupakan bukti kuat
akan kecintaan Rasulullah saw kepada putri bungsunya. Memang benar
Rasulallah saw sangat sayang kepada Fatimah. Sampai sampai waktu sakit
keras menjelang wafatnya, beliau tidak henti hentinya menagis karena
berat meninggalkan anaknya yang dicintainya.
Fatimah meninggal enam bulan setelah
wafatnya Rasulallah saw dalam usia 28 tahun. Merasa ajal sudah dekat,
dia membersihkan dirinya, memakai pakaian yang terbaik, memakai
wewangian dibantu oleh iparnya, Asma bin Abi Thalib. Sebelum meninggal
ia sempat berwasiat. Anda tahu apa wasiatnya?. “Hanya Ali, suamiku,
yang boleh menyentuh tubuhku”. *** Wallohu a’lam (Ref. Kado dari Kota Nabi).
Bubur Suro : Membaca Kembali Sejarah Islam
Bagi sebagian
masyarakat Islam di Nusantara bulan Muharram adalah bulan istimewa.
Sebagai bulan pertama tahun hijriyah, Muharram menjadi ruang muhasabah
(intropeksi diri) akan amal masa lalu guna menjadi pedoman langkah masa
depan. Muharram menjadi serambi sebuah rumah yang berisikan sebelas
bulan lainnya.
Oleh karena itu Muharram dipercaya
memantulkan nuansa peribadatan seseorang dalam satu tahun ke depan.
Seperti halnya serambi yang bagus biasanya dimiliki sebuah rumah yang
mewah. Begitu pula bulan Muharram, amal yang shalih di bulan ini
mencitrakan sebelas bulan lainnya. Dengan demikian Muharram mempunyai
kedudukan yang istimewa dibandingkan bulan lainnya. Wajar saja jika umat
muslim berbondong-bondong melakukan kebaikan dan sedekah pada bulan
ini.
Secara historis, bulan Muharram juga
memiliki keistimewaan. Pada bulan inilah Nabi Muhammad saw. memutuskan
berpindah dari Makkah menuju Madinah demi kesuksesan dakwah Islam. Bulan
ini merupakan waktu yang berharga yang di dalamnya Rasulullah saw
menemukan kunci keberhasilan dakwah Islam yaitu hijrah.
Hijrah yang berarti ‘pindah’ tidak
semata-mata mencari ruang yang sesuai untuk berdakwah, ruang yang lebih
minim bahaya, ruang yang lebih kondusif. Tidak. Karena Rasulullah saw
sendiri tidak pernah takut dengan berbagai ancaman kafir Makkah. Namun
hijrah memiliki makna lain yaitu berpindah, merubah dan me-upgrade-
semangat pada tataran yang lebih tinggi. Secara psikologis, suasana yang
baru, kawan baru, tantangan baru akan menjadikan semangat diri dan jiwa
seseorang lebih dinamis.
Mengenai semangat hijrah ini Rasulullah saw sendiri dalam sebuah haditsnya pernah bersabda :
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كان هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَن كان هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya : Dari Amirul
Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah ε bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan (amal)
tergantun niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)
berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin
mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia
yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
Dalam asbabul wurud diceritakan ada
seorang sahabat yang melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah dengan
niatan mengawini seorang perempuan bernama Ummu Qais. Karena niatnya
itulah maka ia tidak mendapatkan keutamaan hijrah. Bahkan proses hijrah
sahabat tersebut dijuluki dengan Hijratu Ummu Qais. Ini menunjukkan
bahwa niat seseorang sangatlah penting. Niat bukanlah sekedar motivasi
belaka, karena di dalam niat itu Allah titipkan sebuah pahala yang
secara otomatis akan me-cover segala yang kita lakukan dalam sisi-Nya.
Inilah yang membedakan bulan Muharram dengan lainnya. Muharram menjadi
berbeda karena di dalamnya ada kejadian yang sangat berharga bagi Agama
Islam yaitu Hijrah Rasulullah saw.
Selain itu Muharram menjadi berbeda
karena hari ke-sepuluh dalam bulan ini dipadati dengan nilai yang sarat
dengan sejarah, yang lebih dikenal dengan hari ‘asyura’ atau hari
kesepuluh pada bulan Muharram.
Karena pada hari ‘asyura’ itulah (seperti yang termaktub dalam I’anatut Thalibin)
Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama
pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat). Pada hari
‘asyura’ pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam, menurunkan hujan
untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari
‘asyura’ itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari
‘asyura’ itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena
banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as. bertanya kepada
umatnya ; “masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?”,
kemudian mereka menjawab ; “masih ya Nabi”. Kemudian Nabi Nuh
memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur,
dan disedekahkan ke semua orang.
Karena itulah kita mengenal bubur suro.
Yaitu bubur yang dibikin untuk menghormati hari ‘asyuro’ yang
diterjemahkan dalam bahasa kita menjadi bubur untuk selametan.
Bubur suro merupakan
pengejawantahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang selama ini
diberikan oleh Allah swt. Namun dibalik itu bubur suro (jawa) selain
simbol dari keselamatan juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as,
dan hancurnya bala Fir’aun yang terjadi pada hari ’asyuro juga.
Oleh karena itu barang siapa
berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh,
karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi. Intinya hari
‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak keistimewaan yang diberikan oleh
Allah pada hari ini diantaranya adalah pelipat gandaan pahala bagi yang
melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah hari kasih sayang,
dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan, menambah
pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak sedekah
terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.
Bagi kelompok syi’ah hari
kesepuluh bulan Muharram sangatlah penting. Karena pada hari inilah
tepatnya tahun 61 H Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib sang Cucu
Rasulullah saw terbunuh oleh Yazid bin Muawiyah. Pembunuhan ini lebih
tepat bila disebut dengan pembantaian karena tidak seimbangnya dua
kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Pembantaian ini terjadi di padang
Karbala ketika dalam perjalanan menuju Irak.
Tentunya berbagai kejadian
sejarah tersebut mulai dari sejarah transcendental yang berhubungan
langsung proses penciptaan hujan oleh Allah swt hingga hijrah Rasulullah
saw dan terbunuhnya Husain cucu Rasulullah saw. tidak boleh terhapus
dari memori kolektif maupun individu generasi Muslim. Kejadian-kejadian
dalam sejarah ini harus selalu dipupuk dengan subur sebagai salah satu
media pendidikan kepahlawanan dalam Islam.
Berbagai metode perawatan sejarah ini
terejawantahkan dalam berbagai tradisi kolaitas. Di Jawa misalnya kita
mengenal bubur abang dan bubur putih yang dibagikan dan disajikan pada
hari ‘asyura tidak lain untuk merawat ingatan sejarah tersebut secara
perlambang.
Bubur putih bermakna
rasa syukur akan panjangnya umur hingga mendapatkan tahun baru kembali,
semoga kehidupan tambah makmur. Seperti rasa syukunya Nabi Nuh setelah
berlayar dari banjir bandang, seperti syukurnya Nabi Musa setelah
mengalahkan Fir’aun. Disamping itu Bubur Putih merupakan lambing
kebenaran dan kesucian hati yang selalu menang dalam catatan sejarah
yang panjang. Meskipun kemenangan itu tidak selamanya identik dengan
kekuasaan, seperti Sayyidina Husain sebagai kelompok putihan yang
ditumpas oleh Yazid bin Muaswiyyah sang penguasa laknat.
Sedangkan Bubur Abang
(bubur merah) adalah pembanding yang selalu hadir dalam kehidupan di
dunia berpasang-pasangan. Ada indah ada buruk, ada kebaikan ada
kejahatan. Semoga semua hal-hal buruk itu senantiasa dijauhkan oleh
Allah dari kita.
Jadi bubur suro ini yang berwarna merah
dan putih merupakan representasi dari rasa syukur yang mendalam. Atas
segala karunia Allah swt. Dan yang lebih penting dari itu semua, Bubur
Suro merupakan wahana untuk merawat ingatan akan adanya sejarah besar
dalam Islam. *** Wallohu a’lam (Ref. NU-Online).
ISLAM NUSANTARA DAN BERBAGAI ALIRAN DI INDONESIA (3) : Masa Kekhalifahan Usman Ibn Affan
Sepeniggal khalifah Umar,
sebenarnya peluang Ali ibn Abi Thalib menjadi khalifah cukup besar
sebab hampir semua syarat ideal sebagai seorang khalifah terdapat pada
dirinya. Dia adalah salah seorang yang dijamin masuk surga (ahad
al-mubasy-syarina bi-aljannah), orang yang pertama masuk Islam dari
kelompok anak-anak (awwalu man aslama min al-sibyan), menantu dan sepupu
Nabi Muhammad SAW, keluarga terhormat dan ilmunya sangat luar biasa.
Ali juga seorang sahabat yang tidak pernah absen dalam peprangan, bahkan
ia adalah penjebol benteng Yahudi pada perang Khaibar.
Tetapi, sebelum wafat khalifah Umar
berwasiat, “Seandainya Abu Ubaidillah bin al-Jarrah masih hidup, jabatan
khalifah akan saya serahkan kepadanya. Karena dia sudah meninggal saya
tidak bisa menunjuk seseorang. Masalah ini akan saya serahkan kepada
enam tokoh sebagai tim formatur. Anak saya Abdullah ibn Umar masuk dalam
tim, namun tidak boleh dipilih. Dari bani Adiy cukup saya saja yang
menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Ali ibn Abi Thalib, Usman
ibn Affan, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqaz, Zubair ibn Awwam
dan Thalhah ibn Ubaidillah. Selama empat hari sudah harus ada keputusan
mengenai pengganti khalifah. Kalau belum, maka ketua tim segera
mengambil kebijaksanaan. Siapa yang tidak menyetujui apa yang sudah
disepakati bunuhlah dia.
Musyawarah pun berjalan alot. Faktor
kabilah menjadi penting. Zubair tidak bisa maju, karena Ali yang
sama-sama dari bani Hasyim. Sa’ad ibn Abi Waqqas peluangnya tipis,
karena berasal dari Bani Zahrah, suatu kabilah yang tidak punya wibawa
dan prestis dibanding lainnya. Thalhah sama dengan Umar dari Bani Adiy,
sehingga tidak mungkin maju. Nominator terkuat berarti Abdurrahman ibn
Auf al-Zuhriy, Usman (Bani Umayyah) dan Ali (bani Hasyim). Abdurrahman
tidak mungkin maju karena ada yang lebih senior, maka calon khalifah
tinggal Ali dan Usman saja. Unsur fanatisme kabilah dalam sidang
formatur sangat berperan.
Pada akhirnya, kunci berada pada
Abdurrahman ibn Auf yang memilih Usman. Pemilihan ini dilakukan setelah
melalui lobi yang ketat dengan kedua kandidat. Saat menemui Ali dia
bertanya, “Seandainya engkau tidak termasuk orang yang dicalonkan, siapa
yang kamu pilih?”. Ali menjawab “Usman”. Kemudian ia langsung menemui
Usman dan menanyakan, “seandainya engkau di luar enam calon, siapa yang
kamu pilih sebagai khalifah?”, Usman menjawab “Ali”. Karena keduanya
sama-sama kuat, akhirnya Abdurrahman ibn Auf menetapkan Usman sebagai
Khalifah.
Penetapan ini (sekecil apapun) ada
pertimbangan kabilahnya. Dan sekedar informasi, bahwa istri Abdurrahman
ibn Auf (Ummi Kulsum) adalah saudara se-Ibu Usman bin Affan.
-Bersambung- *** (Disarikan dari buku Aswaja dalam Lintas Sejarah karya KH. Said Aqil Siradj / NU-Online).
ISLAM NUSANTARA DAN BERBAGAI ALIRAN DI INDONESIA (2) : Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan Umar
Maret 31, 2011
Setelah Rasulullah saw wafat
dan Abu Bakar resmi diangkat menjadi pengganti beliau mewakili suku
Quraisy, maka stabilitas politik mulai terkoyak. Bila dibincangkan lebih
lanjut, maka pemurtadan yang marak terjadi saat itu lebih merupakan
pertimbangan politik bukan akidah semata. Inilah tugas berat Abu Bakar
yang harus diselesaikan lebih dahulu.
Ibn al-Atsir (wafat tahun 630 H/1232 M)
mengilustrasikan suasana politik pasca wafatnya Rasulullah SAW dan
dibai’atnya Abu Bakar sebagai berikut : “Semenjak Rasulullah Saw wafat
dan berita dukanya sampai ke Makkah dibawa oleh ‘Uttab ibn Usaid ibn Abi
al-‘Ash ibn Umayyah, Uttab menyamar dan mengharap penduduk Makkah yang
semuanya hampir murtad kembali kepada Islam. Kemudian Suhail ibn ‘Amar
berdiri di depan pintu Ka’bah dan berteriak kepada mereka : Berkumpullah
wahai penduduk Makkah…….! kemudian dia berpidato : “Janganlah kalian
menjadi orang yang terakhir masuk Islam kemudian paling awal murtadnya.
Demi Allah, pasti Allah memberi anugrah sebagaimana yang diucapkan
Rasulullah SAW. Beliau bersabda : “Ucapkanlah besertaku kalimat la ilaha
illa Allah, niscaya kamu akan menguasai orang Arab dan non-Arab. Mereka
akan membayar pajak kepadamu”. (Al-Kamil fi al-Tarikh, Juz II,
hal.324).
Dr. Hasan Ibrahim Hasan menambahkan,
…..pada saat bani Tsaqif di Thaif akan menyatakan kemurtadan, Usman ibn
Abi al-Ash menyarankan : wahai warga bani Tsaqif, kamu sekalian
merupakan orang yang terakhir masuk Islam, maka janganlah kalian menjadi
orang yang pertama murtad. Kemenangan Arab merupakana kemenangan
keluarga kita. Antara Thaif dan Makkah masih ada tali persaudaraan
(qarabah) dan jalur keturunan (nasab). Setelah itu mereka semua
mempertahankan ke-Islamannya. (Tarikh al-Islami al-Siyasi wa al-Dini wa
al-Tsaqafi wa al-Ijtima’i, juz 1, hal. 346).
Dengan demikian, nampaklah bahwa pada
saat itu situasi bangsa Arab hampir seluruhnya murtad, terkecuali
penduduk Madinah yang memang memiliki keimanan yang handal. Sedangkan
penduduk Makkah bertahan dalam Islam lebih karena harta rampasan perang
(ghanimah) dan penduduk Thaif lebih karena pertalian kabilah.
Syukurlah, Abu Bakar cepat memulihkan
stabilitas politik dan keamanan negara saat itu. Beliau memutuskan untuk
menumpas dan memerangi orang-orang yang murtad, orang-orang yang
menolak membayar zakat (inkar al-Zakat) dan para nabi palsu, meskipun
ada sebagian sahabat yang tidak sependapat dengan langkah tersebut.
Pada sisi lain, secara politis Islam
sudah mulai melebarkan sayapnya melakukan ekspansi keluar semenanjung
Arab, seperti ke negara Syam (Syria) dan Persia. Setelah memerintah
selama dua tahun, pada tanggal 21 Jumada al-Akhir 13 H (22 Agustus 634
M) Abu Bakar wafat. Sepeninggal beliau tampuk khalifah dipegang oleh
Umar ibn Khatab.
Suksesi kepemimpinan
kepada Umar ini lebih didasarkan pada pesan (wasiat) Abu Bakar kepada
Umar sebagai waliy al-‘ahdi (baca: putra mahkota). Oleh karena itu
wajarlah meskipun Umar ibn Khatab sukses memimpin negara, masih juga
banyak suara sumbang yang datang dari orang-orang non-Islam yang
berkoalisi dengan orang-orang munafiqin. Puncak kebencian mereka itulah
yang menyebabkan Umar ibn Khatab terbunuh di tangan Abu Lu’lu’ah.
Abu Lu’luah adalah ahli membuat pedang
dari kota Kufah. Sebenarnya, keberadaannya di kota Madinah sejak semula
ditolak oleh Umar sebab seorang tawanan kalau sudah menginjak dewasa
tidak diizinkan tinggal di Madinah, apalagi dia masih memeluk agama
Majusi. Kemudian al-Mughirah sebagai Amir Kufah saat itu menulis surat
kepada khalifah dan meyakinkan tentang pentingnya profesi Abu Lu’lu’ah
bagi kepentingan umat Islam. Akhirnya Umar menyetujui permintaan
al-Mughirah tersebut. Lalu datanglah Abu Lu’lu’ah ke Madinah bahkan ia
digaji 100 (seratus) dirham setiap bulan. Namun, karena ia masih
beragama Majusi, maka setiap bulannya dikenakan kharaj (pajak kepala).
Dalam kondisi seperti itu Bani Umayyah
yang dapat dikatakan sebagai oposisi khalifah Umar (karena Umar tidak
berasal dari keturunan Umayyah) menghasut Abu Lu’lu’ah untuk mengajukan
dispensasi kepada khalifah agar terbebas dari kharaj sebab jasanya
terhadap negara sangat banyak. Abu Lu’lu’ah bergegas mengajukan
permintaan tersebut. Namun, khalifah Umar menjawab, “Ini sudah
peraturan, lagi pula gajimu sudah cukup besar”.
Permohonan pembebasan kharaj seperti ini
dilakukan oleh Abu Lu’lu’ah berulang kali, sehingga karena merasa
jengkel dan dendam terhadap sikap Khalifah Umar, ia memberanikan diri
membunuh Umar di saat menjadi Imam shalat Subuh. -Bersambung- *** (Disarikan dari buku Aswaja dalam Lintas Sejarah karya KH. Said Aqil Siradj ; NU-Online).
ISLAM NUSANTARA DAN BERBAGAI ALIRAN DI INDONESIA (1) : Babak Pertama, Mencari Pemimpin Pengganti Nabi
Akhir-akhir ini sering
kali muncul berbagai masalah ke-Islaman yang sangat menyita perhatian
masyarakat. Mulai dari Nabi palsu, permasalahan Ahmadiyah, hingga
tentang faham Syi’ah. Hal ini sangat menyibukkan berbagai lembaga
keagamaan. Baik lembaga yang berada di bawah naungan negara seperti MUI,
Kementerian Agama, DPR komisi VIII atau lembaga Islam yang mandiri
seperti NU, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam yang lain.
Tidak sedikit yang menganalisa bahwa
kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari permainan politik kekuasaan.
Ada juga yang mati-matian menyebutkan bahwa fenomena ini murni bersifat
ideologis. Dan ada pula yang melihat dari kaca mata ekonomi. Oleh
karena itu, sebelum kita ikut-ikutan berkomentar, alangkah baiknya jika
kita tahu duduk persoalannya. Kapan, bagaimana dan dimana mereka mulai
ada? Konteks sosial seperti apa yang mendorong lahirnya berbagai aliran
tersebut? Barulah setelah itu kita bisa memposisikan mereka dalam ruang
ke-Islaman Nusantara ini.
Dengan demikian tulisan ini tentunya akan
kembali ke masa lalu. Menelisik sejarah awal semenjak kelahiran Islam
di Makkah, kemudian perpindahan dari Rasulullah ke khulafaurrasyidin,
hingga transformasi kekuasaan ke beberapa khalifah. Dan yang tidak bisa
diabaikan adalah berbagai kondisi sosial-politik yang melingkupi
perjalanan Islam hingga muncul berbagai perbedaan pemahaman akidah.
Masyarakat Arab dan Lahirnya Islam
Tulisan ini diawali dengan sebuah fragmen
kecil yang bercerita tentang kisah Afif al-Kindi. Afif al-Kindi adalah
seorang pedagang yang sering datang dan pergi dari dan ke Makkah.
Maklumlah Makkah adalah sebuah bandar perdagangan besar pada zamannya
(hingga sekarang). Makkah adalah kota strategis untuk berdagang. Karena
semenjak zaman Nabi Ibrahim Makkah selalu dikunjungi oleh berbagai suku
dari macam-macam bangsa. Selain mempunyai tujuan utama beribadah
menziarahi Ka’bah Baitullah, orang-orang itu juga datang dengan membawa
berbagai barang dagangan untuk saling ditukarkan.
Suatu hari pada musim haji Afif al-Kindi
datang ke Makkah dengan membawa barang dagangan. Ditengah kesibukan
dagang ia berjumpa dengan al-Abbas paman Rasulullah saw. dengan asyiknya
mereka berdua saling bercengkrama. Membahas berbagai hal dan informasi.
Sebagai pedagang luar, Afif al-Kindi banyak mengorek informasi dari
al-Abbas, mulai dari masalah perdagangan, wisatawan, hingga isu-isu
terbaru di kota Makkah.
Tiba-tiba saja di saat mereka tengah
berbincang, mata Afif al-Kindi menatap seorang laki-laki yang sedang
shalat menghadap ka’bah lalu disusul seorang perempuan dan seorang
pemuda yang turut shalat bersamanya. Sebagai orang asing, Afif al-Kindi
melihat hal itu merupakan suatu keanehan. Maka iapun bertanya kepada
al-Abbas “agama apakah itu?”. Al-Abbas Menjawab “Itu adalah Muhammad
Ibnu Abdullah putra saudara laki-lakiku. Dia menganggap dirinya utusan
Allah (rasulullah) yang berobsesi menggulingkan Persia dan Romawi.
Sedangkan perempuan itu adalah Khodijah, istri Muhammad, ia percaya
dengan apa yang disampaikan suaminya. Dan pemuda itu adalah Ali bin Abi
Thalib, ia juga percaya pada apa yang disampaikan Muhammad”. Al-Abbas
masih melanjutkan perkataannya “Tak-ku lihat seorangpun (selain tiga
orang ini) di muka bumi yang memeluk agama ini”. Kemudian Afif al-Kindi
berkata : “Semoga aku menjadi orang yang ke empat”.
Sedari awalnya, Nabi Muhammad saw memang
menggandengkan cita-cita perjuangan Islam dengan penggulingan dua
kekuasaan dominan, yakni obsesi untuk menaklukkan imperium Persia dan
Romawi (Bizantium) sebagai adikuasa dunia saat itu.
Nabi Muhammad saw. melihat penaklukan itu
sebagai jalan kesuksesan dakwah Islam di dunia selanjutnya. Kekuasaan
bukan tujuan utama, melainkan sebagai wasilah memuluskan jalan
penyebaran Islam. Di sisi lain, pemilihan isu penaklukan bangsa Romawi
dan Persia yang diangkat oleh Nabi Muahmmad saw. berfungsi untuk menarik
perhatian dan menyatukan ambisi politik masyarakat Arab.
Wacaana politik ini ternyata turut
menentukan genealogi kemunculan beberapa kelompok (firqah) dalam Islam.
Secara sosiologis, karakter dan lingkungan Arab yang dikelilingi padang
pasir juga mempengaruhi watak bangsa Arab. Watak alami pasir itu selain
susah disatukan juga bersifat tidak stabil atau labil. Ini sesuai dengan
kaedah linguistik bahwa kata (عرب ) berarti bergerak, berubah atau
labil. Sehingga al-wasith mengungkapkan kata kerobak dengan (عربة.).
Watak ini secara tidak langsung
menjadikan bangsa Arab sulit –kalau tidak mustahil- bersatu. Watak itu
juga membuat mereka menjadi bangsa yang memiliki fanatisme tinggi
sekaligus fatalisme yang mengakar. Tidak mengherankan jika mereka saling
bermusuhan antar suku (kabilah) meskipun hanya mengenai urusan sepele.
Misalnya hanya karena persoalan salah menghormati tamu berkobarlah
perang fijar. Dalam Sirah Nabawiyah Juz I, Ibn Hisyam menerangkan bahwa
perang Fijar terjadi ketika Nabi saw berusia 14 tahun atau 15 tahun,
perseteruan tersebut antara bani Quraisy yang didukung Kinanah dengan
Bani Qais ‘Ailan.
Di tengah-tengah bangsa
seperti itulah Allah swt. mengutus Rasulullah saw, untuk membawa misi
Islam (risalah Islamiyyah) yang lebih menekankan rehabilitasi moral
(akhlaq), persaudaraan (ukhuwah) dan persatuan. Selama kurang lebih 23
tahun beliau mampu meredam fanatisme kesukuan yang telah tertanam dalam
diri mereka menjadi fanatisme Islam. Mereka semula bangga dengan gelar
kesukuan seperti al-Taymi, al-Adiy, al-Najjariy dan sebagainya, berubah
menjadi gelar yang bertalian dengan Islam seperti al-Siddiq, al-Faruq,
al-Murtadha dan sebagainya.
Namun, prestasi cemerlang itu tidak bisa
dipertahankan terus. Persaudaraan yang tercipta pada masa Nabi Muhammad
saw, sebagai manifestasi “semangat keislaman” (ghirah Islamiyyah)
mengalami kemunduran.
Sejarah mencatat bahwa setelah Rasulullah
SAW wafat bahkan sebelum jenazah beliau dimakamkan, sudah terjadi
perdebatan sengit mengenai pengganti (khalifah) nabi sebagai pemimpin
Islam. Menurut banyak sumber sejarah, diantaranya Tarikh Ibn Ishak,
ta’liq Muhammad Hamidi menerangkan bahwa Rasulullah saw. wafat pada hari
Senin tanggal 12 Rabi’ al-Awwal tahun 11 H. dalam usia enam puluh tiga
tahun. Namun jenazah beliau barulah dikebumikan pada hari Rabunya.
Sehingga dalam waktu tiga hari para sahabat justru sibuk mengurusi soal
khalifah.
Begitu juga keterangan Ibn al-Atsir dalam
al-Kâmil fi aI-Târikh, Juz II, Perdebatan berlangsung di Saqifah Bani
Sa’ad yang melibatkan golongan Anshar (Aus dan Khazraj) dan golongan
Muahajirin. Di sana terdengar suara minor, “dari pihak kami ada seorang
pemimpin, dari kamu juga ada seorang pemimpin”. Perdebatan di Saqifah
bani Sa’ad tersebut berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq
sebagai khalifah pertama.
Reaksi atas terpilihnya Abu Bakar sebagai
khalifah segera berdatangan. Ada sebagian orang yang menyatakan
kesetiaan dengan melantik (membai’at) secara spontan. Tetapi ada juga
orang yang tidak bersedia membai’at bahkan tidak sedikit yang menyatakan
keluar dari Islam (murtad).
Berikut ini suatu gambaran riddah-nya
(kemurtadan) bangsa Arab waktu itu : “ketika Rasulullah SAW, wafat dan
Abu Bakar mengirim pasukan yang dipimpin Usamah, maka bangsa Arab
murtad. Suasana menjadi panas. Semua suku murtad kecuali suku Quraisy
dan Tsaqif. Semakin kuat posisi Musailamah dan Thulhah. Mayoritas suku
Thayyi’ dan Asad berkumpul di rumah Thulaihah. Suku Ghathfan murtad
mengikuti “Uyainah ibn Hashn. Ia berkata : seorang nabi dari kubu Asad
dan Ghathfan lebih aku sukai dari pada seorang nabi dari suku Quraisy….
Fakta sejarah di atas kalau dianalisis
secara cermat memberikan indikasi bahwa munculnya fanatisme kesukuan
bangsa Arab pasca Nabi sulit dibendung lagi. Sikap bangsa Arab yang
susah untuk bersatu kambuh lagi. Kondisi seperti itu masih ditambah lagi
dengan keengganan Ali ibn Abi Thalib untuk membai’at Abu Bakar sebagai
khalifah. Baru setelah istrinya, Fatimah Zahra binti Muhammad saw, wafat
Ali menyatakan bai’at.
Pada saat itu, meskipun umat Islam masih
satu dalam masalah aqidah dan syari’ah, namun mereka sudah mulai
terkoyak-koyak dalam kehidupan politik (siyasah). Inilah yang nantinya
menjadi awal lahirnya berbagai firqah dalam Islam. Bersambung .. *** (Ulil Hadrawi, disadur dan disarikan dari berbagai sumber ; NU-Online)
Tarikh : Catatan Tinjauan Hukum Mencela Sahabat Nabi
Dalam sebuah
majelis jamuan makan, berjalan sebuah diskusi yang cukup menarik tentang
peradaban Islam. Tiba-tiba salah satu peserta diskusi berkata : “Abu
Bakar, Umar dan Usman itu adalah pengkhianat kekhalifahan setelah
Rasulullah. Mereka merebut tampuk kekhalifahan dari Sayyidina Ali ra.
Laknat atas mereka!”. Demikian, cacian, makian dan laknat terhadap
sahabat itu kerap ditemukan di beberapa majelis yang mengatasnamakan
pengajian pecinta ahlul bait.
Dalam akidah Islam yang benar, membenci
sesama muslim bahkan memutuskan hubungan dengannya adalah aktivitas yang
diharamkan. Mencela seorang muslim adalah sebuah perbuatan fasik dan
menghalalkan peperangan dengan mereka adalah perbuatan kafir.
***
Hadis yang cukup menjelaskan topik
tersebut adalah hadis yang menceritakan Sayyidina Khalid bin Walid ra
ketika bersama Sariyyah (pasukan perang yang dipimpin Rasulullah SAW
untuk mendakwahkan Bani Judzaimah ke jalan Islam. Tatkala Khalid sampai
pada Bani Judaimah, mereka menyambut kedatangan Khalid, maka berkatalah
Khalid kepada mereka : “Berislamlah kalian!”. Mereka menjawab : “Kami
ini adalah orang muslim”. Kemudian Khalid berkata : “(kalau begitu)
lemparkan senjata-senjata kalian!”. Mereka menjawab lagi ; ”Tidak! Demi
Allah kalau kami meletakkan senjata, nanti akan terjadi pembunuhan (pada
kami). Dan kami tidak percaya kepadamu dan juga pada pasukanmu”.
Dengan dialog tersebut akhirnya Khalid memtuskan untuk berkata : “(Jika demikian), maka tidak ada jaminan bagi kalian (untuk tidak kami perangi), kecuali kalian bersedia melucuti senjata kalian”. Akhirnya sebagian dari mereka mau melucuti senjata, dan sebagian lagi bercerai-berai.
Dengan dialog tersebut akhirnya Khalid memtuskan untuk berkata : “(Jika demikian), maka tidak ada jaminan bagi kalian (untuk tidak kami perangi), kecuali kalian bersedia melucuti senjata kalian”. Akhirnya sebagian dari mereka mau melucuti senjata, dan sebagian lagi bercerai-berai.
Dalam riwayat yang lain disebutkan
sebagai berikut ; telah sampai Khalid pada kaum itu, dan mereka
menyambutnya (sambil bersenjata). Maka Khalid berkata : “Siapa
kalian?”. Mereka menjawab : “Kami adalah orang-orang muslim, kami telah
melaksanakan shalat dan kami benarkan Muhammad SAW. Kami juga membangun
masjid-masjid di tempat kami, dan juga beradzan untuk memanggil orang
untuk shalat”. Ketika Khalid mengucapkan pertanyaan dengan kasar,
“Kalian ini muslim atau kafir?”, maka akhirnya mereka tidak berbuat baik
terhadap ucapan keislaman mereka dan berkata : “Kalau demikian, kami
keluar saja dari Islam”. Khalid menimpali ; “Untuk apa kalian membawa
senjata?”. Mereka menjawab : “Sesungguhnya antara kami dengan kaum yang
lain dari kalangan bangsa Arab memiliki permusuhan dan kami khawatir
bahwa engkau termasuk dari mereka (bangsa Arab). Oleh karena itu kami
sekarang memegang senjata”.
“Jika demikian, letakkan senjata kalian”,
perintah Khalid. Akhirnya mereka meletakkan senjata tersebut. Kemudian
Khalid berkata : “Menyerahlah kalian untuk menjadi tawanan kami”. Latas
sebagian mereka menyerahkan diri seraya meletakkan tangan-tangan mereka
di pundaknya (sehingga perasaan jengkel terhdap Khalid bertambah kuat).
Akhirnya Khalid membagi tawanan kepada
para sahabat yang ikut dengannya. Ketika waktu menjelang subuh tiba,
berserulah ajudan Khalid ; “Barang siapa yang membawa tawanan, supaya
membunuhnya”. Maka Bani Sulaim yang ikut rombongan perang Khalid
membunuh tawanan yang ikut bersamanya. Sedangkan orang-orang Muhajirin
dan Anshar melepaskan tawanan tersebut (tidak membunuh). Ketika kejadian
tersebut sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Ya Allah,
sesungguhnya saya berlepas tangan pada-Mu dari perbuatan Khalid
tersebut”. Beliau mengulanginya sampai tiga kali.
Ada yang berpendapat (terhadap peristiwa
Khalid tersebut) dengan mengatakan bahwa menurut pemahaman Khalid,
perkataan mereka yang berbunyi ”Kalau begitu kami keluar dari Islam”
adalah suatu kesombongan bagi mereka yang menganggap diri mereka sudah
besar dan kuat. Serta tidak adanya ketundukan terhadap Islam (sehingga
akhirnya Khalid memutuskan untuk menawan mereka).
Sedangkan pengingkaran Rasulullah SAW
terhadap kejadian tersebut disebabkan karena ketergese-gesaan Khalid
dalam mengambil keputusan tanpa ada penelitian terlebih dahulu terhadap
perkara yang dialaminya. Padahal pada kesempatan lain, Rasul pernah
memuji Khalid dengan mengatakan ; “Sebagus-bagusnya hamba Allah dari
rumpun Arab Khalid bin Walid, dia adalah pedang dari sekian
pedang-pedang Allah, yang Allah menghunusnya terhadap orang-orang kafir
dan munafik”.
Maksud keterangan tersebut adalah, bahwa
kesalahan yang dilakukan Khalid bukan merupakan kesalahan fatal, tetapi
kesalahan dalam menentukan prioritas. Mana yang terbaik yang seharusnya
dilakukan oleh Khalid, dengan indikasi perkataan Rasulullah, bahwa
Khalid adalah sebagus-bagus hamba Allah. Sehingga tidak mungkin akan
melakukan aktivitas yang kesalahannya fatal dan mengakibatkan ia kufur.
***
Demikian juga kisah Sayyidina Usamah bin
Zaid, seorang yang dicintai Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dan
anak dari sahabat yang dicintai Rasulullah yaitu Zaid bin Haritsah.
Seperti yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Sofyan, ia berkata
: “Saya mendengar Usamah bin Zaid berkata ; Rasulullah mengutus kami ke
Huraqah. Kemudian kami menyerang kaum itu pagi-pagi sekali, sehingga
bisa mengalahkan mereka. (Ketika itu) saya dan seorang laki-laki dari
kalangan Anshar mengejar laki-laki kaum itu. Tatkala kami bisa
menyergapnya maka ia berkata, Laa ilaha illallah kemudian ia
mencegah/menahan supaya laki-laki Huraqah tersebut tidak dibunuh, karena
sudah mengucapkan tahlil. Namun saat itu juga saya menusuknya dengan
tombak sehingga ia mati.
Ketika berita tersebut sampai pada
Rasulullah SAW, beliau bersabda :”Wahai Usamah, adakah engkau
membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaha illah?”, saya jawab, “Ia
hanya berlindung dari ucapan itu”. Namun Rasulullah selalu mengulang
terus pertanyaan tersebut, sehingga saya menganggap bahwa pada hari itu
saya bukan Islam lagi (karena melakukan kesalahan).
Dan dalam riwayat yang lain, Rasul
bersabda kepadanya, ”Mengapa tidak kamu bedah saja hatinya, sehingga
engkau bisa mengetahui apakah ia jujur atau bohong (terhadap ucapan
itu). Maka Usamah berkata : “Saya tidak akan memerangi orang-orang yang
telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah”.
Riwayat yang juga termasuk menjelaskan
topik ini adalah jawaban Ali radhiallahu ‘anhu. Ketika ditanya tentang
orang-orang yang menentangnya, apakah kelompok mereka disebut kufur?.
Ali menjawab, “Tidak. Karena mereka jauh dan berlari dari sifat kufur”.
Apakah mereka munafik? Ali menjawab, “Juga tidak”. Karena orang-orang
munafik tidak berdzikir sangat banyak pada Allah”. Kalau begitu, apa
posisi mereka?, maka Ali menjawab, “Mereka adalah kaum yang tertimpa
fitnah, sehingga mereka buta dan tuli dari kebenaran”.
Taudhih (Penjelasan)
Mencela seseorang muslim adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah. Karena perbuatan tersebut mampu memecah belah ukhuwah Islamiyah yang seharusnya dibangun oleh Abnaul Islam, agar kekuatan Islam bisa menyingkirkan ideologi-ideologi selain Islam, seperti sosialis dan kapitalis.
Mencela seseorang muslim adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah. Karena perbuatan tersebut mampu memecah belah ukhuwah Islamiyah yang seharusnya dibangun oleh Abnaul Islam, agar kekuatan Islam bisa menyingkirkan ideologi-ideologi selain Islam, seperti sosialis dan kapitalis.
Ukhuwah yang telah menjadi kekuatan umat
Islam tersebut diketahui oleh dunia Barat (sosialis dan kapitalis) dan
sekaligus mereka paham akan kelemahan umat Islam. Yaitu, kerapuhan
pemikiran umat Islam, sehingga dapat mempengaruhi kerapuhan ukhuwah
Islamiyah. Dari kelemahan umat Islam ini akhirnya mereka mengadu-domba
dengan berbagai macam dalih. Apakah untuk menjaga perdamaian dunia atau
dengan dalih memerangi teroris dan penjahat-penjahat dunia yang
kesemuanya itu diarahkan pada negeri-negeri muslim yang tidak bersedia
tunduk pada “dajjal modern”, yaitu Amerika. Maka lahirlah peperangan
antara negeri-negeri muslim yang semuanya didalangi oleh Amerika dan
sekutunya. Penjajahan di Irak, Afghanistan, dan hegemoni Barat hampir
mencakup seluruh dunia Islam saat ini.
Mereka menebar benih permusuhan antara
negeri-negeri yang ada di Timur Tengah dengan dalih menjadi juru damai
antara Palestina dan Israel. Yang berakibat semakin merenggangnya
hubungan negara-negara Islam di Timur Tengah.
Demikianlah, makar-makar Yahudi dan
Nasrani yang berusaha menghapus ide-ide Islam di dunia internasional ini
diawali dengan menghancurkan puing-puing ukhuwah islamiyah. Namun jika
umat Islam sadar akan kesalahannya, dan bersedia untuk membangun kembali
puing-puing ukhuwah islamiyah tersebut, dan bersungguh-sungguh maka
Allah akan menghancurkan makar-makar mereka. Karena Dialah sebaik-baik
pembuat makar. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.Ali Imran : 54 yang
artinya:
‘Mereka itu membuat makar, dan Allah (membalasnya) dengan makar-Nya, dan Allah lah sebaik-baik pembuat makar”.
Allah sendiri telah memberi jalan kepada manusia untuk membangun puing-puing ukhuwah Islamiyah, dengan jalan berikut :
Pertama, Mengadakan Islah,
perbaikan di antara yang bertikai, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat al-Hujarat ayat 10 yang artinya :
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang beriman saja yang bersaudara, maka damaikanlah di antara saudara-saudaramu”.
Sedangkan Islah atau perdamaian tidak
akan mungkin bisa terjadi, kecuali mengikuti aturan berikut : Perdamaian
itu harus berprinsip adil. Yang dimaksud adil di sini adalah sesuai
dengan tuntutan syara` yang di dalamnya pasti mengandung maslahat, sebab
di mana ada syara` di situ ada maslahat. Allah telah berfirman dalam
surat al-Hujarat : 9 yang artinya ;
“Hendaklah kamu damaikan keduanya dengan
prinsip adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang adil”. Dan Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat adil di dunia akan berada di mimbar-mimbar yang
terbuat dari permata di hadapan Allah, karena aktifitas adilnya yang
dilakukan di dunia”(HR. Ibnu Hasim dan an-Nasa`i).
Kedua, membangun kesamaan dalam
pemikiran (konsep-konsep) Islam yang mendasar, sehingga bisa melahirkan
kesamaan akan perasaan berislam, dan juga melahirkan kesamaan perasaan
cemburu jika Islam dihina. Sehingga yang terjadi adalah tolong-menolong
dalam kebaikan pada diri umat Islam. Inilah yang akan memperkuat ukhuwah
islamiyah. Lihat QS. Al-Maidah : 2.
Ketiga, meningkatkan rasa takwa
pada Allah, sebab dengan demikian akan membuat manusia (umat Islam)
takut untuk melanggar aturan-aturan Allah. Yang akhirnya akan dapat
membedakan mana yang seharusnya sebagai lawan dan sebagai saudara. Lihat
QS. Al-hujarat : 10.
Keempat, tidak melakukan hal-hal
yang bersifat mencela/meremehkan kelompok lain sesama Islam, dan tidak
memanggil dengan sebutan yang tidak disenangi, sebab bisa jadi yang
meremehkan itu lebih tercela dari pada yang dicela. Lihat QS. Al-Hujarat
: 11.
Kelima, menjauhi sifat su`udzan, ghibah, fitnah, memata-matai untuk mencari kelemahan pada orang lain. Lihat QS. Al-Hujarat : 13.
Dari uraian tersebut, bisa disimpulkan bahwa :
- Orang yang mengucap kalimat syahadat tidak boleh diperangi.
- Orang yang mengucapkan kalimah syahadat (asalkan tidak merusak akidahnya dengan keyakinan lain) dengan keyakinan dan pembenaran yang pasti, maka ia akan masuk surga, meskipun mengerjakan perbuatan maksiat (walau masih `mampir` ke neraka) untuk membersihkan maksiat yang dilakukan karena lalai, lupa atau kebodohannya tentang hukum Allah.
Hal ini berdasarkan hujjah sebagai berikut :
Bahwa Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas
bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda : “Dzalim itu ada tiga, yaitu
dzalim yang tidak diampuni Allah, dzalim yang diampuni-Nya, serta dzalim
yang tidak meninggalkan darinya pada sesuatu apapun”.
Dzalim yang tidak diampuni oleh Allah
adalah syirik, menyekutukan Allah dengan yang lain, sesuai firman-Nya
Surat Lukman : 13 yang artinya :
“Sesungguhnya syirik itu adalah
kedzaliman yang besar”. Dan termasuk dalam kategori dzalim di atas
adalah bertahkim pada hukum-hukum selain yang dibuat Allah, mencampur
sebagian dan membuang sebagian yang lain dari hukum Allah. Dalam kondisi
ini tidak diampuni dosa-dosa mereka meskipun mereka shalat, puasa dan
haji. Karena mereka telah mensyirikkan dan menentang hukum Allah, Allah
SWT berfirman : “Barang siapa yang tidak bertahkim dengan hukum Allah
maka mereka termasuk orang-orang kafir”. (QS. Al-Ma`idah : 44).
Dalam surat an-Nisa`: 60 Allah berfirman :
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada taghut (selain
hukum Islam). Padahal mereka diperintah untuk mengikarinya”. Dalam surat
an-Nisa`: 150-151 Allah azza wa jalla berfirman: “…Mereka berkata, kami
beriman kepada yang sebagian dan kafir kepada sebagian yang lain…”
“Mereka itu adalah orang-orang kafir yang sebenarnya…”.
Dzalim yang bisa diampuni Allah adalah
dzalimnya hamba terhadap Allah dengan melakukan maksiat karena lalai dan
kealpaan atau kebodohannya. Selama tidak menggunakan keyakiannnya pada
kalimat Laa ilaha illallah. Maka dzalim seperti ini masih termasuk ahli
surga, meskipun harus `mampir dulu di neraka dahulu. Diriwayatkan
Syaikhan dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah bersabda : “Tidak seorang hamba
pun yang berkata Laa ilaha illallah, kemudian ia mati tetap pada
perkataan tersebut, kecuali ia masuk surga. Saya berkata : Meskipun
berzina dan mencuri?. Rasulullah menjawab : Meskipun berzina dan
mencuri. Saya berkata lagi : meskipun berzina dan mencuri?. Rasulullah
menjawab:meskipun berzina dan mencuri (sampai tiga kali). Dan berkata
Rasulullah yang keempat kalinya : meskipun Abu Dzar terpaksa yang
demikian itu.. Dalam riwayat lain disebutkan : “Barang siapa yang mati
dan dia tahu bahwa tiada tuhan kecuali Allah, maka ia masuk surga”
(HR.Muslim).
Oleh karena itu, seorang muslim yang
sejati harus mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya
secara menyeluruh, sehingga bisa masuk surga tanpa `mampir` ke neraka.
Dzalim yang ketiga adalah berkaitan
dengan kedzaliman hamba yang satu dengan hamba yang lain. Sehingga
saling menghinakan satu sama lain. Dalam kondisi ini saling memaafkan
dan saling menghormati akan menghilangkan dosa dzalim tersebut.
***
Demikianlah hujjah dari kesimpulan di
atas, bahwa tidak diperkenankan bagi kita untuk memerangi orang-orang
Islam yang masih meyakini Laa ilaha illallah. Namun jika melihat fakta
yang ada sekarang ini, banyak sekali orang-orang yang mengaku Islam,
meskipun ideologi mereka adalah ideologi kapitalis dan sosialis atau
dicampurkan dengan lainnya. Maka sikap kita pada mereka adalah
memastikan mereka sebagai orang kufur, karena telah menafikan
hukum-hukum Allah serta mencampur dengan hukum mereka. Sebagai hamlud
da`wah hendaknya kita berusaha untuk berjidal dengan mereka guna
mematikan argumentasi-argumentasinya dan membuat argumentasi yang kuat
yang berdasarkan syari`at Islam. Dan tidak melakukan peperangan kecuali :
- Diperintah oleh Amirul Mu`minin (Penguasa Islam). Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar untuk memerangi pembangkang-pembangkang yang tidak mau membayar zakat.
- Jika mereka menyerang kita, maka kita wajib mempertahankan diri dan menyerang balik kepada mereka.
Adapun peperangan yang dilakukan oleh
para sahabat (Ali dan Mu`awiyah, Ali dengan `Aisyah) maka dalam hal ini
ulama-ulama` Sunni berpendapat agar tidak mengomentari peperangan
mereka, sebagaimana yang telah dikatakan Imam Abu Hanifah, Hasan
al-Bashri dan Umar bin Abdul Aziz, di antara mereka berkata : “Itulah
darah-darah yang telah tertumpah yang Allah membersihkan tanganku dari
pada percikannya, maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku”.
Dan juga ahli hikmah mengatakan : “Dan apa yang terjadi diantara
sahabat, kami memilih sikap diam” – Wallohu a’lam. *** (KH/falam)
(Sumber : CD ceramah Posisi dan Peran Sahabat Nabi SAW oleh Prof. DR. Sayid Muhammad Al-Maliki & Jurnal Keislaman Bayan)
Rintihan Suci Putri Nabi : Maqtal Sayidah Fathimah Az-Zahra
Desember 10, 2010
Salam atasmu duhai
putri sebaik baiknya makhluk, salam atasmu wahai putri nabi, salam
atasmu wahai istri al-washi, salam bagimu duhai ibu al-Hasan dan
al-Husain, salam atasmu wahai wanita suci yang dizhalimi dan diambil
haknya, salam bagi ruh dan jasadmu yang suci nan semerbak dari lisan
yang penuh dengan dosa ini,
Salam bagimu…..
Tepat pada tanggal 20 Jumadil Tsani, di
hari Jumat yang suci, dua tahun setelah bi’tsah Rasul saw, Sayyidah
Khodijah melahirkan seorang putri yang telah dipersiapkan untuk
mengemban tugas yang teramat berat. Sosok yang kelahiran sampai akhir
hayatnya kelak dipenuhi dengan berbagai derita dan cobaan yang akan
menimpanya.
Dengan didampingi oleh empat wanita suci
Assayyidah Khodijah melahirkan bayi suci yang namanya telah dipersiapkan
oleh penciptanya sebelum kelahirannya tiba. Fathimah adalah nama yang
dihadiahkan Tuhan untuk putri Nabi ini.
Pada usia yang masih sangat belia
Fathimah Azzahra harus berpisah dengan ibundanya yang tercinta. Khodijah
wanita suci yang selalu mendampingi Nabi dalam suka dan duka telah
dipanggil pencipta untuk selama lamanya. Nabi bersedih atas kepergian
istri yang teramat dicintainya, begitu pula Fatimah turut dalam
kesedihan yang teramat sangat. Sepeninggal Khodijah perhatian Fathimah
kepada ayahnya semakin bertambah. Peran ibundanya sekejap ia letakkan
diatas pundaknya. Fathimah berupaya menghibur ayahnya atas kepergian
sang istri tercintanya.
Ketika Nabi di Thaif, sekelompok anak
anak kecil dan juga orang dewasa berlomba menimpuki Nabi dengan batu dan
kotoran unta, Fathimah yang masih sangat belia tampil dengan perangai
seorang ibu yang cemas dengan putranya. Dibersihkan kotoran dan darah
yang berada pada pada wajah ayahnya. Air mata nabi tak mampu beliau
sembunyikan ketika melihat putri tercintanya. Seorang anak yang
sepatutnya sedang asyik bermain dengan teman seusianya sekarang justru
berada dipangkuan ayahnya, menghalangi siapapun yang akan melukai
rasulnya. Fathimahpun menangis melihat keaadan ayahnya, dengan suara
bergetar penuh keharuan nabi meyeka tiap butiran air mata yang mengalir
dipipi mungil putrinya sambil berkata, ‘ habibati Fathimah la tabki’,’
belahan jiwaku Fathimah janganlah engkau menangis’. Begitulah ucapan
Nabi ketika tangan suci putrinya menyeka darah yang mengalir
dikeningnya. Ummu Abiha, ibu dari ayahnya adalah gelar yang Rasulullah
peruntukkan kepada putrinya. Satu satunya gelar yang belum pernah ada
dalam sejarah kecuali untuk Fathimah Azzahra as.
Duka dan kesedihan selalu mengiringi
kehidupan keluarga nabi, akan tetapi Fathimah senantiasa menyembunyikan
kedukaannya selama sang ayah berada disampingnya. Kecintaan assayyidah
Fathimah begitu tinggi terhadap ayahnya dan begitu pula Rasul saaw
kepada putrinya hingga beliau bersabda, “Fathimah adalah belahan jiwaku,
siapapun yang mencintai Fathimah berarti dia mencintaiku”.
***
Saat yang membahagiakanpun tiba, Fathimah
dinikahkan dengan putra pamannya, seorang yang tak pernah meninggalkan
nabi dalam perang apapun, putra Abu Thalib yang kelahirannya dibaitullah
dengan segala keajaibannya, dialah Ali bin Abi Tholib yang tanpa
keberadaannya tak akan mungkin ada manusia yang layak meminang Fathimah
dan menikah dengannya. Pernikahan yang dirayakan tidak hanya oleh
penduduk bumi, para malaikat dan bidadari dilangitpun sibuk
menyambutnya. Jibril as meyampaikan pesan Tuhan kepada Rasul ketika
merayakan pernikan al Batul Fathimah dengan al Wusul Ali bin Abi Tholib,
yang berbunyi ;
“Al Hamdu adalah selendang-Ku, keagungan
adalah kebesaran-Ku, segala makhluk adalah hamba-Ku, Aku menikahkan
Fathimah hamba-Ku dengan Ali pilihan-Ku, saksikanlah wahai para
malaikat-Ku. ..”
Sementara di bumi Rasul saaw bersabda ;
“Sungguh aku manusia seperti kalian, menikah ditengah kalian dan
menikahkan kalian, kecuali Fathimah putriku yang pernikahannya turun
dari langit.”
Ketika Rasulullah menyuruh para wanita
keluar dari kamar putrinya pada saat malam pernikahan, Asma’ bintu
Unmais salah seorang yang berkhidmat kepada keluarga nabi tetap tak
melangkah kakinya, hingga Rasulpun bertanya kepada Asma’ ; “Bukankah
aku telah menyuruhmu untuk meninggalkan kamar putriku ini wahai Asma’
?”. Ia menjawab ; “Betul wahai Rasul, semoga ayah dan ibuku menjadi
tebusanmu. saya tak bermaksud untuk melanggar perintahmu akan tetapi
wasiat Khadijahlah yang menyuruhku untuk berada di kamar ini. Di
saat-saat terakhirnya beliau mewasiatkan kepadaku untuk mendampingi
putrimu di saat seperti ini, karena setiap wanita pasti akan
mengharapkan kehadiran ibundanya untuk berada di sampingnya ketika
hendak menikah”. Rasulpun bersedih bersama putrinya ketika mendengar
Asma’ bercerita tentang Khadijah.
***
Madinah 28 Shofar tahun ke-11 H adalah
tahun yang paling menyedihkan bagi keluarga Nabi terutama Fathimah.
Lembaran kedukaan yang teramat sangat mulai tampak dirumah arrasul.
Semua orang menatap sedih melihat kondisi Nabinya. Satu persatu keluarga
beliau dipanggilnya, dimulai dari al Hasan sampai kepada Azahra yang
terus menerus menangis dalam pelukan ayahnya. Nabi memeluk erat putrinya
seakan beliau tak ingin melepaskannya begitu pula Fathimah. Hingga
Rasul saaw membisikkan pesan terahirnya barulah Fathimah tersenyum
keluh, senyuman pertanda ia adalah orang pertama yang akan menyusul
ayahnya.
Fiddhoh seorang kepercayan azzahra
bercerita tatkala Rasulullah saaw meniggal dunia berdukalah yang kecil
dan yang besar, dan bertambah benyaklah tangisan dukapun menjadi besar
atas kerabat, sahabat, kekasih dan orang-orang kesayangan, juga orang
asing yang tak memiliki nasab dengan beliau. Yang terlihat hanyalah
orang yang menangis, baik laki laki maupun perempuan. Begitu banyak
orang yang menangis dan berduka tetapi kesedihan para penghuni bumi
tiada sebanding dan melebihi duka Sayyidah Fathimah as, setiap hari
kesedihannya bertambah begitu pula tangisannya bertambah keras lalu ia
berdiam diri selama tujuh hari. Ketika Fathimah menangis setiap
tangisannya lebih besar dari sebelumnya. Pada hari kedelapan ia
menampakkan kesusahan yang dipendamnya, saat itu Azzahra berteriak
histeris sambil menangis lalu memanggil-manggil ayahnya, “Wa abatah….wa
Muhammadah. Wahai ayah….wahai Muhammad. Duhai tempat berlindungnya para
janda dan anak yatim, siapa lagi milik putrimu yang sangat mencintai dan
kehilangannmu ini.”
Dan beliaupun sering tak sadarkan diri,
ketika Bilal mengumandangkan azan, saat terdengar nama ayahnya disebut
“Asyhadu anna Muhammadar Rasululullah”. Kembali Fathimah menangis seraya
berkata ; “ismuka ‘alal mana’ir wa rosmuka fil maqobir (namamu
menghiasi menara-menara masjid, sementara jasadmu terbujur di dalam
kubur)”. Ali berlari memeluk istri tercintanya dan memberikan baju nabi
yang dipintanya, lalu Fathimah menciumi baju Nabi sampai terjatuh ke
tanah, sambil berlinang air mata Azzahra berjalan menuju pusara ayahnya.
Ketika berada di depan kubur ayahnya, Fathimah mengambil segenggam
tanah dari makam ayahandanya, beliau ciumi tanah suci nabi sambil
berkata ; “Madza ‘ala man syamma turbata Ahmadin, ala yasyummu
madazamani ghowaliya, syubbat alayya masho’ibun laula annaha, syubbat
‘alal ayyami sirna layaliya”. (…kalau saja penderitaanku ditimpakan pada
siang, maka ia akan menjadi malam)”
***
Tak ada lagi senyuman yang terpancar dari
Fathimah setelah kepergian nabi. Hari demi hari pendertitaan datang
silih berganti. Seakan ujian enggan menjauhinnya. Para sahabatpun
memiliki andil besar dalam menambah kesedihan untuk putri kesayangan
nabi ini. Setelah mereka mengambil hak suaminya, Ali dan tanah fadaqpun
dirampasnya sebagai milik negara oleh penguasa. Tidak berhenti sampai di
situ penderitaan Fathimah putri nabi semakin menjadi ketika sekumpulan
manusia lapar kekuasaan mengepung rumahnya. Rumah tempat turunnnya
risalah, rumah yang dindingnya adalah nubuwah dan atapnya adalah arsynya
Allah, sekarang sedang dikelilingi oleh orang yang mengaku tonggaknya
agama dan kebenaran. Teriakan bengis yang tak patut mereka lontarkan,
sampai ancaman pembakaran. Pintu rumah pertemuan antara nubuwah dan
imamah didobrak paksa, pintu yang di baliknya terdapat wanita tanpa
daya. Di balik pintu itu ada Fathimah. Mereka terus memaksa masuk.
Pemandangan apakah yang terjadi setelahnya. Az-Zahra jatuh terhuyung ke
tanah rumahnya. Lalu api mereka sulut dan lemparkan. Fathimah terluka,
tulang rusuk dan lengannya pun patah. Putra beliau (Muhsin) syahid
karena keguguran. Lengkaplah kesedihan putri nabi dengan apa yang
diterimanya dari orang yang mengaku para sahabat pembela ayahnya. Hal
ini mengingatkan kita akan syair yang layak melekat pada mereka ; “Lau
ahabbu abaaki haqqon ahabbuki” - (Kalaulah benar mereka mencintai
ayahmu, pasti mereka akan mencintaimu) .”
Hari demi hari dilaluinya dengan
penderitaan yang tak kunjung berakhir, badan putri nabi ini semakin
teriris pedih dan tubuhnyapun semakin tak berdaya. Ketika kekuatan
fisiknya semakin melemah dikarenakan sakit yang dideritannya. Azzahra
berupaya memandikan putranya Al-Hasan dan Al-Husain, menggantikan
pakaian mereka, kemudian mengirim mereka kepada sepupunya, walaupun
demikian ia berupaya menyembunyikan rasa sakitnya di hadapan kedua
anakanya.
Kemudian Azzahra memanggil suami
tercintanya ke sisinya seraya berkata ; “Ali suamiku yang tercinta, anda
sangat mengetahui mengapa saya lakukan semua itu. Maafkan segala
kesalahan saya, mereka telah demikian menderita bersama saya selama
sakit saya, sehingga saya ingin melihat mereka bahagia pada hari
terakhir hidupku. Wahai Ali andapun tahu bahwa hari ini adalah hari
terakhir saya. Saya gembira tetapi juga bersedih. Saya senang bahwa
penderitaan saya akan segera berakhir dan saya akan bertemu dengan ayah
saya, dan sedih karena harus berpisah denganmu. Mohon wahai Ali catatlah
apa yang akan saya katakan dan kerjakanlah apa yang saya inginkan.
Sepeninggal saya anda boleh menikahi siapa saja yang anda sukai tetapi
hendaklah anda nikahi Yamamah sepupuku, ia mencintai anak-anakku, dan
Husain sangat dekat kepadanya. Wahai Ali, kuburkan saya di malam hari
dan jangan biarkan orang-orang yang telah sedemikian kejam kepada saya
turut menyertai penguburan saya. Jangan biarkan kematian saya
mengecilkan hatimu. Anda harus melayani Islam dan kebenaran untuk waktu
yang lama. Janganlah penderitaanku memahitkan kehidupanmu. Berjanjilah
pada saya wahai Ali”. Dengan berlinang air mata, Ali menjawab ; “Ya
wahai istriku tercinta, aku berjanji.”
Fathimah lalu berkata lagi ; “Ali, saya
tahu betapa engkau sangat mencintai anak-anak saya. Namun, sangatlah
berhati-hati dengan Husain, ia sangat mencintai saya dan ia akan sangat
sedih kehilangan saya. Jadilah ibu baginya. Hingga menjelang sakit saya
ini, ia biasa tidur ke dada saya, dan sekarang ia kehilangan itu”.
Ali sedang mengelus-elus tangan yang
patah itu, tak kuasa menahan airmatanya hingga tetesannya terjatuh ke
tangan istrinya. Fathimah mengangkat wajahnya seraya berkata ; “Jangan
menangis wahai suamiku, saya tahu dengan wajah lahirmu yang tampak kasar
betapa lembut hatimu, engkau telah menderita terlalu banyak dan masih
akan menderita lebih banyak lagi.”
Di malam terakhir kehidupunnya didunia
yang fana ini, sambil menahan rasa sakit yang menimpanya, Sayyidah
Fathimah Azzahra menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa
untuk pengikut dan pencinta setia keluarga Nabi. Dengan menyebut ayah,
suami, dan putra-putranya beliau memohon kepada Allah Jalla wa ‘Ala’
; “Wahai Tuhan-ku, sungguh aku memohon kepada-Mu melalui Muhammad
al-Musthofa dan kerinduannya kepadaku, melalui suamiku Ali al-murtadho
serta dukanya terhadapku, melalui al-Hasan al-Mujtaba dan tangisannya
atasku, melalui putraku al-Husain As Syahid dan kedukaannya terhadapku,
melalui putri-putriku dan duka mereka semua atasku. Sungguh Engkaulah
yang paling pengasih dari segala yang mengasihi. Tuhanku, Penghuluku,
aku bermohon kepada-Mu melalui orang orang pilihan-Mu dan tangisan
putra-putraku karena berpisah denganku, agar Engkau mengampuni para
pendosa dan ahli maksiat dari pengikut keturunanku.”
Madinah, 3 Jumadil Tsani 11 H. Saat saat
yang memilukan semakin mendekati keluarga nabi dan pencintanya. Asma’
binti Umais dengan diselimuti kegundahan berada di depan pintu kamar
Azzahra. Suara lantunan al-Quran dan doa dalam sholat Fathimah masih
mampu didengarnya, akan tetapi tak lama kemudian suara itu lenyap tak
terdengar lagi. Asma’ pun memanggil ; “Ya Zahra …..ya Zahra ……. ya
Zahra”, tetapi tidak tak ada jawaban. Hingga ia pun memberanikan diri
untuk memasuki kamar putri nabi itu, dan didapatinya tubuh suci putri
nabi di atas sajadah dalam keadaan sujud tertutupi rida’-nya. Lalu
dibukanya rida’ (kain penutup) itu, dan tampak wajah penuh bercahaya
memancar dari paras suci Azzahra as. Belum usai tangis Asma’, ia sudah
dikejutkan oleh suara salam anak kecil dari balik pintu, yang tak lain
adalah suara Al-Hasan dan Al-Husain yang baru usai sholat berjamaah
dengan ayahnya.
Segera mereka bertanya tentang keberadaan
ibu mereka. Asma’ mengatakan bahwa ibunda mereka sedang tertidur, lalu
menyuruh putra Zahra ini untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan.
Tetapi apa jawab Al-Husain ; “Saat ini adalah saat ibu kami beribadah
dan kami tidak pernah menikmati hidangan tanpa ibu di samping kami”.
Asma tak mampu menyembunyikan tangisnya, Al-Husain segera berlari menuju
ke kamar ibundanya, ia mendapati ibunya sudah tak bernyawa. Sambil
berteriak dan menangis, Al-Husain menciumi kaki
ibunya, Al-Hasan meletakkan pipinya di wajah ibunya ; “Ya ummah
kallimini… ..ummah kallimini ….. ana ‘azizuki al-Husain (wahai ibu,
bicaralah kepadaku…bicaralah kepadaku…aku putera kesayanganmu
al-Husain).”
Ali pun jatuh tersungkur tak sadarkan
diri di perkarangan masjid Madinah, ketika mendengar kepergian Fathimah.
Kaki yang tegap ketika di Badar, tubuh yang kekar ketika di Khaibar,
akhirnya tak kuasa menahan derita perpisahan dengan semerbak wewangian
surga Fathimah al-Kautsar. Beliau berkata ; “Aro ‘ilaluddunya alayya
katsirotan wa shohibuha ba’dal mamati ‘alilun”. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa Fathimah hanya meminta Ali menyolatkan dan
menguburkannya, dikarenakan beliau telah membersihkan dirinya dan telah
menyuruh Asma’ mengkafaninya, dikarenakan kasih sayang Fathimah kepada
Ali suaminya, agar beliau tak melihat bekas luka dirusuknya yang patah.
Beliau khawatir Ali semakin bertambah kesedihannya.
Malam pun tiba, sekelompok kecil orang
yang diizinkan Fathimah berjalan mengusung jenazah putri nabi. Alipun
meminta Abu Dzar untuk mengusungnya karena beliau tak mampu berjalan
dengan keranda Sayyidatun Nisa’ di pundaknya. Usai pemakaman Ali meminta
Abu Dzar membawa pulang kedua putranya dan meninggalkan dirinya sendiri
di pusara istrinya. Ketika tak seorangpun berada di kubur Fathimah, Ali
menghadap ke kubur Rasulullah seraya berkata ; “Assalamu ‘alaika ya
Rasulullah. Salam atasmu wahai Nabi Allah, aku dan putrimu sekarang
berada di pekaranganmu. Tak lama lagi putrimu akan bertemu denganmu,
wahai junjunganku. Sahabatmu yang tulus ini masih mampu bersabar
berpisah dengannya, namun yang membuat aku lemah kelak putrimu akan
memberitahukan kepadamu tentang penyelewengan umatmu dan tindakan mereka
yang menyakiti putrimu. Tak lama lagi ia akan menemuimu untuk
menceritakannya kepadamu. Salam sejahtera dariku, seorang yang amat
mencintaimu”. ***(Oleh : Ust. Fuad al Hadi
/ majelisrasulullah@yahoogroups.com)
KH Bisri Syansuri : Pribumisasi Islam
HAJI Oemar Sahid
Tjokroaminoto mempunyai dua orang sepupu, yaitu KH Hasyim Asy’ari dan KH
A Wahab Chasbullah. Di samping itu, ia juga mempunyai menantu bernama
Soekamo, di belakang hari terkenal dengan panggilan Bung Kamo. Sejak
1919 mereka bertiga dan Soekarno mendialogkan semangat kebangsaan dan
agama Islam. Mereka membentuk klub diskusi pada 1919 yang dinamai
Taswirul Afkar (Konseptualisasi Pemilkiran).
Langkah tersebut merupakan kelanjutan
dari tindakan lain, yaitu mendirikan Syarikat Islam Cabang Mekkah pada
1913. KH M Bisri Syansuri, ipar KH A Wahab Cbasbullah, tidak mau turut
serta dalam memimpin SI Cabang Mekkah itu. la menyatakan bahwa ia sedang
mengajukan permintaan izin tertulis dari gurunya KH M Hasyim Asy’ari di
Tebuireng (Kabupaten Jombang).
Perang Dunia Pertama pada 1914 membuat
mereka segera pulang ke Tanah Air. Perkecualian dalam hal ini adalah KH A
Wahab Chasbulah yang tinggal di Mekkah hingga 1917. Sementara itu, sang
ipar, yakni KH M Bisri Syansuri, sudah diberi tanah oleh mertuanya di
Denanyar Jombang untuk membuat pesantren dan tinggal di kompleks itu.
la dan sang ipar KH A Wahab Chasbullah
aktif mengikuti pengajian-pengajian yang didatangi KH Abdul Mu’ti, tokoh
Muhammadiyah yang belakangan menjadi sesepuh GPIl (Gerakan Pemuda Islam
Indonesia) di kawasan Menteng, Jakarta. Kalau orang ingin tetap kering
dan tidak basah, padahal ia sering mengikuti orang yang kerjanya
sehari-hari membawa orang lain ke kamar mandi, ia juga akan basah.
Dari ucapan itu jelas bahwa “menjadi
basah” adalah keadaan sehari-hari seseorang yang mengikutinya. Nah,
orang yang tidak rasional mengharapkan keadaan kering dari orang lain
yang hidupnya memang di tempat basah. Penggunaan perumpamaan seperti
inlah yang sering digunakan para ulama, kiai di lingkungan pondok
pesantren.
Tindakan tiga orang bersaudara sepupu itu
kemudian diteruskan tiga orang kemenakan mereka, yakni KH A Wahid
Hasyim, KH A Kabar Muzakir (di belakang bari menjadi ketua PP
Muhammadiyah), dan H Ahmad Djojosugito (pendiri Gerakan Ahmadiyah).
Ketiga orang ini meneruskan upaya orangtua mereka itu dengan melanjutkan
diskusi bulanan tentang agama Islam dan semangat kebangsaan. Pada 1926
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya, juga merupakan upaya saling
mendekatkan tokoh-tokoh pondok pesantren itu. Tak mengherankan jika NU
Ialu benar-benar mengenal nasionalisme dalam segala aspeknya melalui
diskusi-diskusi yang tidak pemah berhenti. Ini dilakukannya seperti
ajaran Islam yang dikenal melalui pondok pesantren. Inilah yang
membedakannya dari lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.
Ketika Soekarno belajar di Sekolah Tinggi
Teknik di Bandung (sekarang dikenal dengan nama ITB/Institut Teknologi
Bandung), ia kemudian menetap di sana dan menikahi Inggit Ganarsih yang
ditinggalkannya di Jawa Timur. Namun, kondisi itu tidak menghentikan
diskusi bulanan mereka dan tetap mendialogkan hubungan antara Islam
dengan nasionalisme.
Kerja ini menunjukkan basil ketika pada
1935 NU menyelenggarakan Muktamar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Dalam forum itu dibahas wajib atau tidak ada negara Islam di negeri ini.
Jawabnya, tidak wajib. Ia tidak sekadar berbicara semau mereka, tetapi
didasarkan pada nalar yang sehat dan sumber tertulis yang benar untuk
itu, yaitu Bugyah al- Mustarsyidin.
Jalan pikiran forum itu adalah sebagai
berikut. Jika koionialis Belanda membiarkan kaum muslim di Indonesia
melaksanakan ajaran Islam/syariah secara utuh tanpa ada larangan,
ditakutkan kolonialis lain tidak akan seperti itu sikapnya. Yang
terpenting bagi kita adalah kenyataan bahwa nasionalisme dalam hal ini
menjadi bagian kehidupan kawan beragama Islam (kaum santri) dengan
segala dialognya dengan kaum nasionalis. Dengan keputusan muktamar
tersebut, jalan dipermudah untuk menerima perumusan Pancasila oleh Bung
Karno pada 1 Juni 1945, disusul Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus
1945 seperti juga halnya penerimaan rumusan adil dan makmur dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
Hal itu disusul dengan berbagai upaya
berlainan untuk merumuskan semangat kebangsaan kita sebagai bangsa dan
negara hingga saat ini dan di kemudian hari. Penulis artikel ini merasa
bahwa mereka yang sektarian juga akan merumuskan apa yang mereka namakan
semangat kebangsaan itu karena memang UUD 1945 memerintahkannya.
Hal seperti itu akan berlangsung dan
ujungnya pada tumbuhnya semangat kebangsaan yang satu. Sebab, awal
lahirnya rumusan semangat kebangsaan kita sekarang ini juga dari yang
kelompok keeil, yaitu dari “kesadaran” sebuah keluarga, akhirnya menjadi
kesadaran sebuah bangsa dan negara.
Namun, hal itu tidak usah membuat kita
heran karena memang demikian perkembangan sejarah selamanya. Ini juga
dialami imperium Romawi dengan kisah Julius Caesar yang ditikam Brutus,
semuanya wajar saja, bukan? . (**)
Penulis : KH Abdurrahman Wahid. Pengasuh Ponpes Almunawaroh, Ciganjur, Jakarta. – http://www.gusdur.netJejak : Masjid Para Tumenggung Mataram
Untuk mencapai
Pantai Marunda, Jakarta Utara, kita harus mau sedikit bersusah payah.
Jalan paling dekat dapat ditempuh melalui Cilincing dengan kendaraan
umum, untuk kemudian naik ojek ke Kawasan Berikat Nasional (KBN)
Marunda. Dari sini kita masih harus naik perahu sekitar lima menit. Dan,
sampailah kita di Masjid Marunda, yang diberi nama Al-Alam, terletak
tidak jauh dari Pantai Marunda.
Masjid Marunda, yang dulunya hanyalah
sebuah surau masih terlihat jelas kekunoannya sekalipun telah beberapa
kali mengalami pemugaran. Menurut Dinas Sejarah dan Pemugaran DKI
Jakarta, masjid di tepi pantai Marunda ini memiliki sejarah panjang.
Mengutip keterangan masyarakat setempat, masjid ini dibangun oleh
Falatehan, saat hendak menghalau Portugis dari Sunda Kelapa. Dari tempat
inilah, panglima dan ulama dari Demak itu mengonsentrasikan pasukannya
terlebih dulu sebelum menaklukkan Portugis pada 22 Juni 1527, yang
kemudian dijadikan sebagai kelahiran kota Jakarta.
Tepat satu abad kemudian, Masjid Marunda
kembali menjadi markas perjuangan melawan penjajahan, ketika Sultan
Agung dari Kerajaan Mataram melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia,
pada 1628 dan 1629. Lepas dari kegagalan segi militer untuk merebut
kembali Batavia dari penjajah Belanda, tapi proses Islamisasi di kota
ini telah mendapatkan mementum baru. Karena ternyata, para tumenggung
dari Kerajaan Mataram di samping prajurit-prajurit yang gagah, juga juru
dakwah yang andal. Mereka inilah yang membangun surau-surau di Jakarta,
yang kelak di awal abad ke-18 menjadi masjid-masjid.
Ketika prajurit-prajurit Mataram itu
mendarat di pantai Marunda di Cilincing ini, mereka bersembunyi dan juga
memugar Masjid Marunda. Sambil mengatur siasat perlawanan terhadap
Belanda. Dengan demikian, kembali masjid ini telah memainkan peranan
penting sebagai tempat penggemblengan mental para gerilyawan Mataram, di
samping tentunya sebagai tempat ibadah.
Melihat sejarahnya itu, tidak heran kalau
pada masa revolusi fisik tahun 1945, dari Masjid Marunda dikumandangkan
semangat //jihad fi sabilillah// oleh para ulama dan pejuang. Sehingga
daerah Marunda sangat dibanggakan dalam perjuangan RI mempertahankan
kemerdekaan, karena menjadi ajang pertempuran antara para pejuang dengan
tentara NICA.
Mengingat semangat masyarakatnya yang
demikian gigih, tentara Belanda yang kalap kemudian membakar habis
daerah Marunda, menyebabkan banyak korban jiwa. Namun Masjid Marunda
masih tetap menjalankan fungsinya sebagai ‘baitullah’.
Para balatentara Mataram sekalipun gagal
merebut Jakarta, tapi banyak yang tetap tinggal di Jakarta dan mereka
menyebar di berbagai tempat. Rupanya, semangat keagamaan para tumenggung
dari Kerajaan Islam Mataram ini tidak pernah surut. Setelah gagal
mengusir VOC atau Kompeni secara fisik dan kekerasan, mereka pun
melakukan cara-cara lain.
Dengan cara mendirikan masjid-masjid,
yang sekaligus dijadikan sebagai tempat pembinaan mental agama, dan
mengobarkan semangat menentang penjajahan. Di antara masjid yang
dibangun para tumenggung dari Mataram ini, di samping Masjid Marunda,
juga Masjid Al-Mansyur di Kampung Sawah, Kelurahan Tambora, Jakarta
Barat dan Masjid Al Makmur di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tentu masih
ada sejumlah masjid lagi yang dibangun oleh para tumenggung dan para
keturunannya.
Masjid Al-Mansyur sendiri dibangun oleh
keturunan Pangeran Tjakrajaya dari Mataram pada 1717. Masjid ini, pernah
diperbaiki kembali karena arah kiblatnya yang tidak benar. Imam Moh
Arsyad, seorang tokoh ulama dari Banjarmasin (pengarang kitab terkenal
Sabilal Muhtadin) dengan permufakatan bersama para ulama ketika itu,
memperbaiki letak kiblat tersebut.
Akhirnya, oleh KH Moh Mansyur, yang masih
keturunan bangsawan dari Mataram, masjid ini diperluas pada 25 Sya’ban
1356 Hijriah (1957). Nama Mansyur hingga sekarang diabadikan untuk nama
masjid tersebut. Seperti juga pendahulu-pendahulunya, oleh Mansyur,
ulama yang sangat dikenal luas di Betawi, masjid ini sekaligus dijadikan
pula sebagai tempat penggemblengan para jamaah tentang cinta Tanah Air
dan kewajiban untuk membelanya.
Tanpa merasa takut terhadap ancaman
Belanda, pada masa revolusi fisik di masjid ini dipancangkan Sang Saka
Merah Putih. Tidak heran, kalau masjid ini pada 1947-1948 pernah
ditembaki dan digrebek oleh tentara NICA. KH Moh Mansyur sendiri
digiring ke markas polisi Belanda, yang kala itu terletak di Gambir,
depan Museum Nasional.
Saat diinterogasi oleh serdadu-serdadu
Belanda, kiai patriotik yang wafat 1967 itu dengan tegas mengatakan:
‘Setiap bangsa punya bendera sendiri, seperti juga bangsa Belanda.’
Masjid lainnya yang dibangun para
temanggung Mataram, adalah Masjid Al-Makmur, yang letaknya sekitar 100
meter dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Masjid, yang sampai tahun
1950-an merupakan salah satu masjid terbesar di Jakarta, awalnya
hanyalah sebuah surau sangat sederhana. Seperti juga masjid-masjid tua
di Jakarta, dahulunya rata-rata berukuran 12×10 meter persegi, dengan
empat buah tiang panjang sebagai penyanggahnya.
Masjid ini dibangun oleh kedua putra
Raden Busyo, yang dikenal dengan nama KH Muhammad Asyuro, seorang
bangsawan Mataram. Kedua putranya itu adalah KH Abdul Somad Asyuro dan
KH Abdul Murad Asyuro.
Kakak beradik ini, yang merupakan juru
dakwah andal pada awal-awal Kerajaan Mataram, membangun surau itu pada
1527 M atau 920 Hijriah, saat berkembangnya Islam di Jakarta. Bersamaan
dengan bergabungnya tentara Islam dari Demak dan Banten dipimpin oleh
Falatehan.
Dalam perkembangannya, masjid ini
diperluas pada 1910, setelah pengurusnya menerima hibah tanah wakaf dari
dua orang dermawan keturunan Arab. Setelah perluasan, ukuran masjid ini
menjadi 44×22 meter persegi.
Ridwan Saidi, dalam bukunya Betawi dalam
Perspektif Kontemporer menulis, bahwa pada akhir abad ke-18, para
perantau dari Hadramaut (Yaman), memberikan darah segar bagi
perkembangan dakwah Islam di Jakarta. Sedangkan menurut CC Berg,
orang-orang Arab ini mula-mula datang berniaga. Tetapi, akhirnya
terlibat dalam dakwah.
Di antara mereka yang terkenal adalah
Sayid Husein bin Abubakar Alaydrus –pendiri Masjid Luar Batang, Pasar
Ikan, Jakarta Utara. Dia dimakamkan di masjid yang dibangunnya itu
sekitar 300 tahun lalu, dan makamnya hingga kini banyak diziarahi orang.
Sekitar dua km dari Pasar Ikan, yakni di
Jl Lodan, Kampung Bandan, Jakarta Utara, terdapat sebuah masjid yang
juga dibangun oleh seorang sayid. Masjid Kampung Bandan ini dibangun
oleh Sayid Muhammad bin Umar Alqudsi (1705). Sedangkan Masjid Mangga Dua
di Jalan Pangeran Jayakarta dibangun oleh Sayid Jamalullail pada 1756.
Masih sederetan lagi masjid tua di
Jakarta. Seperti Masjid Langgar Tinggi dan Masjid Kampung Baru, keduanya
di Pekojan, Jakarta Barat yang dibangun oleh para imigran dari India
hampir pada waktu bersamaan. Atau Masjid Kebon Jeruk, di Jalan Hayam
Wuruk Jakarta Barat yang dibangun oleh seorang imigran Cina, pada
pertengahan abad ke-18.
Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta,
telah menjadikan masjid-masjid tua itu sebagai cagar budaya yang
dilindungi keberadaannya agar terpelihara kelestariannya. *** (Republika
Newsroom).
Fragmen : Ketika Kiai Sepuh Nyantri
Mengembara untuk mencari
ilmu merupakan tradisi pesantren yang disebut dengan santri kelana,
yang menyusuri dari pesantren ke pesantren untuk mendalami pengetahuan.
Ternyata tradisi itu tidak hanya berlaku di lingkungan santri. Para kiai
sepuh juga melakukan hal demikian, seperti Kiai Cholil Bangkalan, Kiai
Dahlan Jampes, termasuk kiai Chozin dari Sidoarjo Jawa Timur.
Kiai Chozin pemimpin pesantren Siwalan
Panji Sidoarjo, tempat bergurunya para ulama, termasuk kaia hasyim
Asy’ari pernah nyantri di sana di bawah bimbingan Kiaia Chozin. Setelah
itu Kiai Hasyim belajar ke Mekah selama beberapa tahun, belajar pada
ulama terkemuka di Haramain. Selama di Mekah Kiai Hasyim menjalin
hubungan dengan para ulama dan santri seluruh dunia dan ulama Nusantara
khususnya. Karena itu sepulang dari Mekah Kiai Hasyim tetap menjadi
pimpinan dan selalu menjadi rujukan para ulama Nusantara karena
kealiman dan kharismanya.
Apalagi setelah mendirikan Jam’iyah
Nahdlatul Ulama tahun 1926 popularitas Kiai ini semakin membesar, tidak
hanya luasnya pengaruh, tetapi kedalaman keilmuannya. Mendengar
kemasyhuran Kiai Hasyim itu tampaknya gurunya yaitu Kiai Chozin
penasaran ingin memperoleh pengetahuan dari bekas santrinya itu,
sehingga pada suatu bulan Romadlon tahun 1933. Kiai sepuh itu berangkat
ke Pesantren Tebuireng untuk mengaji di sana.
Tentu saja kiai Hasyim Asy’ari merasa
tidak enak, kiai sepuh dan guru yang sangat dihormati itu mengikuti
pengajiannya, sehingga memintanya sang kiai tidak ikut penajian karena
beliau adalah gurunya yang lebih alim. Sementara pengajian hanya untuk
para santri. Tetapi dengan tenang Kia Chozin menjawab, “Memang dulu saya
guru sampeyan, tetapi sekarang sampeyan yang menjadi guru saya.”
Mendengar jawaban itu kiai Hasyim tidak berkutik karena ini menyangkut
sabda sang guru yang harus ditaati.
Kiai Chozin kemudian ditempatkan di kamar
tersendiri, tidak bersama dengan santri lainnya. Tetapi hal itu
menjadikan Kiai Chozin kurang senang dan minta ditempatkan dalam kamar
bersama santri lainnya. Rupanaya kiai Hasyim tidak kehabisan akal untuk
menghormati gurunya. “Begini kiai, sampeyan telah menjadi santri saya
maka sampeyan harus taat pada sang guru.”
Kemudian kiai Hasyim membuat beberapa
peraturan khusus untuk santri sepuh ini, pertama, Kiai Chozin wajib
menempati kamar yang telah disediakan, kedua, tidak diperkenankan
mencuci pakain sendiri, ketiga, apabila memerlukan sesuatu harus meminta
bantuan langsung kepada Kiai Hasyim, tidak perlu lewat santri. Sebagai
santri dan sekaligus tamu, maka Kiai Chozin akhirnya mengikuti aturan
yang dibuat oleh Kiai Hasyim. Karena Kiai ini melihat ini sebagai bentuk
penghormatan Kiai Hasyim kepada Sang Kiai.
Selama menjadi santri itu Kiai Chozin
memperoleh bukti tentang keluasan dan kedalaman kiai bekas santrinya
itu, maka ia memberikan dukungan sepenuhnya terhadap gerakan yang
dilakukan, baik dalam keagamaan maupun gerakan politik melawan
penjajahan. Karena itu selain para alumni Siwalan Panji diserukan masuk
NU. Demikian juga ketika seruan jihad dikumandangkan pada 22 Oktober
1945, santri di sekitar Surabaya dan Sidoarjo sangat aktif dalam
perjuangan itu. (02/01/2010;mdz).
Disadur dari Buku Biografi Muhammad Ilyas, 2009
Wacana : Sayidah Fathimah, Wasilah Dzuriyah Nabi
Banyak p ertanyaan kenapa
keturunan Nabi SAW dari Sayidah Fathimah tidak diturunkan dari anak
lelaki Nabi SAW. Padahal nasab dihubungkan pada laki-laki. Apa
dasarnya?. Pertama, Untuk menjawab jahiliatul arab ; ‘alladzi yatasaabun biauladiha’, mereka yang fanatik sekali terhadap anak lelakinya.
Untuk menjawab ini Rasulullah SAW bersabda ; kulu bani anbiya yantami ila abihi,
setiap keturunan nabi terhubung melalui ayahnya. Karena para nabi
terdahulu tidak mengalami sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah SAW.
Maka dijadikan keturunan mereka dari lelaki. Dimana hidupnya Nabiyullah
Zakaria, Nabiyullah Yahya, Nabiyullah Musa dan lain sebagainya, mereka
tidak taasub, fanatik terhadap anak lelakinya.
Tapi berbeda dengan masyarakat Arab saat
itu. Sehingga nilai seorang wanita sangat terpojok sekali. Ini dijawab
oleh Allah, karena munculnya pendapat-pendapat orang mengatakan : “bahwa
sayidah Fathimah adalah perempuan, tidak mungkin keturunan Rasulullah
SAW dari perempuan, berarti kan putus. Rasulullah SAW dianggap abtar”. Dijawab oleh Allah Taala apa? ‘Inna ‘Athoinaka al Kautsar, fasholli lirabbika wanhar inna Syani’aka huwa al abtar’.
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka
dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya
orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (QS: AL
Kautsar:1-3).
Kalimah “huwa al Abtar”, dialah
yang terputus (keturunannya), kepada siapa ? , Kaum jahiliyah yang
menyerang dan menuduh Rasulullah : bahwa ‘Rasulullah tidak punya
keturunan lelaki’. Jadi huwa, ‘dia’ (dialah yang terputus) dalam ayat
terakhir itu kembali pada yang mengejek Rasulullah SAW.
Darisinilah Sayidah Fathimah’ melahirkan
Al Hasan dan Al Husain. Dari asbat, keturunan inilah melahirkan
tokoh-tokoh a’imah, para imam besar. Termasuk Imamuna Syafi’i sendiri
diturunkan daripada ibu katurunan Sayidah Fathimah. Karena ibunya Imam
Syafi’i adalah Hababah Fathimah binti Abdullah al Mahith Fathimah bin
Hasan al Mutsana bin Hasan As sibthi bin Ali bin Abi Thalib.
Jadi Imam Syafi’i sendiri walaupun dari
pihak perempuan masih ada tetesan darah dari Musthofa Saw. Sampai
Rasulullah SAW sendiri mengatakan : “Khairul qurun qorni… sampai hadis
Wakhtarallahu min bani Adam Fulan …al Fulan, min bani Hasyim… sebelum
Bani Hasyim Wakhtara al Quraisy”. Dari keturunan Adam Allah memilih
Quraisy. Keturunan Quraisy siapa? Imam empat tidak terlepas al Quraisy,
Khulafaur Rasyidin tidak terlepas dari al Quraisyi.
Banyak yang bertemu di Ka’ab. Rasulullah
bin Abdullah bin Abdu Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushoy bin
Kilab bin Ka’ab. Nah, dari sini ada yang ketemu di Luay ada yang
bertemu di Abdi Manaf. Jadi Khulafaur Rasyidin termasuk dalam sabda Nabi
; Wahktara min Quraiysy, Waktara al Hasyimi.
Dari Quraisy dipilih lagi menjadi al
Hasyimi dari al Hasyimi di pilih lagi Bani Muthalibi, sampai Bani
Fathimah binti Rasulullah. “Jaalallahu Ahli Baiti min Fathimah wa Ali wa Ana ashobihima wa waliyuhumma”, Ya Allah jadikan ahli baitku dari Fathimah dan Ali, dan Aku adalah kelompok mereka dan pelindung mereka, Itu sabda Nabi.
Kedua, untuk menyatakan keturunan dari
anak perempuan bisa lahir orang-orang yang hebat seperti al Hasan dan
Husain. Ketiga, kalau siti Maryam sebagai wanita yang paling utama pada
zamannya bisa melahirkan orang hebat: Isa bin Maryam, maka Sayidah
Fathimah sebagai wanita yang paling utama fi jamanih, pada jamannya bisa
melahirkan keturunan yang hebat pula : al Hasan dan Husain. Wallahu
A’lam. (http://www.habibluthfiyahya.net)
Catatan : Ulama-ulama Indonesia Di Haromain, Embrio NU di Indonesia
Banyak diantara kita yang kepaten obor (Pareumeun obor),
kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda. Hal itupun tidak
bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang
memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlitul Ulama itu.
Karena pengertian-pengertian mulai dari
sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang
telah dilakukan NU, bagaimana asal usul atau awal mulanya Mbah Kiai
Hasyim Asy’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlus sunah wal jamaah harus
diberi wadah di Indonesia ini.
Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunah
bukan semata-mata KH Hasyim Asy’ari ingin ber-inovasi, tapi memang
kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib
mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlus
Sunah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari
pengalaman ulama-ulama Ahlu Sunah, terutama pada rentang waktu pada
tahun 1200 H sampai 1350 H.
Pada kurun itu ulama Indonesia sangat
mewarnai, dan perannya dalam menyemarakan kegiatan ilmiyah di Masjidil
Haram tidak kecil. Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat
terkenal, tidak satupun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal,
ulama-ulama yang sangat tabahur fi ilmi Syari’ah, fi thoriqoh wa fi ilmi
tasawuf, ilmunya sangat melaut luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu
tasawuf. Dintaranya dari Sambas, Ahmad bin Abdu Somad Sambas.
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kyai
Tholhah Gunung jati Cirebon.
Kiai Tholhah ini adalah kakek dari Kiai
Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiai Syarifudin bin
Kiai Zaenal Abidin Bin Kiai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur
panjang, usianya seratus tahun lebih. Adik seperguruan beliau
diantaranya Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiai kholil lahir pada tahun
1227 H. Dan diantaranya murid-murid Syeh Ahmad sambas yaitu Syekh Abdul
Qodir Al Bantan, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz
Cibeber Kiai Asnawi Banten. Ulama lain yang sangat terkenal sebagai
ulama ternama di Masjidil Harom adalah Kiai Nawawi al Bantani.
Beliau lahir pada tahun 1230 H dan
meninggal pada tahun 1310 H, bertepatan dengan meninggalnya mufti besar
Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah
di Masjidil Harom adalah Sayid Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi, beliau
diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125. Tidak satupun
pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang
berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada
pengesahan dari Sayidi Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi.
Syekh Abdul Qadir Al Bantani murid lain
Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas, yang mempunyai murid Kiai Abdul Latif
Cibeber dan Kiai Asnawi Banten. Adapun ulama-alama yang lain yang
ilmunya luar biasa adalah Sayidi Syekh Ubaidillah Surabaya, beliau
melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiai Ubaidah Giren Tegal,
terkenal sebagai Imam Asy’ari-nya Indonesia.
Dan melahirkan seorang ulama, auliya
besar, Sayidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayidi
Syekh Muhamad Abdul Malik. Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim di
Haromain yang mengajak adalah Kiai Ubaidah tersebut, di Jabal Abil
Gubai, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantaranya murid muridnya lagi di Mekah
Sayidi Syekh Abdullah Tegal. Lalu Sayidi Syekh Abdullah Wahab Rohan
Medan, Sayid Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi syekh Muhmmad Ilyas
Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdu Somad al Bimawi, dan Sayidi
Syekh Abdullah dan Sayidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas
sebelum Kiai Mahfudz dan sebelum Kiai Dimyati.
Dijaman Sayidi Syekh Ahmad Khatib Sambas
ataupun Sayidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayidi
Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen. Inilah ulama-ulama
indonesia diantara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh
Baqir Zaenal Abidin jogja, Kyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh
pada waktu itu yang di Haromain. Seharusnya kita bangga dari warga
keturunan banagsa kita cukup mewarnai di Haromain, beliau-beliau
memegang peranan yang luar biasa. Salah satunya guru saya sendiri
Sayyidi Syekh Abdul Malik yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar
di Masjidil Haram khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun.
Beliau adalah muridnya Syekh Mahfudz Al
Turmidzi. Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal
ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU, kalau
dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya
saja, jadi kita harus tahu darimana saja ajaran Ahli Sunah Wal Jamaah
yang diambil oleh Syekh Hasyim Asy’ari.
Bukan sembarang orang tapi yang
benar-benar orang-orang tabahur ilmunya, dan mempunyai maqomah,
kedudukan yang luar biasa. Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlu
Sunah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husen berkuasa di
Hijaz), khsusunya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah.
Kemudian hal itu di pikirkan oleh kiai Hasyim Asy’ari disamping
mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali.
Menjelang berdirinya NU beberapa ulama
besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus
dicari lagi nara sumber-sumbernya, beliau-beliau menyimpulkan sudah
sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya
ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah. Akhirnya di istiharohi oleh para
ulama-ulama Haromain, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke
Indonesia agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini
mengiakan jalan terus kalau tidak, jangan diteruskan. Dua orang
tersebut yang pertama Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya
Pekalongan, yang satunya lagi Mbah kholil Bangkalan.
Oleh sebab itu tidak heran jika
Mukatamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M. Untuk
menghormati Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan
yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi
tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Tidak heran karena sudah dari sananya,
kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang soleh, Kiai
Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiai Irfan, Kiai Abdul Fatah
dan Kiai Abdul Hadi. Kiai Irfan bertanya pada saya “kamu ini siapanya
Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai
Abdul Hadi; “ini cucunya Habib Hasyim Yai”.
Akhirnya saya di beri wasiat, katanya;
‘mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiai Hasyim
Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kiai Yasin, Kiai Sanusi ikut serta pada
waktu itu. Disitu diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar
datang ke Pekalongan, lalu bersama Kiai Irfan datang ke kediamannya
Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung
berkata, ‘Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau
membentuk wadah Ahlu Sunah Wal Jamaah. Saya rela tapi tolong saya
jangan ditulis’.
Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kyai
Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiai Hasyim Asy’ari menuju
ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemudian Mbah Kyai kholi
bilang sama Kyai Hasyim Asyari laksanakan apa niatmu saya ridlo seperti
ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan
ditulis.’ Kata Kiai Hasyim Asy’ari ini bagaimana kyai, kok tidak mau
ditulis semua. Terus mbah Kiai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan
tapi sedikit saja. Itu tawadluknya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan.
Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur.
Inilah sedikit perjalanan Nahdlotul
Ulama. Inilah perjuangan pendiri Nahdlotul ulama. Para pendirinya
merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal yang
demikian itu tolong ditulis, biar anak-anak kita itu tidak terpengaruh
oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak
kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu? Apa sih Ahlu
Sunah itu? La ini permasalahan kita. Upaya pengenalan itu yang paling
mudah dilakukan dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya
foto Hadrotu Syekh Kiai Hasyim Asy’ari. (Disampaikan pada Harlah NU di
Kota Pekalongan. Hly.net/ Nzr/Tsi/update-inkanzus)
Wacana : Ibnu Shuja, Ahli Hitung Terkemuka dari Mesir
“Ahli
hitung dari Mesir”, begitulah masyarakat Mesir di era keemasan Islam
menjuluki Ibnu Shuja. Ahli matematika Muslim pada abad ke-10 M itu
begitu populer. Ia sangat berjasa dalam mengembangkan matematika. Buah
pikirnya dalam ilmu hitung sangat berpengaruh baik di dunia Islam maupun
Barat.
Ilmuwan Muslim terkemuka dari negeri
piramida itu bergelar al-Hasib al-Misri. Nama lengkapnya adalah Abu
Kamil Shuja Ibnu Aslam Ibnu Muhammad Ibnu Shuja. Meski pengaruhnya dalam
bidang matematika sungguh sangat besar, sosok Ibnu Shuja tak sepopuler
ahli matematika Muslim lainnya. Tak banyak sejarawan yang mengisahkan
perjalanan hidup sang ilmuwan. Para sejarawan hanya memperkirakan, Ibnu
Shuja lahir sekitar 850 M dan wafat sekitar 930 M. Ia merupakan penduduk
asli Mesir. Ia dikenal sebagai penerus al-Khawarizmi (780-850 M). Ibnu
Shuja hidup sebelum era Ali bin Ahmad Imrani (955-956 M).
Sebagai penerus al-Khawarizmi, Ibnu Shuja
adalah matematikus Muslim yang berupaya menyempurnakan Aljabar karya
al-Khawarizmi. Ia juga mempelajari karya al-Khawarizmi lain tentang
matematika, seperti determinasi dan konstruksi, persamaan akar kuadrat,
perkalian dan pembagian jumlah aljabar, penambahan dan pengurangan
akar-akar. “Ibnu Shuja merupakan orang pertama yang menyelesaikan angka
irasional sebagai objek aljabar,” papar Sejarawan Matematika, JJ
O’Connor dan Edmud F Robertson, dalam karyanya bertajuk “Arabic
Mathematics : Forgotten Brilliance?”.
Jacques Sesiano dalam karyanya Islamic Mathematics, menyebut Ibnu Shuja sebagai orang pertama yang menerima angka irasional (seringkali dalam bentuk akar kuadrat, akar pangkat tiga atau akar pangkat empat) sebagai solusi untuk persamaan kuadrat atau sebagai koefisien dalam equation. “Ia juga orang yang pertama memecahkan persamaan tiga non-linear bersamaan dengan tiga variabel yang tidak diketahui,” imbuh J Lennart Berggren, dalam karyanya Mathematics in Medieval Islam”.
Ibnu Shuja juga dikenal sebagai ahli aljabar tertua setelah pendahulunya al-Khawarizmi. “Meskipun kami tidak tahu kehidupan Ibnu Shuja, tapi kami memahami sesuatu tentang peranan Ibnu Shuja l dalam pengembangan aljabar,” imbu J J O’Connor dan Robertson.
O’Connor dan Robertson menambahkan, sebelum al-Khawarizmi, para sejarawan matematika tak memiliki informasi tentang proses perkembangan aljabar di Semenanjung Arab.
Peran Ibnu Shuja dinilai penting sebagai salah seorang penenus al-Khawarizmi. Bahkan Ibnu Shuja menekankan bahawa al-Khawarizmi-lah “penemu dari aljabar”. Ibnu Shuja sangat yakin bahwa aljabar merupakan buah pemikiran yang dilahirkan al-Khawarizmi. Keyakinannya itu dituliskan Ibnu Shuja dalam kitabnya yang membahas tentang ”Bapak Aljabar” itu.
Berikut pernyataan Ibnu Shuja tentang sosok al-Khwarizmi, “…seseorang yang pertama kalinya berhasil menulis Kitab Aljabar yang memelopori dan menemukan semua prinsip-prinsip di dalamnya.” Ia menambahkan, “Saya telah membuat, dalam kedua buku, bukti kewenangan al-Khawarizmi dalam aljabar”.
Jacques Sesiano dalam karyanya Islamic Mathematics, menyebut Ibnu Shuja sebagai orang pertama yang menerima angka irasional (seringkali dalam bentuk akar kuadrat, akar pangkat tiga atau akar pangkat empat) sebagai solusi untuk persamaan kuadrat atau sebagai koefisien dalam equation. “Ia juga orang yang pertama memecahkan persamaan tiga non-linear bersamaan dengan tiga variabel yang tidak diketahui,” imbuh J Lennart Berggren, dalam karyanya Mathematics in Medieval Islam”.
Ibnu Shuja juga dikenal sebagai ahli aljabar tertua setelah pendahulunya al-Khawarizmi. “Meskipun kami tidak tahu kehidupan Ibnu Shuja, tapi kami memahami sesuatu tentang peranan Ibnu Shuja l dalam pengembangan aljabar,” imbu J J O’Connor dan Robertson.
O’Connor dan Robertson menambahkan, sebelum al-Khawarizmi, para sejarawan matematika tak memiliki informasi tentang proses perkembangan aljabar di Semenanjung Arab.
Peran Ibnu Shuja dinilai penting sebagai salah seorang penenus al-Khawarizmi. Bahkan Ibnu Shuja menekankan bahawa al-Khawarizmi-lah “penemu dari aljabar”. Ibnu Shuja sangat yakin bahwa aljabar merupakan buah pemikiran yang dilahirkan al-Khawarizmi. Keyakinannya itu dituliskan Ibnu Shuja dalam kitabnya yang membahas tentang ”Bapak Aljabar” itu.
Berikut pernyataan Ibnu Shuja tentang sosok al-Khwarizmi, “…seseorang yang pertama kalinya berhasil menulis Kitab Aljabar yang memelopori dan menemukan semua prinsip-prinsip di dalamnya.” Ia menambahkan, “Saya telah membuat, dalam kedua buku, bukti kewenangan al-Khawarizmi dalam aljabar”.
Sebagai seorang ilmuwan terkemuka, Ibnu
Shuja telah melahirkan sederet karya dalam bidang matematika dan
aljabar. Maka tidaklah salah, jika para sejarawan matematika memasukan
sosok Ibnu Shuja sebagai salah seorang ahli matematika terbesar pada
abad pertengahan Islam. Pemikirannya mampu mempengaruhi sederet ilmuwan
terkemuka baik dari dunia Islam maupun barat, seperti ; Abu Bakar ibnu
Muhammad ibnu al-Husayn al-Karaji (953 – 1029 M) serta ilmuwan Kristiani
dari Barat, Leonardo da Pisa atau akrab disapa Fibonacci, (1170 -124
M). Melalui Fibonancci serta pengikut-pengikutnya yang lain, Ibnu Shuja
telah memberikan pengaruh besar pada perkembangan aljabar di Eropa.
Tulisan-tulisannnya tentang geometri pun memberikan pengaruh dan
konstribusi yang besar terhadap geometri Barat, terutama uraian-uraian
aljabar terhadap soal-saol geometrik.
Kontribusi Sang Ilmuwan Sepanjang
hidupnya, Ibnu Shuja telah menghasilkan begitu banyak karya. Bahkan,
dalam salah satu karya kompilasi Ibnu an-Nadim yang diterbitkan sekitar
988 M bertajuk al-Fihrist atau (Indeks), yakni sebuah daftar buku-buku
tentang matematika dan astrologi, nama Ibnu Shuja pun tercatat.
Al-Fihrist memberikan laporan lengkap
tentang literatur Arab yang tersedia pada abad ke-10 M dan menjelaskan
dengan ringkas beberapa pengarang dalam literatur ini. Dalam al-Fihrist
disebutkan sejumlah karya Ibnu Shuja, seperti ; Book of Fortune, Book of
the Key to Fortune, Book on Algebra, Book on Surveying and Geometry,
Book of the Adequate, Book on Omens, Book of the Kernel, Book of the Two
Errors, dan Book on Augmentation and Diminution.
Di antara sekian banyak karya Ibnu Shuja,
yang hingga kini masih bertahan dan sering dibahas antara lain ; Book
on Algebra, Book of Rare Things in the Art of Calculation, dan Book on
Surveying and Geometry.
Karya Ibnu Shuja kerap dibahas dan
diperbincangkan para ahli matematika, sejak F Woopeke mencoba
memperkenalkan Kitab fi al-Jam wa at-Tafrik, karya Ibnu Shuja pada 1863
M. Ia menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin dengan judul Augmentum et
Diminuti yang terdapat dalam buku Liber Augmenti Diminutionis dan
Histoire des Sciences Mathematiques et Italie. Karya-karya Ibnu Shuja
yang tercatat dalam al-Fihrist Hampir diterjemahkan kedalam berbagai
bahasa. Kitab at-Ta’arif, misalnya, telah diterjemahkan dan dikomentari
oleh H Suter ke dalam buku berjudul “Das Buch der Sletenheiten der
Rechenkunst von Abu Kamil Al-Misri”. Buku tersebut menawarkan
penyelesaian-penyelesaian integral terhadap persamaan-persamaan tak
tentu. At-Ta’arif juga mempunyai versi bahasa Yahudi yang alih bahasakan
oleh Mordekhai Finzi dari Montua pada 1460 M. Fizi juga menerjemahkan
beberapa risalah Ibnu Shuja tentang aljabar. Kitab at-Ta’arif Al-Hisab
karya Ibnu Shuja masih tersimpan di Leiden, Belanda, meski tak lagi
lengkap. Banyak terjemahan lengkap dalam bahasa Latin tentang risalah
ini di Paris.
Selain itu, ada pula karya Ibnu Shuja
yang diterjemahkan oleh G Sachendote, meski bukan berasal dari buku
aslinya yang berbahasa Arab, melainkan lewat bahasa Spanyol. Kitab
al-Jabr (Book on Algebra) yang ditulis sang matematikus tersedia dalam
berbagai manuskrip seperti di Istanbul dan Berlin, dan juga dalam aneka
bahasa dan terjemahan lain seperti bahasa Ibrani, Jerman, dan Inggris.
Dalam risalahnya tentang al-Jabar, Ibnu Shuja menekuni suatu bab mengenai al-Jabar dengan membentuk analisis dan menyusun beberapa metode yang menakjubkan. Ia juga menjabarkan mengenai analisis inderteminasi yang disebut dalam bagian akhir buku al-Khawarizmi.
Dalam risalahnya tentang al-Jabar, Ibnu Shuja menekuni suatu bab mengenai al-Jabar dengan membentuk analisis dan menyusun beberapa metode yang menakjubkan. Ia juga menjabarkan mengenai analisis inderteminasi yang disebut dalam bagian akhir buku al-Khawarizmi.
Ibnu Shuja mencetuskannya, sebelum
Diophantus menerjemahkan Arithmetica ke dalam bahasa Arab. Segera
setelah Arithmetica diintroduksikan, dilakukanlah penafsiran
besar-besaran terhadap karya Diophantes tersebut. Buah pikir Ibnu Shuja
tentang Aljabar lebih dikenal dalam bahasa Latin dan Yahudi. Dalam
banyak hal, Ibnu Shuja masih berkiblat pada pemikiran al-Khawarizmi.
Namun dalam banyak pula, dia justru mampu mengungguli pendahulunya itu.
Bahkan ia berani mengadakan penambahan dan pengurangan dari akar-akar
kuadrat yang hanya melibatkan bilangan-bilangan irasional, yang tak
dilakukan oleh matematikus-matematikus sebelumnya.
Ibnu Shuja juga menulis tentang turunan dari rata-rata akar, turunan dari rata-rata aljabar, risalah pengukuran lahan/tanah, pengukuran dan geometri, penyatuan dan pemisahan.
Pengaruh Ibnu Shuja terhadap BaratIbnu Shuja juga menulis tentang turunan dari rata-rata akar, turunan dari rata-rata aljabar, risalah pengukuran lahan/tanah, pengukuran dan geometri, penyatuan dan pemisahan.
Karya-karya yang dicapai Ibnu Shuja pada
abad ke-10 M merupakan suatu kemajuan yang amat penting. Sacherdote
menunjukan bahwa Leonard da Pisa atau Fibonanci sangat hafal betul
risalah geomteri karya Ibnu Shuja, dan menyebarkan penggunaannya lewat
karyanya “Practica geometriae” atau “Practice of Geometry”.
Leonard da Pisa merupakan salah seorang dari Eropa yang mengelana ke berbagai pusat ilmu pengetahuan Arab pada abad ke-13 M. Ketika kembali ke negaranya, ia menulis dan menterjemahkan buku-buku pengetahuan Arab, termasuk matematika karya Al-Khwarizmi dan Ibnu Shuja. Leonmard da Pisa inilah yang termasuk salah satu penyebar pengetahuan tentang lembaga bilangan Hindu-Arab ke Eropa lama.
Dengan dasar berhitung menurut Ibnu Shuja dan Al-Khawarizmi, Leonard da Pisa berhasil menyusun bukunya Liber Abaci pada 1202 M, yang kemudian disempurnakan pada 1228 M dan menyebar di seluruh Eropa. **
(By Republika Newsroom Senin, 03 Agustus 2009 pukul 10:25:00 ; she/dya)
Leonard da Pisa merupakan salah seorang dari Eropa yang mengelana ke berbagai pusat ilmu pengetahuan Arab pada abad ke-13 M. Ketika kembali ke negaranya, ia menulis dan menterjemahkan buku-buku pengetahuan Arab, termasuk matematika karya Al-Khwarizmi dan Ibnu Shuja. Leonmard da Pisa inilah yang termasuk salah satu penyebar pengetahuan tentang lembaga bilangan Hindu-Arab ke Eropa lama.
Dengan dasar berhitung menurut Ibnu Shuja dan Al-Khawarizmi, Leonard da Pisa berhasil menyusun bukunya Liber Abaci pada 1202 M, yang kemudian disempurnakan pada 1228 M dan menyebar di seluruh Eropa. **
(By Republika Newsroom Senin, 03 Agustus 2009 pukul 10:25:00 ; she/dya)
Ahlak / Tarikh : Esensi Ziarah dan Tawasul, Kado dari
Oleh : Hasan Husen Assagaf, dari Kota Nabi.
SEBAGAI seorang muslim,
saya terpanggil untuk mengantarkan janazah tetangga yang meninggal
dunia. Setelah disolatkan di masjid Umu Ibrahim – Riyadh, janazah
dikubur di pemakaman al-U’ud selepas solat Asar. Di Riyadh kalau
mengubur mayat ada sedikit berbeda dengan di negara kita. Bedanya, di
sini tanahnya pera dan berpasir, jadi lobang yang digali cetek, mungkin
dalamnya kurang lebih satu setengah meter. Tapi walaupun cetek, mayat
cepat kering dan tidak terhendus baunya. Saya rasa hanya dua minggu
mayat bisa habis dimakan tanah. Ini mungkin karna pengaruh udara kering
ditambah suhunya yang bisa mencapai antara 4°C di musim dingin dan 50°C
di musim panas. Berbeda dengan di negara kita, udaranya lembab dan
tanahnya basah. Jadi lobang kuburan harus digali lebih dalam, karena
mayat susah keringnya. Katanya setelah 40 hari mayat baru bisa kering
dan habis dimakan tanah. Inilah akhir dari perjalanan anak cucu Adam as,
dan kita pasti mau atau tidak mau akan melaluinya.
Para salaf sholeh, mereka semua
bersepakat dengan apa yang telah ditetapkan Rasulallah saw dan dijadikan
sesuatu yang mutawatir (diterima kebenarannya) yang mana mayat setelah
dikubur mengetahui orang yang menziarahinya dan mendapatkan ketenangan
dengan kedatangannya. Sesuai dengan hadisth yang diriwayatkan oleh Imam
besar Bukhari bahwa mayat setelah dikubur mendengar suara sandal orang
yang mengatarkannya ke kuburan. Di lain hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud dari Utsman bin Affan ra bahwa Rasulallah saw setelah selesai
mengubur mayat, beliau berdiri dan bersabda : “Mintalah ampun bagi
saudaramu ini, dan mintalah semoga diberikan ketetapan, karena ia
sekarang akan ditanya”.
Dari hadist di atas kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa mayat itu hidup tidak mati. Hanya saja ia berpindah
dari alam dunia ke alam yang baru dinamakan alam Barzakh. Di sana, ia
hidup, ia ditanya, ia mendengar, ia melihat, ia membalas salam orang
yang memberi salam kepadanya sama seperti orang hidup. Kalau itu
dilakukan untuk sesama manusia biasa, sekarang , bagaimana halnya bagi
manusia termulia di Dunia yang jutaan penziarah datang ke Madinah untuk
memberi salam kepada Beliau Shallallohu Alihi Wasallam dan para
Sahabatnya Rodhiyallohu Anhum.
Manusia termulia putra Abdullah dan
Aminah bernama Muhammad saw itu benar-benar telah menjadi magnet bagi
milyaran manusia. Karena itu, Madinah tak pernah tidur menyambut para
penziarah yang datang dari seluruh pelosok dunia hanya untuk memberi
salam kepada baginda Nabi saw dan solat di masjidnya. Tentu yang sudah
pernah berziarah ke makam Rasulallah saw dan para sahabatnya tidak bisa
membayangkan bagaimana menyimpan kenangan indah dari cahaya beliau dan
pasti di luar dari kesadaran kita air mata mengucur keluar membasahi
pipi kita. Kehebatan kota Madinah bukan saja karena kemegahan masjidnya
akan tetapi juga karena bersemayam di dalamnya jasad beliau yang mulia.
Di sanalah baru kita merasai keindahan ruhaniah kota Madinah yang
membawa negeri itu, berkat Rasulallah saw, menjadi negeri yang penuh
barokah. Bagi yang pernah berziarah ke makam Rasulallah saw, pasti bisa
melihat di muka tembok jendela rumah Rasullah saw (tempat dimana jasad
beliau yang mulia disemayamkan), tertulis dua bait syair yg dibuat oleh
seorang A’rabi (Arab Badui) sejak ratusan tahun yang lalu. Sampai
sekarang tulisan itu masih bisa terbaca dan masih akan terus dibaca
inysallah oleh umat Muhammad saw yang datang berziarah ke makamnya.
Diriwayatkan oleh al-Imam al-Hafidh
al-Syeikh I’mad al-Din Ibnu Katsir dari al-U’tbi, ia berkata : Ketika
aku sedang duduk di hadapan makam Rasullah saw, tiba tiba seorang A’rabi
datang berziarah kepada beliau dan berkata : “Salam sejahtera atasmu
wahai Rasulallah. Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman” :
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa’ ; 64).
“Wahai Rasulallah”, kata A’rabi dengan
penuh kekhusyu’an, “aku datang kepadamu untuk memohonkan ampun bagiku
dan memberikan kepadaku syafaatmu“. Kemudian A’rabi itu membaca dua bait
syair :
ياخير من دفنت بالقاع أعظمه
فطاب من طيبهن القاع وا لأكم
نفسي الفداء لقبر أنت ساكنه
فيه العفاف وفيه الجود والكرم
Wahai jasad termulia di lahad kau bersemayam
Lahad dan tanah ber-semerbak dari semerbakmu
Ku korbankan diriku demi makam kau berdiam
Yang penuh kebijakan, keindahan dan kemurahanmu
Lahad dan tanah ber-semerbak dari semerbakmu
Ku korbankan diriku demi makam kau berdiam
Yang penuh kebijakan, keindahan dan kemurahanmu
Setelah membaca dua bait syair A’rabi itu
keluar. Kemudian aku (al-U’tbi) tertidur dan bermimpi berjumpa dengan
Rasulallah saw. Beliau pun berkata kepadaku : “Kejarlah A’rabi itu dan
sampaikanlah kepadanya kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni
dosanya “
Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki telah
mengupas riwayat ini dalam kitabnya “Mafahim Yajibu An Tushahah“ bahwa
banyak para masyayikh (ulama) meriwayatkan kisah ini, diantaranya:
Al-Imam al Nawawi dalam kitabnya Al-Idhah, Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya, Abul Faraj bin Qudamah dalam kitabnya al Syarhul Kabir, Al
Imam al Qurtubi (umdah atau pakar ilmu tafsir) dalam kitabnya tafsir Al
Jami’, dan masih banyak lagi para ulama besar dan pakar ilmu tafsir yang
meriwayatkan kisah ini.
Sekarang , apakah kisah yang diriwayatkan oleh para ulama besar itu dhaif jika dilihat dari sanadnya?…
Apakah yang diriwayatkan oleh para ulama besar itu merupakan suatu kekufuran atau kesesatan?…
Apakah yang dibawakan para ulama dan pakar ilmu tafsir itu mengajak kita kepada penyembahan berhala atau kuburan?…
Jika hal itu demikian menurut penafsiran, maka ulama mana lagi yang bisa dipercaya. Wallahua’lam.
Apakah yang diriwayatkan oleh para ulama besar itu merupakan suatu kekufuran atau kesesatan?…
Apakah yang dibawakan para ulama dan pakar ilmu tafsir itu mengajak kita kepada penyembahan berhala atau kuburan?…
Jika hal itu demikian menurut penafsiran, maka ulama mana lagi yang bisa dipercaya. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar