Allah dan Para Malaikat

Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar bershalawat (mendo'akan kebaikan) bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia” [HR at-Tirmidzi (no. 2685) dan ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 7912)].

Jumat, 20 Desember 2013

Syekh Jumadil Kubro



Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]

Syekh Maulana Akbar

Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.

Syekh Quro

Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.

Syekh Datuk Kahfi

Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.

Syekh Khaliqul Idrus

Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]

Teori Keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut.
L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[6] mengatakan :
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
Van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204) :
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
* Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait ; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Teori Keturunan Cina

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[rujukan?] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [7].

Sumber tertulis tentang Walisongo

1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Diambil dari Blogsport Sohiblagi

Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain Pulobata adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu Pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428.
Nama asli Syekh Quro ialah Syekh Hasanuddin atau ada pula yang menyebutnya Syekh Mursahadatillah. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama) penganut madzhab Hanafi yang berasal dari Makkah, yang berdakwah di daerah Karawang dan diperkirakan datang ke Pulau Jawa melalui Champa atau kini Vietnam selatan.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Syekh Quro melakukannya melalui pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah, sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI An Nahl ayat 125, yang artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka dengan cara yang terbaik”.
Sebagian cerita menyatakan bahwa pada Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana Haji Sampo Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63 buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25.000 orang untuk menjalin persahabatan dengan kesultanan yang beragama Islam.
Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu rupanya diikutsertakan Syekh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar Agama Islam di Kesultanan Malaka, Sebab  Syekh Hasanuddin adalah putra seorang ulama besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh Jalaluddin, ulama besar Makkah.
Bahkan menurut sumber lain, garis keturunannya sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali  KRW, menantu Rasulullah SAW.
Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok pimpinan Laksamana Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati Cirebon dan sebagai wujud kerjasama itu maka kemudian dibangunlah sebuah menara di pantai pelabuhan Muara Jati.
Dikisahkan pula bahwa setelah Syekh Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura melalui pelabuhan Muara Jati. Kedatangan ulama besar tersebut disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati putra bungsu Prabu Wastu Kancana, Syahbandar di Cerbon Larang (yang menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih yang telah wafat). Ketika kunjungan berlangsung, masyarakat di setiap daerah yang dikunjungi merasa tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa Syekh Quro, sehingga akhirnya banyak warga yang memeluk Islam.
Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh Syekh Hasanuddin rupanya sangat mencemaskan penguasa Pajajaran waktu itu, yaitu Prabu Wastu Kencana atau Prabu Angga Larang yang menganut ajaran Hindu. Sehingga beliau diminta agar penyebaran agama tersebut dihentikan.
Oleh Syekh Hasanuddin perintah itu dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa meskipun dakwah itu dilarang, namun kelak dari keturunan Prabu Angga Larang akan ada yang menjadi seorang Waliyullah. Beberapa saat kemudian Syekh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng Tapa.
Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa sendiri sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama besar itu, Sebab ia pun sebenarnya masih ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam. Oleh karena itu, sewaktu Syekh Hasanuddin kembali ke Malaka, putrinya yang bernama Nyai Subang Karancang atau Nyai Subang Larang dititipkan ikut bersama ulama besar ini untuk belajar Agama Islam di Malaka.
Beberapa waktu lamanya berada di Malaka, kemudian Syekh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk kembali ke wilayah Kerajaan Hindu Pajajaran. Dan untuk keperluan tersebut, maka telah disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk Nyai Subang Larang.
Sekitar tahun 1418 Masehi, setelah rombongan ini memasuki Laut Jawa, kemudian memasuki Muara Kali Citarum yang pada waktu itu ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang memasuki wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya rombongan perahu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang. Kedatangan rombongan ulama besar ini disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan diizinkan untuk mendirikan musholla yang digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat tinggal.
Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.
Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro.
Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.
Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang Saketi”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.
Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.
Pernikahan di musholla yang senantiasa menganggungkan asma ALLAH SWT itu memang telah membawa hikmah yang besar, dan Syekh Quro memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Sebab para putra-putri yang dikandung oleh Nyai Subang Larang yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di sekitarnya. Nyai Subang Larang sebagai isteri seorang raja memang harus berada di Istana Pakuan Pajajaran, dengan tetap memancarkan Cahaya Islamnya.
Putra pertama yang laki-laki bernama Raden Walangsungsang setelah melewati usia remaja, maka bersama adiknya yang bernama Raden Rara Santang, meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran kemudian mendapat bimbingan dari ulama besar yang bernama Syekh Dzatul Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Setelah kakak beradik ini menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang menjadi Pangeran Cakrabuana memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon.
Sedangkan Raden Rara Santang sewaktu di Makkah diperistri oleh Sultan Mesir yang bernama Syarif Abdullah. Adik Raden Walangsungsang yang bungsu adalah laki-laki bernama Raden Sangara atau Pangeran Kian Santang, pada masa dewasanya menjadi Muballigh untuk menyebarkan agama Islam di daerah Garut.
Adapun kegiatan Pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari pelabuhan Karawang, rupanya kurang berkembangnya karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi oleh Syekh Quro, sehingga pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti shalat berjamaah.
Kemudian para santri yang telah berpengalaman disebarkan ke pelosok pedesaan untuk mengajarkan agama Islam, terutama di daerah Karawang bagian selatan seperti Pangkalan. Demikian juga ke pedesaan di bagian utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo Kalapa dan sekitarnya.
Dalam semaraknya penyebaran agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syekh Quro, kemudian disempurnakan oleh para ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk “joglo” beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon.
Pengabdian Syekh Quro dengan para santri dan para ulama generasi penerusnya adalah “menyalakan pelita Islam”, sehingga sinarnya memancar terus di Karawang dan sekitarnya.
Makam Syekh Quro terdapat di Dusun Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Lokasi makam penyebar agama Islam tertua, yang konon lebih dulu dibandingkan Walisongo tersebut, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat kota Lumbung Padi di Jawa Barat itu.
Dalam sebuah dokumen surat masuk ke kantor Desa Pulokalapa tertanggal 5 November 1992, ditemukan surat keterangan bernomor P-062/KB/PMPJA/ XII/11/1992 yang dikirim Keluarga Besar Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII. Surat tersebut ditujukan kepada kepala desa, berisi mempertegas keberadaan makam Syekh Quro yang terdapat di wilayah Dusun Pulobata Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemah Abang bukan sekedar petilasan Syekh Quro tetapi merupakan tempat pemakaman Syekh Quro.
Selain itu, di Dusun Pulobata juga terdapat satu makam yang diyakini warga Karawang sebagai makam Syekh Bentong atau Syekh Darugem, yang merupakan salah seorang santri utama Syekh Quro. Wallohu a’lam *** (Dirangkum oleh Pa’e Daffa dari berbagai sumber. Ref. Bayt Al-Hikmah Institute). 

Sekelumit Tentang Fatimah Putri Nabi

 
”Fatimah adalah bagian dariku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku, siapa yang membuatnya gembira maka ia telah membahagiakanku.” (Al Hadis).
Kata ‘Fatimah’ berasal dari suku kata ‘Fathama’ yang berarti menyapih atau menghentikan atau menjauhkan. Sebuah riwayat menyebutkan, dinamakan ‘Fatimah’ karena Allah ingin menjauhkan putri bungsu Rasulallah saw dari neraka. Dari cintanya Rasulallah kepada Fatimah, belilau selalu menyebut-nyebut fatimah sebagai contoh dan perumpamaan. Misalnya “ jika anakku Fatimah mencuri, aku akan potong tangannya”. Hadits ini menggambarkan bagaimana Rasulallah saw tidak pilihkasih dalam menegakkan hukum agama, sampai sampai ia bersedia memotong tangan anaknya yang paling dicintainya, Fatimah, jika ia mencuri demi untuk menegakkan keadilan.
Fatimah juga disebut al-Battul yang berarti memisahkan, karena kenyataannya ia memang terpisah atau berbeda dari wanita-wanita lainnya, baik dari segi keutamaan, agama dan kecantikannya. Ada lagi yang mengatakan, karena ia memisahkan diri dari keduniaan untuk mendekat kepada Allah. Di kalangan suku Quraisy, Fatimah dikenal fasih dan pintar.
Fatimah dilahirkan di Makkah tahun 18 sebelum Hijrah Nabi SAW. Dia adalah putri bungsu Rasulallah saw setelah Zainab, Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Saudara laki-lakinya yang tertua Qasim dan Abdullah, meninggal dunia pada usia muda. Fatimah sangat terkenal di dunia Islam, karena ia hidup paling dekat dan paling lama bersama Rasulallah saw. Dari dialah keturunan Rasulallah saw (ahlul Bait) berkembang yang tersebar di hampir semua negri Islam.
Fatimah dinikahkan dengan Ali bin bi Thalib setahun setelah hijrah. Pada waktu itu Tidak sedikit dari orang-orang Quraisy yang ingin menikahinya. Ya maklum, selain cantik rupawan, ia adalah perempuan terhormat, anak Rasulullah saw. Dia pernah dilamar oleh Sayyidina Abu Bakar dan Umar, sahabat terdeket Rasulallah saw, namun ditolak secara halus oleh beliau.
Fatimah sangat sederhana dalam berumah tangga dengan imam Ali ra, bahkan sering kekurangan. Beberapa kali ia harus menggadaikan barang-barang keperluan rumah tangga untuk membeli makanan, sampai-sampai kerudungnya pernah digadaikan kepada seorang Yahudi Madinah. Namun demikian, mereka tetap bahagia sebagai suami istri sampai akhir hayat.
Fatimah adalah putri kesayangan Rasulullah saw. Putri yang sangat dicintai Nabi saw. Suatu waktu Rasulallah saw pernah mengatakan kepada imam Ali ra, ”Fatimah adalah bagian dariku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku, siapa yang membuatnya gembira, maka ia telah membahagiakanku.” Ini dikatakan oleh Rasulullah saw sehubungan dengan keinginan seorang tokoh Quraisy untuk menikahkan anak perempuannya kepada imam Ali ra. Imam Ali tidak menolak tetapi segera dicegah oleh Rasulullah saw.
Pernah Rasulallah saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah ra akan dimadu Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar rencana itu, Rasulallah saw pun langsung masuk ke masjid dan naik ke atas mimbar, lalu berseru, “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi aku tidak akan mengizinkan. Sungguh aku tidak izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, dan aku persilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku, apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” Begitulah kurang lebih bunyi hadist Rasulallah saw.
Sekarang, kalau Rasulallah saw melarang imam Ali bin Abi Thalib ra untuk memadu putri beliau, Fatimah ra. Maka saya yakin hampir setiap orangtua di dunia tidak akan rela jika putrinya dimadu. Karena, seperti dikatakan Rasulallah saw, perbuatan itu akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Hadist di atas juga merupakan bukti kuat akan kecintaan Rasulullah saw kepada putri bungsunya. Memang benar Rasulallah saw sangat sayang kepada Fatimah. Sampai sampai waktu sakit keras menjelang wafatnya, beliau tidak henti hentinya menagis karena berat meninggalkan anaknya yang dicintainya.
Fatimah meninggal enam bulan setelah wafatnya Rasulallah saw dalam usia 28 tahun. Merasa ajal sudah dekat, dia membersihkan dirinya, memakai pakaian yang terbaik, memakai wewangian dibantu oleh iparnya, Asma bin Abi Thalib. Sebelum meninggal ia sempat berwasiat.  Anda tahu apa wasiatnya?. “Hanya Ali, suamiku, yang boleh menyentuh tubuhku”. ***  Wallohu a’lam (Ref. Kado dari Kota Nabi).

Bubur Suro : Membaca Kembali Sejarah Islam

 
Bagi sebagian masyarakat Islam di Nusantara bulan Muharram adalah bulan istimewa. Sebagai bulan pertama tahun hijriyah, Muharram menjadi ruang muhasabah (intropeksi diri) akan amal masa lalu guna menjadi pedoman langkah masa depan. Muharram menjadi serambi sebuah rumah yang berisikan sebelas bulan lainnya.
Oleh karena itu Muharram dipercaya memantulkan nuansa peribadatan seseorang dalam satu tahun ke depan. Seperti halnya serambi yang bagus biasanya dimiliki sebuah rumah yang mewah. Begitu pula bulan Muharram, amal yang shalih di bulan ini mencitrakan sebelas bulan lainnya. Dengan demikian Muharram mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan bulan lainnya. Wajar saja jika umat muslim berbondong-bondong melakukan kebaikan dan sedekah pada bulan ini.
Secara historis, bulan Muharram juga memiliki keistimewaan. Pada bulan inilah Nabi Muhammad saw. memutuskan berpindah dari Makkah menuju Madinah demi kesuksesan dakwah Islam. Bulan ini merupakan waktu yang berharga yang di dalamnya Rasulullah saw menemukan kunci keberhasilan dakwah Islam yaitu hijrah.
Hijrah yang berarti ‘pindah’ tidak semata-mata mencari ruang yang sesuai untuk berdakwah, ruang yang lebih minim bahaya, ruang yang lebih kondusif. Tidak. Karena Rasulullah saw sendiri tidak pernah takut dengan berbagai ancaman kafir Makkah. Namun hijrah memiliki makna lain yaitu berpindah, merubah dan me-upgrade- semangat pada tataran yang lebih tinggi. Secara psikologis, suasana yang baru, kawan baru, tantangan baru akan menjadikan semangat diri dan jiwa seseorang lebih dinamis.
Mengenai semangat hijrah ini Rasulullah saw sendiri dalam sebuah haditsnya pernah bersabda :

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كان هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَن كان هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah ε bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan (amal) tergantun niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
Dalam asbabul wurud diceritakan ada seorang sahabat yang melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah dengan niatan mengawini seorang perempuan bernama Ummu Qais. Karena niatnya itulah maka ia tidak mendapatkan keutamaan hijrah. Bahkan proses hijrah sahabat tersebut dijuluki dengan Hijratu Ummu Qais. Ini menunjukkan bahwa niat seseorang sangatlah penting. Niat bukanlah sekedar motivasi belaka, karena di dalam niat itu Allah titipkan sebuah pahala yang secara otomatis akan me-cover segala yang kita lakukan dalam sisi-Nya. Inilah yang membedakan bulan Muharram dengan lainnya. Muharram menjadi berbeda karena di dalamnya ada kejadian yang sangat berharga bagi Agama Islam yaitu Hijrah Rasulullah saw.
Selain itu Muharram menjadi berbeda karena hari ke-sepuluh dalam bulan ini dipadati dengan nilai yang sarat dengan sejarah, yang lebih dikenal dengan hari ‘asyura’ atau hari kesepuluh pada bulan Muharram.
Karena pada hari ‘asyura’ itulah (seperti yang termaktub dalam I’anatut Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat). Pada hari ‘asyura’ pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari ‘asyura’ itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari ‘asyura’ itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as. bertanya kepada umatnya ; “masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?”, kemudian mereka menjawab ; “masih ya Nabi”. Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang.
Karena itulah kita mengenal bubur suro. Yaitu bubur yang dibikin untuk menghormati hari ‘asyuro’ yang diterjemahkan dalam bahasa kita menjadi bubur untuk selametan.
Bubur suro merupakan pengejawantahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang selama ini diberikan oleh Allah swt. Namun dibalik itu bubur suro (jawa) selain simbol dari keselamatan juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun yang terjadi pada hari ’asyuro juga.
Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi. Intinya hari ‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah pada hari ini diantaranya adalah pelipat gandaan pahala bagi yang melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah hari kasih sayang, dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan, menambah pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak sedekah terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.
Bagi kelompok syi’ah hari kesepuluh bulan Muharram sangatlah penting. Karena pada hari inilah tepatnya tahun 61 H Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib sang Cucu Rasulullah saw terbunuh oleh Yazid bin Muawiyah. Pembunuhan ini lebih tepat bila disebut dengan pembantaian karena tidak seimbangnya dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Pembantaian ini terjadi di padang Karbala ketika dalam perjalanan menuju Irak.
Tentunya berbagai kejadian sejarah tersebut mulai dari sejarah transcendental yang berhubungan langsung proses penciptaan hujan oleh Allah swt hingga hijrah Rasulullah saw dan terbunuhnya Husain cucu Rasulullah saw. tidak boleh terhapus dari memori kolektif maupun individu generasi Muslim. Kejadian-kejadian dalam sejarah ini harus selalu dipupuk dengan subur sebagai salah satu media pendidikan kepahlawanan dalam Islam.
Berbagai metode perawatan sejarah ini terejawantahkan dalam berbagai tradisi kolaitas. Di Jawa misalnya kita mengenal bubur abang dan bubur putih yang dibagikan dan disajikan pada hari ‘asyura tidak lain untuk merawat ingatan sejarah tersebut secara perlambang.
Bubur putih bermakna rasa syukur akan panjangnya umur hingga mendapatkan tahun baru kembali, semoga kehidupan tambah makmur. Seperti rasa syukunya Nabi Nuh setelah berlayar dari banjir bandang, seperti syukurnya Nabi Musa setelah mengalahkan Fir’aun. Disamping itu Bubur Putih merupakan lambing kebenaran dan kesucian hati yang selalu menang dalam catatan sejarah yang panjang. Meskipun kemenangan itu tidak selamanya identik dengan kekuasaan, seperti Sayyidina Husain sebagai kelompok putihan yang ditumpas oleh Yazid bin Muaswiyyah sang penguasa laknat.
Sedangkan Bubur Abang (bubur merah) adalah pembanding yang selalu hadir dalam kehidupan di dunia berpasang-pasangan. Ada indah ada buruk, ada kebaikan ada kejahatan. Semoga semua hal-hal buruk itu senantiasa dijauhkan oleh Allah dari kita.
Jadi bubur suro ini yang berwarna merah dan putih merupakan representasi dari rasa syukur yang mendalam. Atas segala karunia Allah swt. Dan yang lebih penting dari itu semua, Bubur Suro merupakan wahana untuk merawat ingatan akan adanya sejarah besar dalam Islam. *** Wallohu a’lam (Ref. NU-Online).

ISLAM NUSANTARA DAN BERBAGAI ALIRAN DI INDONESIA (3) : Masa Kekhalifahan Usman Ibn Affan

 
Sepeniggal khalifah Umar, sebenarnya peluang Ali ibn Abi Thalib menjadi khalifah cukup besar sebab hampir semua syarat ideal sebagai seorang khalifah terdapat pada dirinya. Dia adalah salah seorang yang dijamin masuk surga (ahad al-mubasy-syarina bi-aljannah), orang yang pertama masuk Islam dari kelompok anak-anak (awwalu man aslama min al-sibyan), menantu dan sepupu Nabi Muhammad SAW, keluarga terhormat dan ilmunya sangat luar biasa. Ali juga seorang sahabat yang tidak pernah absen dalam peprangan, bahkan ia adalah penjebol benteng Yahudi pada perang Khaibar.
Tetapi, sebelum wafat khalifah Umar berwasiat, “Seandainya Abu Ubaidillah bin al-Jarrah masih hidup, jabatan khalifah akan saya serahkan kepadanya. Karena dia sudah meninggal saya tidak bisa menunjuk seseorang. Masalah ini akan saya serahkan kepada enam tokoh sebagai tim formatur. Anak saya Abdullah ibn Umar masuk dalam tim, namun tidak boleh dipilih. Dari bani Adiy cukup saya saja yang menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Ali ibn Abi Thalib, Usman ibn Affan, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqaz, Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah. Selama empat hari sudah harus ada keputusan mengenai pengganti khalifah. Kalau belum, maka ketua tim segera mengambil kebijaksanaan. Siapa yang tidak menyetujui apa yang sudah disepakati bunuhlah dia.
Musyawarah pun berjalan alot. Faktor kabilah menjadi penting. Zubair tidak bisa maju, karena Ali yang sama-sama dari bani Hasyim. Sa’ad ibn Abi Waqqas peluangnya tipis, karena berasal dari Bani Zahrah, suatu kabilah yang tidak punya wibawa dan prestis dibanding lainnya. Thalhah sama dengan Umar dari Bani Adiy, sehingga tidak mungkin maju. Nominator terkuat berarti Abdurrahman ibn Auf al-Zuhriy, Usman (Bani Umayyah) dan Ali (bani Hasyim). Abdurrahman tidak mungkin maju karena ada yang lebih senior, maka calon khalifah tinggal Ali dan Usman saja.  Unsur fanatisme kabilah dalam sidang formatur sangat berperan.
Pada akhirnya, kunci berada pada Abdurrahman ibn Auf yang memilih Usman. Pemilihan ini dilakukan setelah melalui lobi yang ketat dengan kedua kandidat. Saat menemui Ali dia bertanya, “Seandainya engkau tidak termasuk orang yang dicalonkan, siapa yang kamu pilih?”. Ali menjawab “Usman”. Kemudian ia langsung menemui Usman dan menanyakan, “seandainya engkau di luar enam calon, siapa yang kamu pilih sebagai khalifah?”, Usman menjawab “Ali”. Karena keduanya sama-sama kuat, akhirnya Abdurrahman ibn Auf menetapkan Usman sebagai Khalifah.
Penetapan ini (sekecil apapun) ada pertimbangan kabilahnya. Dan sekedar informasi, bahwa istri Abdurrahman ibn Auf (Ummi Kulsum) adalah saudara se-Ibu Usman bin Affan. -Bersambung- *** (Disarikan dari buku Aswaja dalam Lintas Sejarah karya KH. Said Aqil Siradj / NU-Online).

ISLAM NUSANTARA DAN BERBAGAI ALIRAN DI INDONESIA (2) : Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan Umar

Maret 31, 2011
Setelah Rasulullah saw wafat dan Abu Bakar resmi diangkat menjadi pengganti beliau mewakili suku Quraisy, maka stabilitas politik mulai terkoyak. Bila dibincangkan lebih lanjut, maka pemurtadan yang marak terjadi saat itu lebih merupakan pertimbangan politik bukan akidah semata. Inilah tugas berat Abu Bakar yang harus diselesaikan lebih dahulu.
Ibn al-Atsir (wafat tahun 630 H/1232 M) mengilustrasikan suasana politik pasca wafatnya Rasulullah SAW dan dibai’atnya Abu Bakar sebagai berikut : “Semenjak Rasulullah Saw wafat dan berita dukanya sampai ke Makkah dibawa oleh ‘Uttab ibn Usaid ibn Abi al-‘Ash ibn Umayyah, Uttab menyamar dan mengharap penduduk Makkah yang semuanya hampir murtad kembali kepada Islam. Kemudian Suhail ibn ‘Amar berdiri di depan pintu Ka’bah dan berteriak kepada mereka : Berkumpullah wahai penduduk Makkah…….! kemudian dia berpidato : “Janganlah kalian menjadi orang yang terakhir masuk Islam kemudian paling awal murtadnya. Demi Allah, pasti Allah memberi anugrah sebagaimana yang diucapkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda : “Ucapkanlah besertaku kalimat la ilaha illa Allah, niscaya kamu akan menguasai orang Arab dan non-Arab. Mereka akan membayar pajak kepadamu”. (Al-Kamil fi al-Tarikh, Juz II, hal.324).
Dr. Hasan Ibrahim Hasan menambahkan, …..pada saat bani Tsaqif di Thaif akan menyatakan kemurtadan, Usman ibn Abi al-Ash menyarankan : wahai warga bani Tsaqif, kamu sekalian merupakan orang yang terakhir masuk Islam, maka janganlah kalian menjadi orang yang pertama murtad. Kemenangan Arab merupakana kemenangan keluarga kita. Antara Thaif dan Makkah masih ada tali persaudaraan (qarabah) dan jalur keturunan (nasab). Setelah itu mereka semua mempertahankan ke-Islamannya. (Tarikh al-Islami al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’i, juz 1, hal. 346).
Dengan demikian, nampaklah bahwa pada saat itu situasi bangsa Arab hampir seluruhnya murtad, terkecuali penduduk Madinah yang memang memiliki keimanan yang handal. Sedangkan penduduk Makkah bertahan dalam Islam lebih karena harta rampasan perang (ghanimah) dan penduduk Thaif lebih karena pertalian kabilah.
Syukurlah, Abu Bakar cepat memulihkan stabilitas politik dan keamanan negara saat itu. Beliau memutuskan untuk menumpas dan memerangi orang-orang yang murtad, orang-orang yang menolak membayar zakat (inkar al-Zakat) dan para nabi palsu, meskipun ada sebagian sahabat yang tidak sependapat dengan langkah tersebut.
Pada sisi lain, secara politis Islam sudah mulai melebarkan sayapnya melakukan ekspansi keluar semenanjung Arab, seperti ke negara Syam (Syria) dan Persia. Setelah memerintah selama dua tahun, pada tanggal 21 Jumada al-Akhir 13 H (22 Agustus 634 M) Abu Bakar wafat. Sepeninggal beliau tampuk khalifah dipegang oleh Umar ibn Khatab.
Suksesi kepemimpinan kepada Umar ini lebih didasarkan pada pesan (wasiat) Abu Bakar kepada Umar sebagai waliy al-‘ahdi (baca: putra mahkota). Oleh karena itu wajarlah meskipun Umar ibn Khatab sukses memimpin negara, masih juga banyak suara sumbang yang datang dari orang-orang non-Islam yang berkoalisi dengan orang-orang munafiqin. Puncak kebencian mereka itulah yang menyebabkan Umar ibn Khatab terbunuh di tangan Abu Lu’lu’ah.
Abu Lu’luah adalah ahli membuat pedang dari kota Kufah. Sebenarnya, keberadaannya di kota Madinah sejak semula ditolak oleh Umar sebab seorang tawanan kalau sudah menginjak dewasa tidak diizinkan tinggal di Madinah, apalagi dia masih memeluk agama Majusi. Kemudian al-Mughirah sebagai Amir Kufah saat itu menulis surat kepada khalifah dan meyakinkan tentang pentingnya profesi Abu Lu’lu’ah bagi kepentingan umat Islam. Akhirnya Umar menyetujui permintaan al-Mughirah tersebut. Lalu datanglah Abu Lu’lu’ah ke Madinah bahkan ia digaji 100 (seratus) dirham setiap bulan. Namun, karena ia masih beragama Majusi, maka setiap bulannya dikenakan kharaj (pajak kepala).
Dalam kondisi seperti itu Bani Umayyah yang dapat dikatakan sebagai oposisi khalifah Umar (karena Umar tidak berasal dari keturunan Umayyah) menghasut Abu Lu’lu’ah untuk mengajukan dispensasi kepada khalifah agar terbebas dari kharaj sebab jasanya terhadap negara sangat banyak. Abu Lu’lu’ah bergegas mengajukan permintaan tersebut. Namun, khalifah Umar menjawab, “Ini sudah peraturan, lagi pula gajimu sudah cukup besar”.
Permohonan pembebasan kharaj seperti ini dilakukan oleh Abu Lu’lu’ah berulang kali, sehingga karena merasa jengkel dan dendam terhadap sikap Khalifah Umar, ia memberanikan diri membunuh Umar di saat menjadi Imam shalat Subuh. -Bersambung- *** (Disarikan dari buku Aswaja dalam Lintas Sejarah karya KH. Said Aqil Siradj ; NU-Online).

ISLAM NUSANTARA DAN BERBAGAI ALIRAN DI INDONESIA (1) : Babak Pertama, Mencari Pemimpin Pengganti Nabi

 
Akhir-akhir ini sering kali muncul berbagai masalah ke-Islaman yang sangat menyita perhatian masyarakat. Mulai dari Nabi palsu, permasalahan Ahmadiyah, hingga tentang faham Syi’ah. Hal ini sangat menyibukkan berbagai lembaga keagamaan. Baik lembaga yang berada di bawah naungan negara seperti MUI, Kementerian Agama, DPR komisi VIII atau lembaga Islam yang mandiri seperti NU, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam yang lain.
Tidak sedikit yang menganalisa bahwa kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari permainan politik kekuasaan. Ada juga yang mati-matian menyebutkan bahwa fenomena ini murni bersifat ideologis. Dan ada pula yang melihat dari kaca mata ekonomi. Oleh karena itu, sebelum kita ikut-ikutan berkomentar, alangkah baiknya jika kita tahu duduk persoalannya. Kapan, bagaimana dan dimana mereka mulai ada? Konteks sosial seperti apa yang mendorong lahirnya berbagai aliran tersebut? Barulah setelah itu kita bisa memposisikan mereka dalam ruang ke-Islaman Nusantara ini.
Dengan demikian tulisan ini tentunya akan kembali ke masa lalu. Menelisik sejarah awal semenjak kelahiran Islam di Makkah, kemudian perpindahan dari Rasulullah ke khulafaurrasyidin, hingga transformasi kekuasaan ke beberapa khalifah. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah berbagai kondisi sosial-politik yang melingkupi perjalanan Islam hingga muncul berbagai perbedaan pemahaman akidah.

Masyarakat Arab dan Lahirnya Islam 

Tulisan ini diawali dengan sebuah fragmen kecil yang bercerita tentang kisah Afif al-Kindi. Afif al-Kindi adalah seorang pedagang yang sering datang dan pergi dari dan ke Makkah. Maklumlah Makkah adalah sebuah bandar perdagangan besar pada zamannya (hingga sekarang). Makkah adalah kota strategis untuk berdagang. Karena semenjak zaman Nabi Ibrahim Makkah selalu dikunjungi oleh berbagai suku dari macam-macam bangsa. Selain mempunyai tujuan utama beribadah menziarahi Ka’bah Baitullah, orang-orang itu juga datang dengan membawa berbagai barang dagangan untuk saling ditukarkan.
Suatu hari pada musim haji Afif al-Kindi datang ke Makkah dengan membawa barang dagangan. Ditengah kesibukan dagang ia berjumpa dengan al-Abbas paman Rasulullah saw. dengan asyiknya mereka berdua saling bercengkrama. Membahas berbagai hal dan informasi. Sebagai pedagang luar, Afif al-Kindi banyak mengorek informasi dari al-Abbas, mulai dari masalah perdagangan, wisatawan, hingga isu-isu terbaru di kota Makkah.
Tiba-tiba saja di saat mereka tengah berbincang, mata Afif al-Kindi menatap seorang laki-laki yang sedang shalat menghadap ka’bah lalu disusul seorang perempuan dan seorang pemuda yang turut shalat bersamanya. Sebagai orang asing, Afif al-Kindi melihat hal itu merupakan suatu keanehan. Maka iapun bertanya kepada al-Abbas “agama apakah itu?”. Al-Abbas Menjawab “Itu adalah Muhammad Ibnu Abdullah putra saudara laki-lakiku. Dia menganggap dirinya utusan Allah (rasulullah) yang berobsesi menggulingkan Persia dan Romawi. Sedangkan perempuan itu adalah Khodijah, istri Muhammad, ia percaya dengan apa yang disampaikan suaminya. Dan pemuda itu adalah Ali bin Abi Thalib, ia juga percaya pada apa yang disampaikan Muhammad”. Al-Abbas masih melanjutkan perkataannya “Tak-ku lihat seorangpun (selain tiga orang ini) di muka bumi yang memeluk agama ini”. Kemudian Afif al-Kindi berkata : “Semoga aku menjadi orang yang ke empat”.
Sedari awalnya, Nabi Muhammad saw memang menggandengkan cita-cita perjuangan Islam dengan penggulingan dua kekuasaan dominan, yakni obsesi untuk menaklukkan imperium Persia dan Romawi (Bizantium) sebagai adikuasa dunia saat itu.
Nabi Muhammad saw. melihat penaklukan itu sebagai jalan kesuksesan dakwah Islam di dunia selanjutnya. Kekuasaan bukan tujuan utama, melainkan sebagai wasilah memuluskan jalan penyebaran Islam. Di sisi lain, pemilihan isu penaklukan bangsa Romawi dan Persia yang diangkat oleh Nabi Muahmmad saw. berfungsi untuk menarik perhatian dan menyatukan ambisi politik masyarakat Arab.
Wacaana politik ini ternyata turut menentukan genealogi kemunculan beberapa kelompok (firqah) dalam Islam. Secara sosiologis, karakter dan lingkungan Arab yang dikelilingi padang pasir juga mempengaruhi watak bangsa Arab. Watak alami pasir itu selain susah disatukan juga bersifat tidak stabil atau labil. Ini sesuai dengan kaedah linguistik bahwa kata (عرب ) berarti bergerak, berubah atau labil. Sehingga al-wasith mengungkapkan kata kerobak dengan (عربة.).
Watak ini secara tidak langsung menjadikan bangsa Arab sulit –kalau tidak mustahil- bersatu. Watak itu juga membuat mereka menjadi bangsa yang memiliki fanatisme tinggi sekaligus fatalisme yang mengakar. Tidak mengherankan jika mereka saling bermusuhan antar suku (kabilah) meskipun hanya mengenai urusan sepele. Misalnya hanya karena persoalan salah menghormati tamu berkobarlah perang fijar. Dalam Sirah Nabawiyah Juz I, Ibn Hisyam menerangkan bahwa perang Fijar terjadi ketika Nabi saw berusia 14 tahun atau 15 tahun, perseteruan tersebut antara bani Quraisy yang didukung Kinanah dengan Bani Qais ‘Ailan.
Di tengah-tengah bangsa seperti itulah Allah swt. mengutus Rasulullah saw, untuk membawa misi Islam (risalah Islamiyyah) yang lebih menekankan rehabilitasi moral (akhlaq), persaudaraan (ukhuwah) dan persatuan. Selama kurang lebih 23 tahun beliau mampu meredam fanatisme kesukuan yang telah tertanam dalam diri mereka menjadi fanatisme Islam. Mereka semula bangga dengan gelar kesukuan seperti al-Taymi, al-Adiy, al-Najjariy dan sebagainya, berubah menjadi gelar yang bertalian dengan Islam seperti al-Siddiq, al-Faruq, al-Murtadha dan sebagainya.
Namun, prestasi cemerlang itu tidak bisa dipertahankan terus. Persaudaraan yang tercipta pada masa Nabi Muhammad saw, sebagai manifestasi “semangat keislaman” (ghirah Islamiyyah) mengalami kemunduran.
Sejarah mencatat bahwa setelah Rasulullah SAW wafat bahkan sebelum jenazah beliau dimakamkan, sudah terjadi perdebatan sengit mengenai pengganti (khalifah) nabi sebagai pemimpin Islam. Menurut banyak sumber sejarah, diantaranya Tarikh Ibn Ishak, ta’liq Muhammad Hamidi menerangkan bahwa Rasulullah saw. wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ al-Awwal tahun 11 H. dalam usia enam puluh tiga tahun. Namun jenazah beliau barulah dikebumikan pada hari Rabunya. Sehingga dalam waktu tiga hari para sahabat justru sibuk mengurusi soal khalifah.
Begitu juga keterangan Ibn al-Atsir dalam al-Kâmil fi aI-Târikh, Juz II, Perdebatan berlangsung di Saqifah Bani Sa’ad yang melibatkan golongan Anshar (Aus dan Khazraj) dan golongan Muahajirin. Di sana terdengar suara minor, “dari pihak kami ada seorang pemimpin, dari kamu juga ada seorang pemimpin”. Perdebatan di Saqifah bani Sa’ad tersebut berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pertama.
Reaksi atas terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah segera berdatangan. Ada sebagian orang yang menyatakan kesetiaan dengan melantik (membai’at) secara spontan. Tetapi ada juga orang yang tidak bersedia membai’at bahkan tidak sedikit yang menyatakan keluar dari Islam (murtad).
Berikut ini suatu gambaran riddah-nya (kemurtadan) bangsa Arab waktu itu : “ketika Rasulullah SAW, wafat dan Abu Bakar mengirim pasukan yang dipimpin Usamah, maka bangsa Arab murtad. Suasana menjadi panas. Semua suku murtad kecuali suku Quraisy dan Tsaqif. Semakin kuat posisi Musailamah dan Thulhah. Mayoritas suku Thayyi’ dan Asad berkumpul di rumah Thulaihah. Suku Ghathfan murtad mengikuti “Uyainah ibn Hashn. Ia berkata : seorang nabi dari kubu Asad dan Ghathfan lebih aku sukai dari pada seorang nabi dari suku Quraisy….
Fakta sejarah di atas kalau dianalisis secara cermat memberikan indikasi bahwa munculnya fanatisme kesukuan bangsa Arab pasca Nabi sulit dibendung lagi. Sikap bangsa Arab yang susah untuk bersatu kambuh lagi. Kondisi seperti itu masih ditambah lagi dengan keengganan Ali ibn Abi Thalib untuk membai’at Abu Bakar sebagai khalifah. Baru setelah istrinya, Fatimah Zahra binti Muhammad saw, wafat Ali menyatakan bai’at.
Pada saat itu, meskipun umat Islam masih satu dalam masalah aqidah dan syari’ah, namun mereka sudah mulai terkoyak-koyak dalam kehidupan politik (siyasah). Inilah yang nantinya menjadi awal lahirnya berbagai firqah dalam Islam. Bersambung .. *** (Ulil Hadrawi, disadur dan disarikan dari berbagai sumber ; NU-Online)

Tarikh : Catatan Tinjauan Hukum Mencela Sahabat Nabi

 
Dalam sebuah majelis jamuan makan, berjalan sebuah diskusi yang cukup menarik tentang peradaban Islam. Tiba-tiba salah satu peserta diskusi berkata : “Abu Bakar, Umar dan Usman itu adalah pengkhianat kekhalifahan setelah Rasulullah. Mereka merebut tampuk kekhalifahan dari Sayyidina Ali ra. Laknat atas mereka!”. Demikian, cacian, makian dan laknat terhadap sahabat itu kerap ditemukan di beberapa majelis yang mengatasnamakan pengajian pecinta ahlul bait.
Dalam akidah Islam yang benar, membenci sesama muslim bahkan memutuskan hubungan dengannya adalah aktivitas yang diharamkan. Mencela seorang muslim adalah sebuah perbuatan fasik dan menghalalkan peperangan dengan mereka adalah perbuatan kafir.
***
Hadis yang cukup menjelaskan topik tersebut adalah hadis yang menceritakan Sayyidina Khalid bin Walid ra ketika bersama Sariyyah (pasukan perang yang dipimpin Rasulullah SAW untuk mendakwahkan Bani Judzaimah ke jalan Islam. Tatkala Khalid sampai pada Bani Judaimah, mereka menyambut kedatangan Khalid, maka berkatalah Khalid kepada mereka : “Berislamlah kalian!”. Mereka menjawab : “Kami ini adalah orang muslim”. Kemudian Khalid berkata : “(kalau begitu) lemparkan senjata-senjata kalian!”. Mereka menjawab lagi ; ”Tidak! Demi Allah kalau kami meletakkan senjata, nanti akan terjadi pembunuhan (pada kami). Dan kami tidak percaya kepadamu dan juga pada pasukanmu”.
Dengan dialog tersebut akhirnya Khalid memtuskan untuk berkata : “(Jika demikian), maka tidak ada jaminan bagi kalian (untuk tidak kami perangi), kecuali kalian bersedia melucuti senjata kalian”. Akhirnya sebagian dari mereka mau melucuti senjata, dan sebagian lagi bercerai-berai.
Dalam riwayat yang lain disebutkan sebagai berikut ; telah sampai Khalid pada kaum itu, dan mereka menyambutnya  (sambil bersenjata). Maka Khalid berkata : “Siapa kalian?”. Mereka menjawab : “Kami adalah orang-orang muslim, kami telah melaksanakan shalat dan kami benarkan Muhammad SAW. Kami juga membangun masjid-masjid di tempat kami, dan juga beradzan untuk memanggil orang untuk shalat”. Ketika Khalid mengucapkan pertanyaan dengan kasar, “Kalian ini muslim atau kafir?”, maka akhirnya mereka tidak berbuat baik terhadap ucapan keislaman mereka dan berkata : “Kalau demikian, kami keluar saja dari Islam”. Khalid menimpali ; “Untuk apa kalian membawa senjata?”.  Mereka menjawab : “Sesungguhnya antara kami dengan kaum yang lain dari kalangan bangsa Arab memiliki permusuhan dan kami khawatir bahwa engkau termasuk dari mereka (bangsa Arab). Oleh karena itu kami sekarang memegang senjata”.
“Jika demikian, letakkan senjata kalian”, perintah Khalid. Akhirnya mereka meletakkan senjata tersebut. Kemudian Khalid berkata : “Menyerahlah kalian untuk menjadi tawanan kami”. Latas sebagian mereka menyerahkan diri seraya meletakkan tangan-tangan mereka di pundaknya (sehingga perasaan jengkel terhdap Khalid bertambah kuat).
Akhirnya Khalid membagi tawanan kepada para sahabat yang ikut dengannya. Ketika waktu menjelang subuh tiba, berserulah ajudan Khalid ; “Barang siapa yang membawa tawanan, supaya membunuhnya”. Maka Bani Sulaim yang ikut rombongan perang Khalid membunuh tawanan yang ikut bersamanya. Sedangkan orang-orang Muhajirin dan Anshar melepaskan tawanan tersebut (tidak membunuh). Ketika kejadian tersebut sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya saya berlepas tangan pada-Mu dari perbuatan Khalid tersebut”. Beliau mengulanginya sampai tiga kali.
Ada yang berpendapat (terhadap peristiwa Khalid tersebut) dengan mengatakan bahwa menurut pemahaman Khalid, perkataan mereka yang berbunyi ”Kalau begitu kami keluar dari Islam” adalah suatu kesombongan bagi mereka yang menganggap diri mereka sudah besar dan kuat. Serta tidak adanya ketundukan terhadap Islam (sehingga akhirnya Khalid memutuskan untuk menawan mereka).
Sedangkan pengingkaran Rasulullah SAW terhadap kejadian tersebut disebabkan karena ketergese-gesaan Khalid dalam mengambil keputusan tanpa ada penelitian terlebih dahulu terhadap perkara yang dialaminya. Padahal pada kesempatan lain, Rasul pernah memuji Khalid dengan mengatakan ; “Sebagus-bagusnya hamba Allah dari rumpun Arab Khalid bin Walid, dia adalah pedang dari sekian pedang-pedang Allah, yang Allah menghunusnya terhadap orang-orang kafir dan munafik”.
Maksud keterangan tersebut adalah, bahwa kesalahan yang dilakukan Khalid bukan merupakan kesalahan fatal, tetapi kesalahan dalam menentukan prioritas. Mana yang terbaik yang seharusnya dilakukan oleh Khalid, dengan indikasi perkataan Rasulullah, bahwa Khalid adalah sebagus-bagus hamba Allah. Sehingga tidak mungkin akan melakukan aktivitas yang kesalahannya fatal dan mengakibatkan ia kufur.
***
Demikian juga kisah Sayyidina Usamah bin Zaid, seorang yang dicintai Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dan anak dari sahabat yang dicintai Rasulullah yaitu Zaid bin Haritsah. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Sofyan, ia berkata : “Saya mendengar Usamah bin Zaid berkata ; Rasulullah mengutus kami ke Huraqah. Kemudian kami menyerang kaum itu pagi-pagi sekali, sehingga bisa mengalahkan mereka. (Ketika itu) saya dan seorang laki-laki dari kalangan Anshar mengejar laki-laki kaum itu. Tatkala kami bisa menyergapnya maka ia berkata, Laa ilaha illallah kemudian ia mencegah/menahan supaya laki-laki Huraqah tersebut tidak dibunuh, karena sudah mengucapkan tahlil. Namun saat itu juga saya menusuknya dengan tombak sehingga ia mati.
Ketika berita tersebut sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda :”Wahai Usamah, adakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaha illah?”, saya jawab, “Ia hanya berlindung dari ucapan itu”. Namun Rasulullah selalu mengulang terus pertanyaan tersebut, sehingga saya menganggap bahwa pada hari itu saya bukan Islam lagi (karena melakukan kesalahan).
Dan dalam riwayat yang lain, Rasul bersabda kepadanya, ”Mengapa tidak kamu bedah saja hatinya, sehingga engkau bisa mengetahui apakah ia jujur atau bohong (terhadap ucapan itu). Maka Usamah berkata : “Saya tidak akan memerangi orang-orang yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah”.
Riwayat yang juga termasuk menjelaskan topik ini adalah jawaban Ali radhiallahu ‘anhu. Ketika ditanya tentang orang-orang yang menentangnya, apakah kelompok mereka disebut kufur?. Ali menjawab, “Tidak. Karena mereka jauh dan berlari dari sifat kufur”. Apakah mereka munafik? Ali menjawab, “Juga tidak”. Karena orang-orang munafik tidak berdzikir sangat banyak pada Allah”. Kalau begitu, apa posisi mereka?, maka Ali menjawab, “Mereka adalah kaum yang tertimpa fitnah, sehingga mereka buta dan tuli dari kebenaran”.

Taudhih (Penjelasan)

Mencela seseorang muslim adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah. Karena perbuatan tersebut mampu memecah belah ukhuwah Islamiyah yang seharusnya dibangun oleh Abnaul Islam, agar kekuatan Islam bisa menyingkirkan ideologi-ideologi selain Islam, seperti sosialis dan kapitalis.
Ukhuwah yang telah menjadi kekuatan umat Islam tersebut diketahui oleh dunia Barat (sosialis dan kapitalis) dan sekaligus mereka paham akan kelemahan umat Islam. Yaitu, kerapuhan pemikiran umat Islam, sehingga dapat mempengaruhi kerapuhan ukhuwah Islamiyah. Dari kelemahan umat Islam ini akhirnya mereka mengadu-domba dengan berbagai macam dalih. Apakah untuk menjaga perdamaian dunia atau dengan dalih memerangi teroris dan penjahat-penjahat dunia yang kesemuanya itu diarahkan pada negeri-negeri muslim yang tidak bersedia tunduk pada “dajjal modern”, yaitu Amerika. Maka lahirlah peperangan antara negeri-negeri muslim yang semuanya didalangi oleh Amerika dan sekutunya. Penjajahan di Irak, Afghanistan, dan hegemoni Barat hampir mencakup seluruh dunia Islam saat ini.
Mereka menebar benih permusuhan antara negeri-negeri yang ada di Timur Tengah dengan dalih menjadi juru damai antara Palestina dan Israel. Yang berakibat semakin merenggangnya hubungan negara-negara Islam di Timur Tengah.
Demikianlah, makar-makar Yahudi dan Nasrani yang berusaha menghapus ide-ide Islam di dunia internasional ini diawali dengan menghancurkan puing-puing ukhuwah islamiyah. Namun jika umat Islam sadar akan kesalahannya, dan bersedia untuk membangun kembali puing-puing ukhuwah islamiyah tersebut, dan bersungguh-sungguh maka Allah akan menghancurkan makar-makar mereka. Karena Dialah sebaik-baik pembuat makar. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.Ali Imran : 54 yang artinya:
‘Mereka itu membuat makar, dan Allah (membalasnya) dengan makar-Nya, dan Allah lah sebaik-baik pembuat makar”.
Allah sendiri telah memberi jalan kepada manusia untuk membangun puing-puing ukhuwah Islamiyah, dengan jalan berikut :
Pertama, Mengadakan Islah, perbaikan di antara yang bertikai, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Hujarat ayat 10 yang artinya :
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang beriman saja yang bersaudara, maka damaikanlah di antara saudara-saudaramu”.
Sedangkan Islah atau perdamaian tidak akan mungkin bisa terjadi, kecuali mengikuti aturan berikut : Perdamaian itu harus berprinsip adil. Yang dimaksud adil di sini adalah sesuai dengan tuntutan syara` yang di dalamnya pasti mengandung maslahat, sebab di mana ada syara` di situ ada maslahat. Allah telah berfirman dalam surat al-Hujarat : 9 yang artinya ;
“Hendaklah kamu damaikan keduanya dengan prinsip adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”. Dan Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di dunia akan berada di mimbar-mimbar yang terbuat dari permata di hadapan Allah, karena aktifitas adilnya  yang dilakukan di dunia”(HR. Ibnu Hasim dan an-Nasa`i).
Kedua, membangun kesamaan dalam pemikiran (konsep-konsep) Islam yang mendasar, sehingga bisa melahirkan kesamaan akan perasaan berislam, dan juga melahirkan kesamaan perasaan cemburu jika Islam dihina. Sehingga yang terjadi adalah tolong-menolong dalam kebaikan pada diri umat Islam. Inilah yang akan memperkuat ukhuwah islamiyah. Lihat QS. Al-Maidah : 2.
Ketiga, meningkatkan rasa takwa pada Allah, sebab dengan demikian akan membuat manusia (umat Islam) takut untuk melanggar aturan-aturan Allah. Yang akhirnya akan dapat membedakan mana yang seharusnya sebagai lawan dan sebagai saudara. Lihat QS. Al-hujarat : 10.
Keempat, tidak melakukan hal-hal yang bersifat mencela/meremehkan kelompok lain sesama Islam, dan tidak memanggil dengan sebutan yang tidak disenangi, sebab bisa jadi yang meremehkan itu lebih tercela dari pada yang dicela. Lihat QS. Al-Hujarat : 11.
Kelima, menjauhi sifat su`udzan, ghibah, fitnah, memata-matai untuk mencari kelemahan pada orang lain. Lihat QS. Al-Hujarat : 13.
Dari uraian tersebut, bisa disimpulkan bahwa :
  1. Orang yang mengucap kalimat syahadat tidak boleh diperangi.
  2. Orang yang mengucapkan kalimah syahadat (asalkan tidak merusak akidahnya dengan keyakinan lain) dengan keyakinan dan pembenaran yang pasti, maka ia akan masuk surga, meskipun mengerjakan perbuatan maksiat (walau masih `mampir` ke neraka) untuk membersihkan maksiat yang dilakukan karena lalai, lupa atau kebodohannya tentang hukum Allah.
Hal ini berdasarkan hujjah sebagai berikut :
Bahwa Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda : “Dzalim itu ada tiga, yaitu dzalim yang tidak diampuni Allah, dzalim yang diampuni-Nya, serta dzalim yang tidak meninggalkan darinya pada sesuatu apapun”.
Dzalim yang tidak diampuni oleh Allah adalah syirik, menyekutukan Allah dengan yang lain, sesuai firman-Nya Surat Lukman : 13 yang artinya :
“Sesungguhnya syirik itu adalah kedzaliman yang besar”. Dan termasuk dalam kategori dzalim di atas adalah bertahkim pada hukum-hukum selain yang dibuat Allah, mencampur sebagian dan membuang sebagian yang lain dari hukum Allah. Dalam kondisi ini tidak diampuni dosa-dosa mereka meskipun mereka shalat, puasa dan haji. Karena mereka telah mensyirikkan dan menentang hukum Allah, Allah SWT berfirman : “Barang siapa yang tidak bertahkim dengan hukum Allah maka mereka termasuk orang-orang kafir”. (QS. Al-Ma`idah : 44).
Dalam surat an-Nisa`: 60 Allah berfirman : ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada taghut (selain hukum Islam). Padahal mereka diperintah untuk mengikarinya”. Dalam surat an-Nisa`: 150-151 Allah azza wa jalla berfirman: “…Mereka berkata, kami beriman kepada yang sebagian dan kafir kepada sebagian yang lain…” “Mereka itu adalah orang-orang kafir yang sebenarnya…”.
Dzalim yang bisa diampuni Allah adalah dzalimnya hamba terhadap Allah dengan melakukan maksiat karena lalai dan kealpaan atau kebodohannya. Selama tidak menggunakan keyakiannnya pada kalimat Laa ilaha illallah. Maka dzalim seperti ini masih termasuk ahli surga, meskipun harus `mampir dulu di neraka dahulu. Diriwayatkan Syaikhan dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah bersabda : “Tidak seorang hamba pun yang berkata Laa ilaha illallah, kemudian ia mati tetap pada perkataan tersebut, kecuali ia masuk surga. Saya berkata : Meskipun berzina dan mencuri?. Rasulullah menjawab : Meskipun berzina dan mencuri. Saya berkata lagi : meskipun berzina dan mencuri?. Rasulullah menjawab:meskipun berzina dan mencuri (sampai tiga kali). Dan berkata Rasulullah yang keempat kalinya : meskipun Abu Dzar terpaksa yang demikian itu.. Dalam riwayat lain disebutkan : “Barang siapa yang mati dan dia tahu bahwa tiada tuhan kecuali Allah, maka ia masuk surga” (HR.Muslim).
Oleh karena itu, seorang muslim yang sejati harus mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya secara menyeluruh, sehingga bisa masuk surga tanpa `mampir` ke neraka.
Dzalim yang ketiga adalah berkaitan dengan kedzaliman hamba yang satu dengan hamba yang lain. Sehingga saling menghinakan satu sama lain. Dalam kondisi ini saling memaafkan dan saling menghormati akan menghilangkan dosa dzalim tersebut.
***
Demikianlah hujjah dari kesimpulan di atas, bahwa tidak diperkenankan bagi kita untuk memerangi orang-orang Islam yang masih meyakini Laa ilaha illallah. Namun jika melihat fakta yang ada sekarang ini, banyak sekali orang-orang yang mengaku Islam, meskipun ideologi mereka adalah ideologi kapitalis dan sosialis atau dicampurkan dengan lainnya. Maka sikap kita pada mereka adalah memastikan mereka sebagai orang kufur, karena telah menafikan hukum-hukum Allah serta mencampur dengan hukum mereka. Sebagai hamlud da`wah hendaknya kita berusaha untuk berjidal dengan mereka guna mematikan argumentasi-argumentasinya dan membuat argumentasi yang kuat yang berdasarkan syari`at Islam. Dan tidak melakukan peperangan kecuali :
  • Diperintah oleh Amirul Mu`minin (Penguasa Islam). Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar untuk memerangi pembangkang-pembangkang yang tidak mau membayar zakat.
  • Jika mereka menyerang kita, maka kita wajib mempertahankan diri dan menyerang balik kepada mereka.
Adapun peperangan yang dilakukan oleh para sahabat (Ali dan Mu`awiyah, Ali dengan `Aisyah) maka dalam hal ini ulama-ulama` Sunni berpendapat agar tidak mengomentari peperangan mereka, sebagaimana yang telah dikatakan Imam Abu Hanifah, Hasan al-Bashri dan Umar bin Abdul Aziz, di antara mereka berkata : “Itulah darah-darah yang telah tertumpah yang Allah membersihkan tanganku dari pada percikannya, maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku”. Dan juga ahli hikmah mengatakan : “Dan apa yang terjadi diantara sahabat, kami memilih sikap diam” – Wallohu a’lam. *** (KH/falam)
(Sumber : CD ceramah Posisi dan Peran Sahabat Nabi SAW oleh Prof. DR. Sayid Muhammad Al-Maliki & Jurnal Keislaman Bayan)

Rintihan Suci Putri Nabi : Maqtal Sayidah Fathimah Az-Zahra

Desember 10, 2010
Salam atasmu duhai putri sebaik baiknya makhluk, salam atasmu wahai putri nabi, salam atasmu wahai istri al-washi, salam bagimu duhai ibu al-Hasan dan al-Husain, salam atasmu wahai wanita suci yang dizhalimi dan diambil haknya, salam bagi ruh dan jasadmu yang suci nan semerbak dari lisan yang penuh dengan dosa ini,
Salam bagimu…..
Tepat pada tanggal 20 Jumadil Tsani, di hari Jumat yang suci, dua tahun setelah bi’tsah Rasul saw, Sayyidah Khodijah melahirkan seorang putri yang telah dipersiapkan untuk mengemban tugas yang teramat berat. Sosok yang kelahiran sampai akhir hayatnya kelak dipenuhi dengan berbagai derita dan cobaan yang akan menimpanya.
Dengan didampingi oleh empat wanita suci Assayyidah Khodijah melahirkan bayi suci yang namanya telah dipersiapkan oleh penciptanya sebelum kelahirannya tiba. Fathimah adalah nama yang dihadiahkan Tuhan untuk putri Nabi ini.
Pada usia yang masih sangat belia Fathimah Azzahra harus berpisah dengan ibundanya yang tercinta. Khodijah wanita suci yang selalu mendampingi Nabi dalam suka dan duka telah dipanggil pencipta untuk selama lamanya. Nabi bersedih atas kepergian istri yang teramat dicintainya, begitu pula Fatimah turut dalam kesedihan yang teramat sangat. Sepeninggal Khodijah perhatian Fathimah kepada ayahnya semakin bertambah. Peran ibundanya sekejap ia letakkan diatas pundaknya. Fathimah berupaya menghibur ayahnya atas kepergian sang istri tercintanya.
Ketika Nabi di Thaif, sekelompok anak anak kecil dan juga orang dewasa berlomba menimpuki Nabi dengan batu dan kotoran unta, Fathimah yang masih sangat belia tampil dengan perangai seorang ibu yang cemas dengan putranya. Dibersihkan kotoran dan darah yang berada pada pada wajah ayahnya. Air mata nabi tak mampu beliau sembunyikan ketika melihat putri tercintanya. Seorang anak yang sepatutnya sedang asyik bermain dengan teman seusianya sekarang justru berada dipangkuan ayahnya, menghalangi siapapun yang akan melukai rasulnya. Fathimahpun menangis melihat keaadan ayahnya, dengan suara bergetar penuh keharuan nabi meyeka tiap butiran air mata yang mengalir dipipi mungil putrinya sambil berkata, ‘ habibati Fathimah la tabki’,’ belahan jiwaku Fathimah janganlah engkau menangis’. Begitulah ucapan Nabi ketika tangan suci putrinya menyeka darah yang mengalir dikeningnya. Ummu Abiha, ibu dari ayahnya adalah gelar yang Rasulullah peruntukkan kepada putrinya. Satu satunya gelar yang belum pernah ada dalam sejarah kecuali untuk Fathimah Azzahra as.
Duka dan kesedihan selalu mengiringi kehidupan keluarga nabi, akan tetapi Fathimah senantiasa menyembunyikan kedukaannya selama sang ayah berada disampingnya. Kecintaan assayyidah Fathimah begitu tinggi terhadap ayahnya dan begitu pula Rasul saaw kepada putrinya hingga beliau bersabda, “Fathimah adalah belahan jiwaku, siapapun yang mencintai Fathimah berarti dia mencintaiku”.
 ***
Saat yang membahagiakanpun tiba, Fathimah dinikahkan dengan putra pamannya, seorang yang tak pernah meninggalkan nabi dalam perang apapun, putra Abu Thalib yang kelahirannya dibaitullah dengan segala keajaibannya, dialah Ali bin Abi Tholib yang tanpa keberadaannya tak akan mungkin ada manusia yang layak meminang Fathimah dan menikah dengannya. Pernikahan yang dirayakan tidak hanya oleh penduduk bumi, para malaikat dan bidadari dilangitpun sibuk menyambutnya. Jibril as meyampaikan pesan Tuhan kepada Rasul ketika merayakan pernikan al Batul Fathimah dengan al Wusul Ali bin Abi Tholib, yang berbunyi ;
“Al Hamdu adalah selendang-Ku, keagungan adalah kebesaran-Ku, segala makhluk adalah hamba-Ku, Aku menikahkan Fathimah hamba-Ku dengan Ali pilihan-Ku, saksikanlah wahai para malaikat-Ku. ..”
Sementara di bumi Rasul saaw bersabda ; “Sungguh aku manusia seperti kalian, menikah ditengah kalian dan menikahkan kalian, kecuali Fathimah putriku yang pernikahannya turun dari langit.”
Ketika Rasulullah menyuruh para wanita keluar dari kamar putrinya pada saat malam pernikahan, Asma’ bintu Unmais salah seorang yang berkhidmat kepada keluarga nabi tetap tak melangkah kakinya, hingga Rasulpun bertanya kepada Asma’ ;  “Bukankah aku telah menyuruhmu untuk meninggalkan kamar putriku ini wahai Asma’ ?”. Ia menjawab ; “Betul wahai Rasul, semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. saya tak bermaksud untuk melanggar perintahmu akan tetapi wasiat Khadijahlah yang menyuruhku untuk berada di kamar ini. Di saat-saat terakhirnya beliau mewasiatkan kepadaku untuk mendampingi putrimu di saat seperti ini, karena setiap wanita pasti akan mengharapkan kehadiran ibundanya untuk berada di sampingnya ketika hendak menikah”. Rasulpun bersedih bersama putrinya ketika mendengar Asma’ bercerita tentang Khadijah.
***
Madinah 28 Shofar tahun ke-11 H adalah tahun yang paling menyedihkan bagi keluarga Nabi terutama Fathimah. Lembaran kedukaan yang teramat sangat mulai tampak dirumah arrasul. Semua orang menatap sedih melihat kondisi Nabinya. Satu persatu keluarga beliau dipanggilnya, dimulai dari al Hasan sampai kepada Azahra yang terus menerus menangis dalam pelukan ayahnya. Nabi memeluk erat putrinya seakan beliau tak ingin melepaskannya begitu pula Fathimah. Hingga Rasul saaw membisikkan pesan terahirnya barulah Fathimah tersenyum keluh, senyuman pertanda ia adalah orang pertama yang akan menyusul ayahnya.
Fiddhoh seorang kepercayan azzahra bercerita tatkala Rasulullah saaw meniggal dunia berdukalah yang kecil dan yang besar, dan bertambah benyaklah tangisan dukapun menjadi besar atas kerabat, sahabat, kekasih dan orang-orang kesayangan, juga orang asing yang tak memiliki nasab dengan beliau. Yang terlihat hanyalah orang yang menangis, baik laki laki maupun perempuan. Begitu banyak orang yang menangis dan berduka tetapi kesedihan para penghuni bumi tiada sebanding dan melebihi duka Sayyidah Fathimah as, setiap hari kesedihannya bertambah begitu pula tangisannya bertambah keras lalu ia berdiam diri selama tujuh hari. Ketika Fathimah menangis setiap tangisannya lebih besar dari sebelumnya. Pada hari kedelapan ia menampakkan kesusahan yang dipendamnya, saat itu Azzahra berteriak histeris sambil menangis lalu memanggil-manggil ayahnya, “Wa abatah….wa Muhammadah. Wahai ayah….wahai Muhammad. Duhai tempat berlindungnya para janda dan anak yatim, siapa lagi milik putrimu yang sangat mencintai dan kehilangannmu ini.”
Dan beliaupun sering tak sadarkan diri, ketika Bilal mengumandangkan azan, saat terdengar nama ayahnya disebut “Asyhadu anna Muhammadar Rasululullah”. Kembali Fathimah menangis seraya berkata ; “ismuka ‘alal mana’ir wa rosmuka fil maqobir (namamu menghiasi menara-menara masjid, sementara jasadmu terbujur di dalam kubur)”. Ali berlari memeluk istri tercintanya dan memberikan baju nabi yang dipintanya, lalu Fathimah menciumi baju Nabi sampai terjatuh ke tanah, sambil berlinang air mata Azzahra berjalan menuju pusara ayahnya. Ketika berada di depan kubur ayahnya, Fathimah mengambil segenggam tanah dari makam ayahandanya, beliau ciumi tanah suci nabi sambil berkata ; “Madza ‘ala man syamma turbata Ahmadin, ala yasyummu madazamani ghowaliya, syubbat alayya masho’ibun laula annaha, syubbat ‘alal ayyami sirna layaliya”. (…kalau saja penderitaanku ditimpakan pada siang, maka ia akan menjadi malam)”
***
Tak ada lagi senyuman yang terpancar dari Fathimah setelah kepergian nabi. Hari demi hari pendertitaan datang silih berganti. Seakan ujian enggan menjauhinnya. Para sahabatpun memiliki andil besar dalam menambah kesedihan untuk putri kesayangan nabi ini. Setelah mereka mengambil hak suaminya, Ali dan tanah fadaqpun dirampasnya sebagai milik negara oleh penguasa. Tidak berhenti sampai di situ penderitaan Fathimah putri nabi semakin menjadi ketika sekumpulan manusia lapar kekuasaan mengepung rumahnya. Rumah tempat turunnnya risalah, rumah yang dindingnya adalah nubuwah dan atapnya adalah arsynya Allah, sekarang sedang dikelilingi oleh orang yang mengaku tonggaknya agama dan kebenaran. Teriakan bengis yang tak patut mereka lontarkan, sampai ancaman pembakaran. Pintu rumah pertemuan antara nubuwah dan imamah didobrak paksa, pintu yang di baliknya terdapat wanita tanpa daya. Di balik pintu itu ada Fathimah. Mereka terus memaksa masuk. Pemandangan apakah yang terjadi setelahnya. Az-Zahra jatuh terhuyung ke tanah rumahnya. Lalu api mereka sulut dan lemparkan. Fathimah terluka, tulang rusuk dan lengannya pun patah. Putra beliau (Muhsin) syahid karena keguguran. Lengkaplah kesedihan putri nabi dengan apa yang diterimanya dari orang yang mengaku para sahabat pembela ayahnya. Hal ini mengingatkan kita akan syair yang layak melekat pada mereka ; “Lau ahabbu abaaki haqqon ahabbuki” - (Kalaulah benar mereka mencintai ayahmu, pasti mereka akan mencintaimu) .”
Hari demi hari dilaluinya dengan penderitaan yang tak kunjung berakhir, badan putri nabi ini semakin teriris pedih dan tubuhnyapun semakin tak berdaya. Ketika kekuatan fisiknya semakin melemah dikarenakan sakit yang dideritannya. Azzahra berupaya memandikan putranya Al-Hasan dan Al-Husain, menggantikan pakaian mereka, kemudian mengirim mereka kepada sepupunya, walaupun demikian ia berupaya menyembunyikan rasa sakitnya di hadapan kedua anakanya.
Kemudian Azzahra memanggil suami tercintanya ke sisinya seraya berkata ; “Ali suamiku yang tercinta, anda sangat mengetahui mengapa saya lakukan semua itu. Maafkan segala kesalahan saya, mereka telah demikian menderita bersama saya selama sakit saya, sehingga saya ingin melihat mereka bahagia pada hari terakhir hidupku. Wahai Ali andapun tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir saya. Saya gembira tetapi juga bersedih. Saya senang bahwa penderitaan saya akan segera berakhir dan saya akan bertemu dengan ayah saya, dan sedih karena harus berpisah denganmu. Mohon wahai Ali catatlah apa yang akan saya katakan dan kerjakanlah apa yang saya inginkan. Sepeninggal saya anda boleh menikahi siapa saja yang anda sukai tetapi hendaklah anda nikahi Yamamah sepupuku, ia mencintai anak-anakku, dan Husain sangat dekat kepadanya. Wahai Ali, kuburkan saya di malam hari dan jangan biarkan orang-orang yang telah sedemikian kejam kepada saya turut menyertai penguburan saya. Jangan biarkan kematian saya mengecilkan hatimu. Anda harus melayani Islam dan kebenaran untuk waktu yang lama. Janganlah penderitaanku memahitkan kehidupanmu. Berjanjilah pada saya wahai Ali”. Dengan berlinang air mata, Ali menjawab ; “Ya wahai istriku tercinta, aku berjanji.”
Fathimah lalu berkata lagi ; “Ali, saya tahu betapa engkau sangat mencintai anak-anak saya. Namun, sangatlah berhati-hati dengan Husain, ia sangat mencintai saya dan ia akan sangat sedih kehilangan saya. Jadilah ibu baginya. Hingga menjelang sakit saya ini, ia biasa tidur ke dada saya, dan sekarang ia kehilangan itu”.
Ali sedang mengelus-elus tangan yang patah itu, tak kuasa menahan airmatanya hingga tetesannya terjatuh ke tangan istrinya. Fathimah mengangkat wajahnya seraya berkata ; “Jangan menangis wahai suamiku, saya tahu dengan wajah lahirmu yang tampak kasar betapa lembut hatimu, engkau telah menderita terlalu banyak dan masih akan menderita lebih banyak lagi.”
Di malam terakhir kehidupunnya didunia yang fana ini, sambil menahan rasa sakit yang menimpanya, Sayyidah Fathimah Azzahra menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa untuk pengikut dan pencinta setia keluarga Nabi. Dengan menyebut ayah, suami, dan putra-putranya beliau memohon kepada Allah Jalla wa ‘Ala’ ; “Wahai Tuhan-ku, sungguh aku memohon kepada-Mu melalui Muhammad al-Musthofa dan kerinduannya kepadaku, melalui suamiku Ali al-murtadho serta dukanya terhadapku, melalui al-Hasan al-Mujtaba dan tangisannya atasku, melalui putraku al-Husain As Syahid dan kedukaannya terhadapku, melalui putri-putriku dan duka mereka semua atasku. Sungguh Engkaulah yang paling pengasih dari segala yang mengasihi. Tuhanku, Penghuluku, aku bermohon kepada-Mu melalui orang orang pilihan-Mu dan tangisan putra-putraku karena berpisah denganku, agar Engkau mengampuni para pendosa dan ahli maksiat dari pengikut keturunanku.”
Madinah, 3 Jumadil Tsani 11 H. Saat saat yang memilukan semakin mendekati keluarga nabi dan pencintanya. Asma’ binti Umais dengan diselimuti kegundahan berada di depan pintu kamar Azzahra. Suara lantunan al-Quran dan doa dalam sholat Fathimah masih mampu didengarnya, akan tetapi tak lama kemudian suara itu lenyap tak terdengar lagi. Asma’ pun memanggil ; “Ya Zahra …..ya Zahra ……. ya Zahra”, tetapi tidak tak ada jawaban. Hingga ia pun memberanikan diri untuk memasuki kamar putri nabi itu, dan didapatinya tubuh suci putri nabi di atas sajadah dalam keadaan sujud tertutupi rida’-nya. Lalu dibukanya rida’ (kain penutup) itu, dan tampak wajah penuh bercahaya memancar dari paras suci Azzahra as. Belum usai tangis Asma’, ia sudah dikejutkan oleh suara salam anak kecil dari balik pintu, yang tak lain adalah suara Al-Hasan dan Al-Husain yang baru usai sholat berjamaah dengan ayahnya.
Segera mereka bertanya tentang keberadaan ibu mereka. Asma’ mengatakan bahwa ibunda mereka sedang tertidur, lalu menyuruh putra Zahra ini untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan. Tetapi apa jawab Al-Husain ; “Saat ini adalah saat ibu kami beribadah dan kami tidak pernah menikmati hidangan tanpa ibu di samping kami”. Asma tak mampu menyembunyikan tangisnya, Al-Husain segera berlari menuju ke kamar ibundanya, ia mendapati ibunya sudah tak bernyawa. Sambil berteriak dan menangis, Al-Husain menciumi kaki ibunya, Al-Hasan meletakkan pipinya di wajah ibunya ; “Ya ummah kallimini… ..ummah kallimini ….. ana ‘azizuki al-Husain (wahai ibu, bicaralah kepadaku…bicaralah kepadaku…aku putera kesayanganmu al-Husain).”
Ali pun jatuh tersungkur tak sadarkan diri di perkarangan masjid Madinah, ketika mendengar kepergian Fathimah. Kaki yang tegap ketika di Badar, tubuh yang kekar ketika di Khaibar, akhirnya tak kuasa menahan derita perpisahan dengan semerbak wewangian surga Fathimah al-Kautsar. Beliau berkata ; “Aro ‘ilaluddunya alayya katsirotan wa shohibuha ba’dal mamati ‘alilun”. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Fathimah hanya meminta Ali menyolatkan dan menguburkannya, dikarenakan beliau telah membersihkan dirinya dan telah menyuruh Asma’ mengkafaninya, dikarenakan kasih sayang Fathimah kepada Ali suaminya, agar beliau tak melihat bekas luka dirusuknya yang patah. Beliau khawatir Ali semakin bertambah kesedihannya.
Malam pun tiba, sekelompok kecil orang yang diizinkan Fathimah berjalan mengusung jenazah putri nabi. Alipun meminta Abu Dzar untuk mengusungnya karena beliau tak mampu berjalan dengan keranda Sayyidatun Nisa’ di pundaknya. Usai pemakaman Ali meminta Abu Dzar membawa pulang kedua putranya dan meninggalkan dirinya sendiri di pusara istrinya. Ketika tak seorangpun berada di kubur Fathimah, Ali menghadap ke kubur Rasulullah seraya berkata ; “Assalamu ‘alaika ya Rasulullah. Salam atasmu wahai Nabi Allah, aku dan putrimu sekarang berada di pekaranganmu. Tak lama lagi putrimu akan bertemu denganmu, wahai junjunganku. Sahabatmu yang tulus ini masih mampu bersabar berpisah dengannya, namun yang membuat aku lemah kelak putrimu akan memberitahukan kepadamu tentang penyelewengan umatmu dan tindakan mereka yang menyakiti putrimu. Tak lama lagi ia akan menemuimu untuk menceritakannya kepadamu. Salam sejahtera dariku, seorang yang amat mencintaimu”. ***(Oleh : Ust. Fuad al Hadi / majelisrasulullah@yahoogroups.com)

KH Bisri Syansuri : Pribumisasi Islam

 
HAJI Oemar Sahid Tjokroaminoto mempunyai dua orang sepupu, yaitu KH Hasyim Asy’ari dan KH A Wahab Chasbullah. Di samping itu, ia juga mempunyai menantu bernama Soekamo, di belakang hari terkenal dengan panggilan Bung Kamo. Sejak 1919 mereka bertiga dan Soekarno mendialogkan semangat kebangsaan dan agama Islam. Mereka membentuk klub diskusi pada 1919 yang dinamai Taswirul Afkar (Konseptualisasi Pemilkiran).
Langkah tersebut merupakan kelanjutan dari tindakan lain, yaitu mendirikan Syarikat Islam Cabang Mekkah pada 1913. KH M Bisri Syansuri, ipar KH A Wahab Cbasbullah, tidak mau turut serta dalam memimpin SI Cabang Mekkah itu. la menyatakan bahwa ia sedang mengajukan permintaan izin tertulis dari gurunya KH M Hasyim Asy’ari di Tebuireng (Kabupaten Jombang).
Perang Dunia Pertama pada 1914 membuat mereka segera pulang ke Tanah Air. Perkecualian dalam hal ini adalah KH A Wahab Chasbulah yang tinggal di Mekkah hingga 1917. Sementara itu, sang ipar, yakni KH M Bisri Syansuri, sudah diberi tanah oleh mertuanya di Denanyar Jombang untuk membuat pesantren dan tinggal di kompleks itu.
la dan sang ipar KH A Wahab Chasbullah aktif mengikuti pengajian-pengajian yang didatangi KH Abdul Mu’ti, tokoh Muhammadiyah yang belakangan menjadi sesepuh GPIl (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) di kawasan Menteng, Jakarta. Kalau orang ingin tetap kering dan tidak basah, padahal ia sering mengikuti orang yang kerjanya sehari-hari membawa orang lain ke kamar mandi, ia juga akan basah.
Dari ucapan itu jelas bahwa “menjadi basah” adalah keadaan sehari-hari seseorang yang mengikutinya. Nah, orang yang tidak rasional mengharapkan keadaan kering dari orang lain yang hidupnya memang di tempat basah. Penggunaan perumpamaan seperti inlah yang sering digunakan para ulama, kiai di lingkungan pondok pesantren.
Tindakan tiga orang bersaudara sepupu itu kemudian diteruskan tiga orang kemenakan mereka, yakni KH A Wahid Hasyim, KH A Kabar Muzakir (di belakang bari menjadi ketua PP Muhammadiyah), dan H Ahmad Djojosugito (pendiri Gerakan Ahmadiyah). Ketiga orang ini meneruskan upaya orangtua mereka itu dengan melanjutkan diskusi bulanan tentang agama Islam dan semangat kebangsaan. Pada 1926 Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya, juga merupakan upaya saling mendekatkan tokoh-tokoh pondok pesantren itu. Tak mengherankan jika NU Ialu benar-benar mengenal nasionalisme dalam segala aspeknya melalui diskusi-diskusi yang tidak pemah berhenti. Ini dilakukannya seperti ajaran Islam yang dikenal melalui pondok pesantren. Inilah yang membedakannya dari lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.
Ketika Soekarno belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (sekarang dikenal dengan nama ITB/Institut Teknologi Bandung), ia kemudian menetap di sana dan menikahi Inggit Ganarsih yang ditinggalkannya di Jawa Timur. Namun, kondisi itu tidak menghentikan diskusi bulanan mereka dan tetap mendialogkan hubungan antara Islam dengan nasionalisme.
Kerja ini menunjukkan basil ketika pada 1935 NU menyelenggarakan Muktamar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dalam forum itu dibahas wajib atau tidak ada negara Islam di negeri ini. Jawabnya, tidak wajib. Ia tidak sekadar berbicara semau mereka, tetapi didasarkan pada nalar yang sehat dan sumber tertulis yang benar untuk itu, yaitu Bugyah al- Mustarsyidin.
Jalan pikiran forum itu adalah sebagai berikut. Jika koionialis Belanda membiarkan kaum muslim di Indonesia melaksanakan ajaran Islam/syariah secara utuh tanpa ada larangan, ditakutkan kolonialis lain tidak akan seperti itu sikapnya. Yang terpenting bagi kita adalah kenyataan bahwa nasionalisme dalam hal ini menjadi bagian kehidupan kawan beragama Islam (kaum santri) dengan segala dialognya dengan kaum nasionalis. Dengan keputusan muktamar tersebut, jalan dipermudah untuk menerima perumusan Pancasila oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945, disusul Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 seperti juga halnya penerimaan rumusan adil dan makmur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Hal itu disusul dengan berbagai upaya berlainan untuk merumuskan semangat kebangsaan kita sebagai bangsa dan negara hingga saat ini dan di kemudian hari. Penulis artikel ini merasa bahwa mereka yang sektarian juga akan merumuskan apa yang mereka namakan semangat kebangsaan itu karena memang UUD 1945 memerintahkannya.
Hal seperti itu akan berlangsung dan ujungnya pada tumbuhnya semangat kebangsaan yang satu. Sebab, awal lahirnya rumusan semangat kebangsaan kita sekarang ini juga dari yang kelompok keeil, yaitu dari “kesadaran” sebuah keluarga, akhirnya menjadi kesadaran sebuah bangsa dan negara.
Namun, hal itu tidak usah membuat kita heran karena memang demikian perkembangan sejarah selamanya. Ini juga dialami imperium Romawi dengan kisah Julius Caesar yang ditikam Brutus, semuanya wajar saja, bukan? . (**)
Penulis : KH Abdurrahman Wahid. Pengasuh Ponpes Almunawaroh, Ciganjur, Jakarta. – http://www.gusdur.net

Jejak : Masjid Para Tumenggung Mataram

 
Untuk mencapai Pantai Marunda, Jakarta Utara, kita harus mau sedikit bersusah payah. Jalan paling dekat dapat ditempuh melalui Cilincing dengan kendaraan umum, untuk kemudian naik ojek ke Kawasan Berikat Nasional (KBN) Marunda. Dari sini kita masih harus naik perahu sekitar lima menit. Dan, sampailah kita di Masjid Marunda, yang diberi nama Al-Alam, terletak tidak jauh dari Pantai Marunda.
Masjid Marunda, yang dulunya hanyalah sebuah surau masih terlihat jelas kekunoannya sekalipun telah beberapa kali mengalami pemugaran. Menurut Dinas Sejarah dan Pemugaran DKI Jakarta, masjid di tepi pantai Marunda ini memiliki sejarah panjang. Mengutip keterangan masyarakat setempat, masjid ini dibangun oleh Falatehan, saat hendak menghalau Portugis dari Sunda Kelapa. Dari tempat inilah, panglima dan ulama dari Demak itu mengonsentrasikan pasukannya terlebih dulu sebelum menaklukkan Portugis pada 22 Juni 1527, yang kemudian dijadikan sebagai kelahiran kota Jakarta.
Tepat satu abad kemudian, Masjid Marunda kembali menjadi markas perjuangan melawan penjajahan, ketika Sultan Agung dari Kerajaan Mataram melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia, pada 1628 dan 1629. Lepas dari kegagalan segi militer untuk merebut kembali Batavia dari penjajah Belanda, tapi proses Islamisasi di kota ini telah mendapatkan mementum baru. Karena ternyata, para tumenggung dari Kerajaan Mataram di samping prajurit-prajurit yang gagah, juga juru dakwah yang andal. Mereka inilah yang membangun surau-surau di Jakarta, yang kelak di awal abad ke-18 menjadi masjid-masjid.
Ketika prajurit-prajurit Mataram itu mendarat di pantai Marunda di Cilincing ini, mereka bersembunyi dan juga memugar Masjid Marunda. Sambil mengatur siasat perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian, kembali masjid ini telah memainkan peranan penting sebagai tempat penggemblengan mental para gerilyawan Mataram, di samping tentunya sebagai tempat ibadah.
Melihat sejarahnya itu, tidak heran kalau pada masa revolusi fisik tahun 1945, dari Masjid Marunda dikumandangkan semangat //jihad fi sabilillah// oleh para ulama dan pejuang. Sehingga daerah Marunda sangat dibanggakan dalam perjuangan RI mempertahankan kemerdekaan, karena menjadi ajang pertempuran antara para pejuang dengan tentara NICA.
Mengingat semangat masyarakatnya yang demikian gigih, tentara Belanda yang kalap kemudian membakar habis daerah Marunda, menyebabkan banyak korban jiwa. Namun Masjid Marunda masih tetap menjalankan fungsinya sebagai ‘baitullah’.
Para balatentara Mataram sekalipun gagal merebut Jakarta, tapi banyak yang tetap tinggal di Jakarta dan mereka menyebar di berbagai tempat. Rupanya, semangat keagamaan para tumenggung dari Kerajaan Islam Mataram ini tidak pernah surut. Setelah gagal mengusir VOC atau Kompeni secara fisik dan kekerasan, mereka pun melakukan cara-cara lain.
Dengan cara mendirikan masjid-masjid, yang sekaligus dijadikan sebagai tempat pembinaan mental agama, dan mengobarkan semangat menentang penjajahan. Di antara masjid yang dibangun para tumenggung dari Mataram ini, di samping Masjid Marunda, juga Masjid Al-Mansyur di Kampung Sawah, Kelurahan Tambora, Jakarta Barat dan Masjid Al Makmur di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tentu masih ada sejumlah masjid lagi yang dibangun oleh para tumenggung dan para keturunannya.
Masjid Al-Mansyur sendiri dibangun oleh keturunan Pangeran Tjakrajaya dari Mataram pada 1717. Masjid ini, pernah diperbaiki kembali karena arah kiblatnya yang tidak benar. Imam Moh Arsyad, seorang tokoh ulama dari Banjarmasin (pengarang kitab terkenal Sabilal Muhtadin) dengan permufakatan bersama para ulama ketika itu, memperbaiki letak kiblat tersebut.
Akhirnya, oleh KH Moh Mansyur, yang masih keturunan bangsawan dari Mataram, masjid ini diperluas pada 25 Sya’ban 1356 Hijriah (1957). Nama Mansyur hingga sekarang diabadikan untuk nama masjid tersebut. Seperti juga pendahulu-pendahulunya, oleh Mansyur, ulama yang sangat dikenal luas di Betawi, masjid ini sekaligus dijadikan pula sebagai tempat penggemblengan para jamaah tentang cinta Tanah Air dan kewajiban untuk membelanya.
Tanpa merasa takut terhadap ancaman Belanda, pada masa revolusi fisik di masjid ini dipancangkan Sang Saka Merah Putih. Tidak heran, kalau masjid ini pada 1947-1948 pernah ditembaki dan digrebek oleh tentara NICA. KH Moh Mansyur sendiri digiring ke markas polisi Belanda, yang kala itu terletak di Gambir, depan Museum Nasional.
Saat diinterogasi oleh serdadu-serdadu Belanda, kiai patriotik yang wafat 1967 itu dengan tegas mengatakan: ‘Setiap bangsa punya bendera sendiri, seperti juga bangsa Belanda.’
Masjid lainnya yang dibangun para temanggung Mataram, adalah Masjid Al-Makmur, yang letaknya sekitar 100 meter dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Masjid, yang sampai tahun 1950-an merupakan salah satu masjid terbesar di Jakarta, awalnya hanyalah sebuah surau sangat sederhana. Seperti juga masjid-masjid tua di Jakarta, dahulunya rata-rata berukuran 12×10 meter persegi, dengan empat buah tiang panjang sebagai penyanggahnya.
Masjid ini dibangun oleh kedua putra Raden Busyo, yang dikenal dengan nama KH Muhammad Asyuro, seorang bangsawan Mataram. Kedua putranya itu adalah KH Abdul Somad Asyuro dan KH Abdul Murad Asyuro.
Kakak beradik ini, yang merupakan juru dakwah andal pada awal-awal Kerajaan Mataram, membangun surau itu pada 1527 M atau 920 Hijriah, saat berkembangnya Islam di Jakarta. Bersamaan dengan bergabungnya tentara Islam dari Demak dan Banten dipimpin oleh Falatehan.
Dalam perkembangannya, masjid ini diperluas pada 1910, setelah pengurusnya menerima hibah tanah wakaf dari dua orang dermawan keturunan Arab. Setelah perluasan, ukuran masjid ini menjadi 44×22 meter persegi.
Ridwan Saidi, dalam bukunya Betawi dalam Perspektif Kontemporer menulis, bahwa pada akhir abad ke-18, para perantau dari Hadramaut (Yaman), memberikan darah segar bagi perkembangan dakwah Islam di Jakarta. Sedangkan menurut CC Berg, orang-orang Arab ini mula-mula datang berniaga. Tetapi, akhirnya terlibat dalam dakwah.
Di antara mereka yang terkenal adalah Sayid Husein bin Abubakar Alaydrus –pendiri Masjid Luar Batang, Pasar Ikan, Jakarta Utara. Dia dimakamkan di masjid yang dibangunnya itu sekitar 300 tahun lalu, dan makamnya hingga kini banyak diziarahi orang.
Sekitar dua km dari Pasar Ikan, yakni di Jl Lodan, Kampung Bandan, Jakarta Utara, terdapat sebuah masjid yang juga dibangun oleh seorang sayid. Masjid Kampung Bandan ini dibangun oleh Sayid Muhammad bin Umar Alqudsi (1705). Sedangkan Masjid Mangga Dua di Jalan Pangeran Jayakarta dibangun oleh Sayid Jamalullail pada 1756.
Masih sederetan lagi masjid tua di Jakarta. Seperti Masjid Langgar Tinggi dan Masjid Kampung Baru, keduanya di Pekojan, Jakarta Barat yang dibangun oleh para imigran dari India hampir pada waktu bersamaan. Atau Masjid Kebon Jeruk, di Jalan Hayam Wuruk Jakarta Barat yang dibangun oleh seorang imigran Cina, pada pertengahan abad ke-18.
Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta, telah menjadikan masjid-masjid tua itu sebagai cagar budaya yang dilindungi keberadaannya agar terpelihara kelestariannya. *** (Republika Newsroom).

Fragmen : Ketika Kiai Sepuh Nyantri

 
Mengembara untuk mencari ilmu merupakan tradisi pesantren yang disebut dengan santri kelana, yang menyusuri dari pesantren ke pesantren untuk mendalami pengetahuan. Ternyata tradisi itu tidak hanya berlaku di lingkungan santri. Para kiai sepuh juga melakukan hal demikian, seperti Kiai Cholil Bangkalan, Kiai Dahlan Jampes, termasuk kiai Chozin dari Sidoarjo Jawa Timur.
Kiai Chozin pemimpin pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, tempat bergurunya para ulama, termasuk kaia hasyim Asy’ari pernah nyantri di sana di bawah bimbingan Kiaia Chozin. Setelah itu Kiai Hasyim belajar ke Mekah selama beberapa tahun, belajar pada ulama terkemuka di Haramain. Selama di Mekah Kiai Hasyim menjalin hubungan dengan para ulama dan santri seluruh dunia dan ulama Nusantara khususnya. Karena itu sepulang dari Mekah Kiai Hasyim tetap menjadi pimpinan dan selalu menjadi rujukan  para ulama Nusantara karena kealiman dan kharismanya.
Apalagi setelah mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama tahun 1926 popularitas Kiai ini semakin membesar, tidak hanya luasnya pengaruh, tetapi kedalaman keilmuannya. Mendengar kemasyhuran Kiai Hasyim itu tampaknya gurunya yaitu Kiai Chozin penasaran ingin memperoleh pengetahuan dari bekas santrinya itu, sehingga pada suatu bulan Romadlon tahun 1933. Kiai sepuh itu berangkat ke Pesantren Tebuireng untuk mengaji di sana.
Tentu saja kiai Hasyim Asy’ari merasa tidak enak, kiai sepuh dan guru yang sangat dihormati itu mengikuti pengajiannya, sehingga memintanya sang kiai tidak ikut penajian karena beliau adalah gurunya yang lebih alim. Sementara pengajian hanya untuk para santri. Tetapi dengan tenang Kia Chozin menjawab, “Memang dulu saya guru sampeyan, tetapi sekarang sampeyan yang menjadi guru saya.” Mendengar jawaban itu kiai Hasyim tidak berkutik karena ini menyangkut sabda sang guru yang harus ditaati.
Kiai Chozin kemudian ditempatkan di kamar tersendiri, tidak bersama dengan santri lainnya. Tetapi hal itu menjadikan Kiai Chozin kurang senang dan minta ditempatkan dalam kamar bersama santri lainnya. Rupanaya kiai Hasyim tidak kehabisan akal untuk menghormati gurunya. “Begini kiai, sampeyan telah menjadi santri saya maka sampeyan harus taat pada sang guru.”
Kemudian kiai Hasyim membuat beberapa peraturan khusus untuk santri sepuh ini, pertama, Kiai Chozin wajib menempati kamar yang telah disediakan, kedua, tidak diperkenankan mencuci pakain sendiri, ketiga, apabila memerlukan sesuatu harus meminta bantuan langsung kepada Kiai Hasyim, tidak perlu lewat santri. Sebagai santri dan sekaligus tamu, maka Kiai Chozin akhirnya mengikuti aturan yang dibuat oleh Kiai Hasyim. Karena Kiai ini melihat ini sebagai bentuk penghormatan Kiai Hasyim kepada Sang Kiai.
Selama menjadi santri itu Kiai Chozin memperoleh bukti tentang keluasan dan kedalaman kiai bekas santrinya itu, maka ia memberikan dukungan sepenuhnya terhadap gerakan yang dilakukan, baik dalam keagamaan maupun gerakan politik melawan penjajahan. Karena itu selain para alumni Siwalan Panji diserukan masuk NU. Demikian juga ketika seruan jihad dikumandangkan pada 22 Oktober 1945, santri di sekitar Surabaya dan Sidoarjo sangat aktif dalam perjuangan itu. (02/01/2010;mdz).
Disadur dari Buku Biografi Muhammad Ilyas, 2009

Wacana : Sayidah Fathimah, Wasilah Dzuriyah Nabi

Banyak p ertanyaan kenapa keturunan Nabi SAW dari Sayidah Fathimah tidak diturunkan dari anak lelaki Nabi SAW.  Padahal nasab dihubungkan pada laki-laki. Apa dasarnya?. Pertama, Untuk menjawab jahiliatul arab ; ‘alladzi yatasaabun biauladiha’, mereka yang fanatik sekali terhadap anak lelakinya.
Untuk menjawab ini Rasulullah  SAW bersabda ; kulu bani anbiya yantami ila abihi, setiap keturunan nabi terhubung melalui ayahnya. Karena para nabi terdahulu tidak mengalami sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah SAW. Maka dijadikan keturunan mereka dari lelaki. Dimana hidupnya Nabiyullah Zakaria, Nabiyullah Yahya, Nabiyullah Musa dan lain sebagainya, mereka tidak taasub, fanatik terhadap anak lelakinya.
Tapi berbeda dengan masyarakat Arab saat itu. Sehingga nilai seorang wanita sangat terpojok sekali. Ini dijawab oleh Allah, karena munculnya pendapat-pendapat orang  mengatakan :  “bahwa sayidah Fathimah adalah perempuan, tidak mungkin keturunan Rasulullah SAW dari perempuan, berarti kan putus. Rasulullah SAW dianggap abtar”.  Dijawab oleh Allah Taala apa?  ‘Inna ‘Athoinaka al Kautsar, fasholli lirabbika wanhar inna Syani’aka huwa al abtar’. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (QS: AL Kautsar:1-3).
Kalimah “huwa al Abtar”,  dialah yang terputus (keturunannya), kepada siapa ? , Kaum jahiliyah yang menyerang dan menuduh Rasulullah : bahwa ‘Rasulullah tidak punya keturunan lelaki’. Jadi huwa, ‘dia’ (dialah yang terputus) dalam ayat terakhir itu kembali pada yang mengejek Rasulullah SAW.
Darisinilah Sayidah Fathimah’ melahirkan Al Hasan dan Al Husain. Dari asbat, keturunan inilah melahirkan tokoh-tokoh a’imah, para imam besar. Termasuk Imamuna Syafi’i sendiri diturunkan daripada ibu katurunan Sayidah Fathimah. Karena ibunya Imam Syafi’i adalah Hababah Fathimah binti Abdullah al Mahith Fathimah bin Hasan al Mutsana bin Hasan As sibthi bin Ali bin Abi Thalib.
Jadi Imam Syafi’i sendiri walaupun dari pihak perempuan masih ada tetesan darah  dari Musthofa Saw. Sampai Rasulullah SAW sendiri mengatakan : “Khairul qurun qorni… sampai hadis Wakhtarallahu min bani Adam Fulan …al Fulan, min bani Hasyim… sebelum Bani Hasyim Wakhtara al Quraisy”. Dari keturunan Adam Allah memilih Quraisy. Keturunan Quraisy siapa? Imam empat tidak terlepas al Quraisy, Khulafaur Rasyidin tidak terlepas dari al Quraisyi.
Banyak yang bertemu di Ka’ab. Rasulullah bin Abdullah bin Abdu Muthalib bin  Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushoy bin Kilab bin Ka’ab. Nah, dari sini ada yang ketemu di Luay ada yang bertemu di Abdi Manaf. Jadi Khulafaur Rasyidin termasuk dalam sabda Nabi ; Wahktara min Quraiysy, Waktara al Hasyimi.
Dari Quraisy dipilih lagi menjadi al Hasyimi dari al Hasyimi di pilih lagi Bani Muthalibi, sampai Bani Fathimah binti Rasulullah. “Jaalallahu Ahli Baiti min Fathimah wa Ali wa Ana ashobihima wa waliyuhumma”, Ya Allah jadikan ahli baitku dari Fathimah dan Ali, dan  Aku adalah kelompok  mereka dan pelindung mereka, Itu sabda Nabi.
Kedua, untuk menyatakan keturunan dari anak perempuan bisa lahir orang-orang yang hebat seperti al Hasan dan Husain. Ketiga, kalau siti Maryam sebagai wanita yang paling utama pada zamannya bisa melahirkan orang hebat: Isa bin Maryam, maka Sayidah Fathimah sebagai wanita yang paling utama fi jamanih, pada jamannya bisa melahirkan keturunan yang hebat pula : al Hasan dan Husain. Wallahu A’lam. (http://www.habibluthfiyahya.net)

Catatan : Ulama-ulama Indonesia Di Haromain, Embrio NU di Indonesia

 
 
Banyak diantara kita yang kepaten obor (Pareumeun obor), kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda. Hal itupun tidak bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlitul Ulama itu.
Karena pengertian-pengertian mulai dari sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan NU, bagaimana asal usul atau awal mulanya Mbah Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlus sunah wal jamaah harus diberi wadah di Indonesia ini.
Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunah bukan semata-mata KH Hasyim Asy’ari ingin ber-inovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlus Sunah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlu Sunah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H.
Pada kurun itu ulama Indonesia sangat mewarnai, dan perannya dalam menyemarakan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram tidak kecil. Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat terkenal, tidak satupun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ilmi Syari’ah, fi thoriqoh wa fi ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf. Dintaranya dari Sambas, Ahmad bin Abdu Somad Sambas. Murid-murid  beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kyai Tholhah Gunung jati Cirebon.
Kiai Tholhah ini adalah kakek dari Kiai Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiai Syarifudin bin Kiai Zaenal Abidin Bin Kiai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur panjang, usianya seratus tahun lebih. Adik seperguruan beliau diantaranya Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiai kholil lahir pada tahun 1227 H. Dan diantaranya murid-murid Syeh Ahmad sambas yaitu Syekh Abdul Qodir Al Bantan, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber Kiai Asnawi Banten. Ulama lain yang sangat terkenal sebagai ulama ternama di Masjidil Harom adalah  Kiai Nawawi al Bantani.
Beliau lahir pada tahun 1230 H dan meninggal pada tahun 1310 H, bertepatan dengan meninggalnya mufti besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah di Masjidil Harom adalah Sayid Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi, beliau diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125. Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Sayidi Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi.
Syekh Abdul Qadir Al Bantani murid lain Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas, yang mempunyai murid Kiai Abdul Latif Cibeber dan Kiai Asnawi Banten. Adapun ulama-alama yang lain yang ilmunya luar biasa adalah Sayidi Syekh Ubaidillah Surabaya, beliau melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiai Ubaidah Giren Tegal, terkenal sebagai Imam Asy’ari-nya Indonesia.
Dan melahirkan seorang ulama, auliya besar, Sayidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayidi Syekh Muhamad Abdul Malik. Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim di Haromain yang mengajak adalah Kiai Ubaidah tersebut, di Jabal Abil Gubai, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantaranya murid muridnya lagi di Mekah Sayidi Syekh Abdullah Tegal. Lalu Sayidi Syekh Abdullah Wahab Rohan Medan, Sayid Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi syekh Muhmmad Ilyas Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdu Somad al Bimawi, dan Sayidi Syekh Abdullah dan Sayidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas sebelum Kiai Mahfudz dan sebelum Kiai Dimyati.
Dijaman Sayidi Syekh Ahmad Khatib Sambas ataupun Sayidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen. Inilah ulama-ulama indonesia diantara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin jogja, Kyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh pada waktu itu yang di Haromain. Seharusnya kita bangga dari warga keturunan banagsa kita cukup mewarnai di Haromain, beliau-beliau memegang peranan yang luar biasa. Salah satunya guru saya sendiri Sayyidi Syekh Abdul Malik yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar di Masjidil Haram khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun.
Beliau adalah  muridnya Syekh Mahfudz Al Turmidzi. Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU, kalau dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya saja, jadi kita harus tahu darimana saja ajaran Ahli Sunah Wal Jamaah yang diambil oleh Syekh Hasyim Asy’ari.
Bukan sembarang orang tapi yang benar-benar orang-orang tabahur ilmunya, dan mempunyai maqomah, kedudukan yang luar biasa. Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlu Sunah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husen berkuasa di Hijaz), khsusunya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah. Kemudian hal  itu di pikirkan oleh kiai Hasyim Asy’ari disamping mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali.
Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi nara sumber-sumbernya, beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah. Akhirnya  di istiharohi oleh para ulama-ulama Haromain, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini mengiakan jalan terus kalau tidak, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah kholil Bangkalan.
Oleh sebab itu tidak heran jika Mukatamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M. Untuk menghormati  Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Tidak heran karena sudah dari sananya, kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang soleh, Kiai Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiai Irfan, Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi. Kiai Irfan bertanya pada saya “kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi; “ini cucunya Habib Hasyim Yai”.
Akhirnya saya di beri wasiat, katanya; ‘mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kiai Yasin, Kiai Sanusi ikut serta pada waktu  itu. Disitu diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan, lalu bersama Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk,  Habib Hasyim langsung berkata, ‘Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah  Ahlu Sunah Wal Jamaah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis’.
Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemudian Mbah Kyai kholi bilang sama Kyai Hasyim Asyari laksanakan apa niatmu saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.’ Kata Kiai Hasyim Asy’ari ini bagaimana kyai, kok tidak mau ditulis semua. Terus mbah Kiai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Itu tawadluknya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur.
Inilah sedikit perjalanan Nahdlotul Ulama. Inilah perjuangan pendiri Nahdlotul ulama. Para pendirinya merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal  yang demikian itu tolong ditulis, biar anak-anak kita itu tidak terpengaruh oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu? Apa sih Ahlu Sunah itu? La ini permasalahan kita. Upaya pengenalan itu yang paling mudah dilakukan dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya foto Hadrotu Syekh Kiai Hasyim Asy’ari. (Disampaikan pada Harlah NU di Kota Pekalongan. Hly.net/ Nzr/Tsi/update-inkanzus)

Wacana : Ibnu Shuja, Ahli Hitung Terkemuka dari Mesir

 
Ibnu suja - Iqbal1 
“Ahli hitung dari Mesir”, begitulah masyarakat Mesir di era keemasan Islam menjuluki Ibnu Shuja. Ahli matematika Muslim pada abad ke-10 M itu begitu populer. Ia sangat berjasa dalam mengembangkan matematika. Buah pikirnya dalam ilmu hitung sangat berpengaruh baik di dunia Islam maupun Barat.
Ilmuwan Muslim terkemuka dari negeri piramida itu bergelar al-Hasib al-Misri. Nama lengkapnya adalah Abu Kamil Shuja Ibnu Aslam Ibnu Muhammad Ibnu Shuja. Meski pengaruhnya dalam bidang matematika sungguh sangat besar, sosok Ibnu Shuja tak sepopuler ahli matematika Muslim lainnya. Tak banyak sejarawan yang mengisahkan perjalanan hidup sang ilmuwan. Para sejarawan hanya memperkirakan, Ibnu Shuja lahir sekitar 850 M dan wafat sekitar 930 M. Ia merupakan penduduk asli Mesir. Ia dikenal sebagai penerus al-Khawarizmi (780-850 M). Ibnu Shuja hidup sebelum era Ali bin Ahmad Imrani (955-956 M).
Sebagai penerus al-Khawarizmi, Ibnu Shuja adalah matematikus Muslim yang berupaya menyempurnakan Aljabar karya al-Khawarizmi. Ia juga mempelajari karya al-Khawarizmi lain tentang matematika, seperti determinasi dan konstruksi, persamaan akar kuadrat, perkalian dan pembagian jumlah aljabar, penambahan dan pengurangan akar-akar. “Ibnu Shuja merupakan orang pertama yang menyelesaikan angka irasional sebagai objek aljabar,” papar Sejarawan Matematika, JJ O’Connor dan Edmud F Robertson, dalam karyanya bertajuk “Arabic Mathematics : Forgotten Brilliance?”.
Jacques Sesiano dalam karyanya Islamic Mathematics, menyebut Ibnu Shuja sebagai orang pertama yang menerima angka irasional (seringkali dalam bentuk akar kuadrat, akar pangkat tiga atau akar pangkat empat) sebagai solusi untuk persamaan kuadrat atau sebagai koefisien dalam equation. “Ia juga orang yang pertama memecahkan persamaan tiga non-linear bersamaan dengan tiga variabel yang tidak diketahui,” imbuh J Lennart Berggren, dalam karyanya Mathematics in Medieval Islam”.
Ibnu Shuja juga dikenal sebagai ahli aljabar tertua setelah pendahulunya al-Khawarizmi. “Meskipun kami tidak tahu kehidupan Ibnu Shuja, tapi kami memahami sesuatu tentang peranan Ibnu Shuja l dalam pengembangan aljabar,” imbu J J O’Connor dan Robertson.
O’Connor dan Robertson menambahkan, sebelum al-Khawarizmi, para sejarawan matematika tak memiliki informasi tentang proses perkembangan aljabar di Semenanjung Arab.
Peran Ibnu Shuja dinilai penting sebagai salah seorang penenus al-Khawarizmi. Bahkan Ibnu Shuja menekankan bahawa al-Khawarizmi-lah “penemu dari aljabar”. Ibnu Shuja sangat yakin bahwa aljabar merupakan buah pemikiran yang dilahirkan al-Khawarizmi. Keyakinannya itu dituliskan Ibnu Shuja dalam kitabnya yang membahas tentang ”Bapak Aljabar” itu.
Berikut pernyataan Ibnu Shuja tentang sosok al-Khwarizmi, “…seseorang yang pertama kalinya berhasil menulis Kitab Aljabar yang memelopori dan menemukan semua prinsip-prinsip di dalamnya.” Ia menambahkan, “Saya telah membuat, dalam kedua buku, bukti kewenangan al-Khawarizmi dalam aljabar”.
Sebagai seorang ilmuwan terkemuka, Ibnu Shuja telah melahirkan sederet karya dalam bidang matematika dan aljabar. Maka tidaklah salah, jika para sejarawan matematika memasukan sosok Ibnu Shuja sebagai salah seorang ahli matematika terbesar pada abad pertengahan Islam. Pemikirannya mampu mempengaruhi sederet ilmuwan terkemuka baik dari dunia Islam maupun barat, seperti ; Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu al-Husayn al-Karaji (953 – 1029 M) serta ilmuwan Kristiani dari Barat, Leonardo da Pisa atau akrab disapa Fibonacci, (1170 -124 M). Melalui Fibonancci serta pengikut-pengikutnya yang lain, Ibnu Shuja telah memberikan pengaruh besar pada perkembangan aljabar di Eropa. Tulisan-tulisannnya tentang geometri pun memberikan pengaruh dan konstribusi yang besar terhadap geometri Barat, terutama uraian-uraian aljabar terhadap soal-saol geometrik.
Kontribusi Sang Ilmuwan Sepanjang hidupnya, Ibnu Shuja telah menghasilkan begitu banyak karya. Bahkan, dalam salah satu karya kompilasi Ibnu an-Nadim yang diterbitkan sekitar 988 M bertajuk al-Fihrist atau (Indeks), yakni sebuah daftar buku-buku tentang matematika dan astrologi, nama Ibnu Shuja pun tercatat.
Al-Fihrist memberikan laporan lengkap tentang literatur Arab yang tersedia pada abad ke-10 M dan menjelaskan dengan ringkas beberapa pengarang dalam literatur ini. Dalam al-Fihrist disebutkan sejumlah karya Ibnu Shuja, seperti ; Book of Fortune, Book of the Key to Fortune, Book on Algebra, Book on Surveying and Geometry, Book of the Adequate, Book on Omens, Book of the Kernel, Book of the Two Errors, dan Book on Augmentation and Diminution.
Di antara sekian banyak karya Ibnu Shuja, yang hingga kini masih bertahan dan sering dibahas antara lain ; Book on Algebra, Book of Rare Things in the Art of Calculation, dan Book on Surveying and Geometry.
Karya Ibnu Shuja kerap dibahas dan diperbincangkan para ahli matematika, sejak F Woopeke mencoba memperkenalkan Kitab fi al-Jam wa at-Tafrik, karya Ibnu Shuja pada 1863 M. Ia menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin dengan judul Augmentum et Diminuti yang terdapat dalam buku Liber Augmenti Diminutionis dan Histoire des Sciences Mathematiques et Italie. Karya-karya Ibnu Shuja yang tercatat dalam al-Fihrist Hampir diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Kitab at-Ta’arif, misalnya, telah diterjemahkan dan dikomentari oleh H Suter ke dalam buku berjudul “Das Buch der Sletenheiten der Rechenkunst von Abu Kamil Al-Misri”. Buku tersebut menawarkan penyelesaian-penyelesaian integral terhadap persamaan-persamaan tak tentu. At-Ta’arif juga mempunyai versi bahasa Yahudi yang alih bahasakan oleh Mordekhai Finzi dari Montua pada 1460 M. Fizi juga menerjemahkan beberapa risalah Ibnu Shuja tentang aljabar. Kitab at-Ta’arif Al-Hisab karya Ibnu Shuja masih tersimpan di Leiden, Belanda, meski tak lagi lengkap. Banyak terjemahan lengkap dalam bahasa Latin tentang risalah ini di Paris.
Selain itu, ada pula karya Ibnu Shuja yang diterjemahkan oleh G Sachendote, meski bukan berasal dari buku aslinya yang berbahasa Arab, melainkan lewat bahasa Spanyol. Kitab al-Jabr (Book on Algebra) yang ditulis sang matematikus tersedia dalam berbagai manuskrip seperti di Istanbul dan Berlin, dan juga dalam aneka bahasa dan terjemahan lain seperti bahasa Ibrani, Jerman, dan Inggris.
Dalam risalahnya tentang al-Jabar, Ibnu Shuja menekuni suatu bab mengenai al-Jabar dengan membentuk analisis dan menyusun beberapa metode yang menakjubkan. Ia juga menjabarkan mengenai analisis inderteminasi yang disebut dalam bagian akhir buku al-Khawarizmi.
Ibnu Shuja mencetuskannya, sebelum Diophantus menerjemahkan Arithmetica ke dalam bahasa Arab. Segera setelah Arithmetica diintroduksikan, dilakukanlah penafsiran besar-besaran terhadap karya Diophantes tersebut. Buah pikir Ibnu Shuja tentang Aljabar lebih dikenal dalam bahasa Latin dan Yahudi. Dalam banyak hal, Ibnu Shuja masih berkiblat pada pemikiran al-Khawarizmi. Namun dalam banyak pula, dia justru mampu mengungguli pendahulunya itu. Bahkan ia berani mengadakan penambahan dan pengurangan dari akar-akar kuadrat yang hanya melibatkan bilangan-bilangan irasional, yang tak dilakukan oleh matematikus-matematikus sebelumnya.
Ibnu Shuja juga menulis tentang turunan dari rata-rata akar, turunan dari rata-rata aljabar, risalah pengukuran lahan/tanah, pengukuran dan geometri, penyatuan dan pemisahan.
Pengaruh Ibnu Shuja terhadap Barat
Karya-karya yang dicapai Ibnu Shuja pada abad ke-10 M merupakan suatu kemajuan yang amat penting. Sacherdote menunjukan bahwa Leonard da Pisa atau Fibonanci sangat hafal betul risalah geomteri karya Ibnu Shuja, dan menyebarkan penggunaannya lewat karyanya “Practica geometriae” atau “Practice of Geometry”.
Leonard da Pisa merupakan salah seorang dari Eropa yang mengelana ke berbagai pusat ilmu pengetahuan Arab pada abad ke-13 M. Ketika kembali ke negaranya, ia menulis dan menterjemahkan buku-buku pengetahuan Arab, termasuk matematika karya Al-Khwarizmi dan Ibnu Shuja. Leonmard da Pisa inilah yang termasuk salah satu penyebar pengetahuan tentang lembaga bilangan Hindu-Arab ke Eropa lama.
Dengan dasar berhitung menurut Ibnu Shuja dan Al-Khawarizmi, Leonard da Pisa berhasil menyusun bukunya Liber Abaci pada 1202 M, yang kemudian disempurnakan pada 1228 M dan menyebar di seluruh Eropa. **
(By Republika Newsroom Senin, 03 Agustus 2009 pukul 10:25:00 ; she/dya)

Ahlak / Tarikh : Esensi Ziarah dan Tawasul, Kado dari

Slide1
Oleh : Hasan Husen Assagaf, dari Kota Nabi.
SEBAGAI seorang muslim, saya terpanggil untuk mengantarkan janazah tetangga yang meninggal dunia. Setelah disolatkan di masjid Umu Ibrahim – Riyadh, janazah dikubur di pemakaman al-U’ud selepas solat Asar. Di Riyadh kalau mengubur mayat ada sedikit berbeda dengan di negara kita. Bedanya, di sini tanahnya pera dan berpasir, jadi lobang yang digali cetek, mungkin dalamnya kurang lebih satu setengah meter. Tapi walaupun cetek, mayat cepat kering dan tidak terhendus baunya. Saya rasa hanya dua minggu mayat bisa habis dimakan tanah. Ini mungkin karna pengaruh udara kering ditambah suhunya yang bisa mencapai antara 4°C di musim dingin dan 50°C di musim panas. Berbeda dengan di negara kita, udaranya lembab dan tanahnya basah. Jadi lobang kuburan harus digali lebih dalam, karena mayat susah keringnya. Katanya setelah 40 hari mayat baru bisa kering dan habis dimakan tanah. Inilah akhir dari perjalanan anak cucu Adam as, dan kita pasti mau atau tidak mau akan melaluinya.
Para salaf sholeh, mereka semua bersepakat dengan apa yang telah ditetapkan Rasulallah saw dan dijadikan sesuatu yang mutawatir (diterima kebenarannya) yang mana mayat setelah dikubur mengetahui orang yang menziarahinya dan mendapatkan ketenangan dengan kedatangannya. Sesuai dengan hadisth yang diriwayatkan oleh Imam besar Bukhari bahwa mayat setelah dikubur mendengar suara sandal orang yang mengatarkannya ke kuburan. Di lain hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Utsman bin Affan ra bahwa Rasulallah saw setelah selesai mengubur mayat, beliau berdiri dan bersabda : “Mintalah ampun bagi saudaramu ini, dan mintalah semoga diberikan ketetapan, karena ia sekarang akan ditanya”.
Dari hadist di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa mayat itu hidup tidak mati. Hanya saja ia berpindah dari alam dunia ke alam yang baru dinamakan alam Barzakh. Di sana, ia hidup, ia ditanya, ia mendengar, ia melihat, ia membalas salam orang yang memberi salam kepadanya sama seperti orang hidup. Kalau itu dilakukan untuk sesama manusia biasa, sekarang , bagaimana halnya bagi manusia termulia di Dunia yang jutaan penziarah datang ke Madinah untuk memberi salam kepada Beliau Shallallohu Alihi Wasallam dan para Sahabatnya Rodhiyallohu Anhum.
Manusia termulia putra Abdullah dan Aminah bernama Muhammad saw itu benar-benar telah menjadi magnet bagi milyaran manusia. Karena itu, Madinah tak pernah tidur menyambut para penziarah yang datang dari seluruh pelosok dunia hanya untuk memberi salam kepada baginda Nabi saw dan solat di masjidnya. Tentu yang sudah pernah berziarah ke makam Rasulallah saw dan para sahabatnya tidak bisa membayangkan bagaimana menyimpan kenangan indah dari cahaya beliau dan pasti di luar dari kesadaran kita air mata mengucur keluar membasahi pipi kita. Kehebatan kota Madinah bukan saja karena kemegahan masjidnya akan tetapi juga karena bersemayam di dalamnya jasad beliau yang mulia. Di sanalah baru kita merasai keindahan ruhaniah kota Madinah yang membawa negeri itu, berkat Rasulallah saw, menjadi negeri yang penuh barokah. Bagi yang pernah berziarah ke makam Rasulallah saw, pasti bisa melihat di muka tembok jendela rumah Rasullah saw (tempat dimana jasad beliau yang mulia disemayamkan), tertulis dua bait syair yg dibuat oleh seorang A’rabi (Arab Badui) sejak ratusan tahun yang lalu. Sampai sekarang tulisan itu masih bisa terbaca dan masih akan terus dibaca inysallah oleh umat Muhammad saw yang datang berziarah ke makamnya.
Diriwayatkan oleh al-Imam al-Hafidh al-Syeikh I’mad al-Din Ibnu Katsir dari al-U’tbi, ia berkata : Ketika aku sedang duduk di hadapan makam Rasullah saw, tiba tiba seorang A’rabi datang berziarah kepada beliau dan berkata : “Salam sejahtera atasmu wahai Rasulallah. Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman” :
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.  (An-Nisa’ ; 64).
“Wahai Rasulallah”, kata A’rabi dengan penuh kekhusyu’an, “aku datang kepadamu untuk memohonkan ampun bagiku dan memberikan kepadaku syafaatmu“. Kemudian A’rabi itu membaca dua bait syair :

ياخير من دفنت بالقاع أعظمه

فطاب من طيبهن القاع وا لأكم

نفسي الفداء لقبر أنت ساكنه

فيه العفاف وفيه الجود والكرم

Wahai jasad termulia di lahad kau bersemayam
Lahad dan tanah ber-semerbak dari semerbakmu
Ku korbankan diriku demi makam kau berdiam
Yang penuh kebijakan, keindahan dan kemurahanmu
Setelah membaca dua bait syair A’rabi itu keluar. Kemudian aku (al-U’tbi) tertidur dan bermimpi berjumpa dengan Rasulallah saw. Beliau pun berkata kepadaku : “Kejarlah A’rabi itu dan sampaikanlah kepadanya kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya “
Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki telah mengupas riwayat ini dalam kitabnya “Mafahim Yajibu An Tushahah“ bahwa banyak para masyayikh (ulama) meriwayatkan kisah ini, diantaranya: Al-Imam al Nawawi dalam kitabnya Al-Idhah, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, Abul Faraj bin Qudamah dalam kitabnya al Syarhul Kabir, Al Imam al Qurtubi (umdah atau pakar ilmu tafsir) dalam kitabnya tafsir Al Jami’, dan masih banyak lagi para ulama besar dan pakar ilmu tafsir yang meriwayatkan kisah ini.
Sekarang , apakah kisah yang diriwayatkan oleh para ulama besar itu dhaif jika dilihat dari sanadnya?…
Apakah yang diriwayatkan oleh para ulama besar itu merupakan suatu kekufuran atau kesesatan?…
Apakah yang dibawakan para ulama dan pakar ilmu tafsir itu mengajak kita kepada penyembahan berhala atau kuburan?…
Jika hal itu demikian menurut penafsiran, maka ulama mana lagi yang bisa dipercaya. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar