Istilah zina sudah masuk dalam bahasa Indonesia, namun untuk memahami
hukum syari’at tentang masalah ini kita perlu mengembalikannya ke pengertian
menurut bahasa Arab dan syari’at supaya pas dan benar.
Dalam bahasa arab, zina diambil dari kata: زَنَى، يَزْنِي، زِنىً، وزِنَاءً yang artinya berbuat fajir
(nista).1
Sedangkan dalam istilah syari’at zina adalah melakukan hubungan
seksual (jima’) di kemaluan tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan budak dan
tidak juga karena syubhat.2
Ibnu Rusyd رحمه الله menyatakan: Zina adalah
semua hubungan seksual (jima’) diluar pernikahan yang sah dan tidak pada nikah
syubhat dan kepemilikan budak. (Definisi ini) secara umum sudah disepakati para
ulama islam, walaupun mereka masih berselisih tentang syubhat yang dapat
menggagalkan hukuman atau tidak? 3
1.
al Muhîth
2.
Hâsyiayah
ar-Raudh al-Murbi’
7/312
3.
Bidâyah
al-Mujtahid
2/529 dan lihat ar-Raudh al-Murbi’ syarh Zâd al-Mustaqni’ 7/312 dan
al-Mulakhash al-Fiqh hal. 528
HUKUM ZINA
Perbuatan zina diharamkan dalam syari’at islam, termasuk dosa besar,
berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Firman Allah سبحانه و تعالى:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu
adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh oleh seseorang)” (QS. Al-Israa’/17: 32)
2. Firman Allah سبحانه و تعالى:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلَا
يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ
وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً . يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا
"Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah
dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan
(alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan
terhina". (QS. al-Furqân/25: 68-69)
3. Dalam hadits, Nabi juga mengharamkan zina seperti yang diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ûd رضي الله عنه, beliau صلى الله عليه وسلم
berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ: أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟، قَالَ: أَنْ
تَجْعَلَ للِّهِ نِداً وَهُوَ خَلَقَكَ ، قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ
تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ ، قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ:
أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ
"Aku telah bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم: Dosa apakah yang paling
besar ? Beliau menjawab: Engkau menjadikan tandingan atau sekutu bagi Allah,
padahal Allah عزّوجلّ telah menciptakanmu. Aku
bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: Membunuh anakmu karena takut dia akan makan
bersamamu.” Aku bertanya lagi: Kemudian apa ? Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab lagi: Kamu
berzina dengan istri tetanggamu". 1,2
4. Sejak dahulu hingga sekarang, kaum muslimin sepakat bahwa perbuatan
zina itu haram. Imam Ahmad bin Hambal رحمه الله berkata: Saya tidak tahu
ada dosa yang lebih besar dari zina (selain) pembunuhan.3
1.
HR. al-Bukhâri dalam kitab al-Adab, Bab Qatlul-Walad Khasy-yata
ayya`kula ma’ahu 10/33 dan Muslim dalam kitab al-Iimân
2/80.
2.
Lihat lebih lanjut kitab al-Mughni
12/308
3.
ar-Raudh
al-Murbi’
7/312
HUKUMAN PEZINA
Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah (al-Muhshân) dan
ada pula yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya memiliki hukuman
berbeda.
Hukuman pezina diawal Islam berupa kurungan bagi yang telah menikah
dan ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina yang belum menikah
(al-Bikr). Allah عزّوجلّ berfirman:
وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُواْ
عَلَيْهِنَّ أَرْبَعةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ
حَتَّىَ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً.
وَاللَّذَانَ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا
فَأَعْرِضُواْ عَنْهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ تَوَّاباً
رَّحِيماً
"Dan (terhadap) para wanita
yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang
melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya,
kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". (QS.
an-Nisâ`/4:15-16)
Kemudian sanksi itu diganti dengan rajam (dilempar batu) bagi yang
telah menikah (al-Muhshân) dan dicambuk seratus kali bagi yang belum
menikah (al-Bikr) dan ditambah pengasingan setahun.
Pezina al-Muhshân
Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam (dilempar
dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir
dan ijma’ kaum muslimin.1 Ayat
yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus
lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab
رضي الله عنه menjelaskan dalam
khuthbahnya:
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ عَلَى نَبِيِّهِ الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا
أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا
وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ وَ أَخْشَى إِنْ
طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا: لاَ نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ
الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ أَنْزَلَهَا اللهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ
ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ
الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ الإِعْتِرَاف
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada Nabi-Nya dan
diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca,
memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi صلى الله عليه وسلم telah melaksanakan hukuman
rajam dan kamipun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila
zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak
mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran
meninggalkan kewajiban yang Allah عزّوجلّ telah turunkan. Sungguh
(hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina
apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti dengan
pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri". 2
Ini adalah persaksian khalifah Umar bin al-Khatthâb رضي الله عنه diatas mimbar Rasulullah
صلى الله عليه وسلم yang dihadiri para sahabat
sementara itu tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.3 Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut
diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Mâjah berbunyi:
وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَهْ
نَكَلاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
"Syaikh lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah
keduanya sebagai balasan dari Allah سبحانه و تعالى dan Allah maha perkasa
lagi maha bijaksana”.4
Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari sunnah, maka ada
riwayat mutawatir dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم baik perkataan maupun
perbuatan yang menerangkan bahwa beliau صلى الله عليه وسلم telah merajam pezina yang
al-Muhshân (ats-Tsaib al-Zâni)5
Ibnu al-Mundzir رحمه الله menyatakan: Para ulama
telah berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus dilempari
batu sampai mati.6
Ibnu Qudâmah رحمه الله menyatakan: Kewajiban
merajam pezina al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh
para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka
diseluruh negeri islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat
diantara para ulama) kecuali kaum Khawarij.7
Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja diingkari oleh
orang-orang Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal mereka tidak
memiliki hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta nekat menyelisihi
dalil-dalil syar’i dan ijma’ kaum muslimin. Wallahul
musta’an.
Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina al-muhshân
(yang sudah menikah dengan sah-red) karena ia telah menikah dan tahu cara
menjaga kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan
kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya dari
ancaman hukuman zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai syara’)
terbantahkan dari semua sisi. dan dia telah mendapatkan kenikmatan sempurna.
Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna (lalu masih berbuat kriminal)
maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji, sehingga ia berhak mendapatkan
tambahan siksaan.8
1.
Lihat Tashîlul-Ilmâm Bi Fiqhi Lil Ahâdîts Min Bulûgh
al-Marâm, Shalih al-fauzân 5/230
2.
HR. al-Bukhâri dalam kitab al-Hudûd, Bab al-I’tirâf
biz-Zinâ 1829 dan Muslim dalam kitab al-Hudûd no.
1691.
3.
Dari pernyataan Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’
14/229.
4.
HR. Ibnu Mâjah kitab al-Hudûd Bab ar-Rajmu dan dishahihkan
al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/81
5.
Tas-hîlul-Ilmâm
bi Fiqhi Lil Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm,
Syaikh Shâlih al-Fauzân 5/230.
6.
Dinukil dari al-Mughni 12/310.
7.
Al-Mughni
12/309..
8.
Cuplikan dari al-Mulakhas al-Fiqhi
2/529.
Syarat al-Muhshân
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang dihukumi al-Muhshân.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang dihukumi sebagai
al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual) langsung di kemaluan.
Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad pernikahan namun belum
melakukan jima’, belum dianggap sebagai al-Muhshân.
2. Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan berdasarkan pernikahan
sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah
3. Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang
sah.
4. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan
berakal.
5. Pelaku zina merdeka bukan budak belian.
Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshân, apabila kriteria diatas
sudah terpenuhi.1
1.
Lihat penjelasan para ulama tentang hal ini dalam al-Mughni
12/314-318.
Pezina yang Tidak al-Muhshân
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-muhshân, maka
hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan para
ulama berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ
جَلْدَةٍ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
(cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)". (QS.
An-Nûr/24:2)
Al-Wazîr رحمه الله menyatakan: “Para ulama
sepakat bahwa pasangan yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-red),
apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus
kali.
Hukuman mati (dengan dirajam-red) diringankan buat mereka menjadi
hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red) sehingga darahnya
masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti seluruh tubuhnya dengan
cambukan. Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun menurut pendapat
yang rajih, berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
خُذُوْا عَنِّيْ ، خُذُوْا عَنِّيْ ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيْلاً ، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ
"Ambillah dariku! ambillah
dariku! Sungguh Allah telah menjadikan bagi mereka jalan, yang belum al-muhshaan
dikenakan seratus dera dan diasingkan setahun." (HR.
Muslim).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله menyatakan: “Apabila tidak
muhshân, maka dicambuk seratus kali, berdasarkan al-Qur`an dan diasingkan
setahun dengan dasar sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم.1
1.
Majmû’
Fatâwâ
28/333 dinukil dari Taisîr al-Fiqhi al-Jâmi’ Li Ikhtiyârât al-Fiqhiyah
Lisyaikhil Islâm Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwâfi
3/1445.
KEKHUSUSAN HUKUMAN PEZINA.
Allah سبحانه و تعالى memberikan tiga
karakteristik khusus bagi hukuman zina:
1. Hukuman yang keras, yaitu rajam untuk al-Muhshân dan itu adalah
hukuman mati yang paling mengenaskan dan sakitnya menyeluruh keseluruh badan.
Juga cambukan bagi yang belum al-muhshân merupakan siksaan terhadap seluruh
badan ditambah dengan pengasingan yang merupakan siksaan
batin.
2. Manusia dilarang merasa tidak tega dan kasihan terhadap
pezina
3. Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dihadiri sekelompok kaum
mukminin. Ini demi kemaslahatan hukuman dan lebih membuat
jera.
Hal ini disampaikan Allah سبحانه و تعالى dalam
firmanNya:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ
جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman" (QS.
An-Nûr/24:2)
SYARAT PENERAPAN HUKUMAN ZINA
Dalam penerapan hukuman zina diperlukan syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan berakal
(tidak gila).
2. Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
3. Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum tahu
hukumannya.1
4. Jima’ (hubungan seksual) terjadi pada kemaluan.
5. Tidak adanya syubhat. Hukuman zina tidak wajib dilakukan apabila
masih ada syubhat seperti menzinahi wanita yang ia sangka istrinya atau
melakukan hubungan seksual karena pernikahan batil yang dianggap sah atau
diperkosa dan sebagainya.
Ibnu al-Mundzir رحمه الله menyatakan: “Semua para
ulama yang saya hafal ilmu dari mereka telah berijma’ (bersepakat) bahwa had
(hukuman) dihilangkan dengan sebab adanya syubhat.” 2
6. Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan. Pembuktian ini dengan dua
perkara yang sudah disepakati para ulama yaitu:
a. Pengakuan dari pelaku zina yang mukallaf dengan jelas dan tidak
mencabut pengakuannya sampai hukuman tersebut akan
dilaksanakan.
b. Persaksian empat saksi yang melihat langsung kejadian, sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah سبحانه و تعالى:
لَوْلَا جَاؤُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء
"Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang
saksi atas berita bohong itu." (QS. an-Nûr/24:13)
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاء
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi.…." (QS.
an-Nûr/24:4)
Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui
keabsahannya, apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1) Mereka bersaksi pada satu majlis
2) Mereka bersaksi untuk satu kejadian perzinahan
saja
3) Menceritakan perzinahan itu dengan jelas dan tegas yang dapat
menghilangkan kemungkinan lain atau menimbulkan penafsiran lain seperti hanya
melakukan hal-hal diluar jima’.
4) Para saksi adalah lelaki yang adil
5) Tidak ada yang menghalangi penglihatan mereka seperti buta atau
lainnya.
Apabila syarat-syarat ini tidak sempurna, maka para saksi dihukum
dengan hukuman penuduh zina. Allah سبحانه و تعالى berfirman:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً
أَبَداً وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima keksaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik" (QS.
an-Nûr/24:4)
Penetapan terjadinya perbuatan zina dan pemutusan saksi dengan
berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku yang disebutkan diatas, telah
disepakati oleh para ulama. Dan para ulama masih berselisih pendapat tentang
hamil diluar nikah. Bisakah hal ini dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan
bahwa telah terjadi perbuatan zina atau orang ini telah melakukan perbuatan zina
sehingga berhak mendapatkan sanksi ?
Para ulama berselisih menjadi dua pendapat:
Pertama: Pendapat jumhur yaitu madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah
(hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak ditegakkan atau dilaksanakan
kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja.
Kedua: Pendapat madzhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina dapat
ditegakkan dengan indikasi kehamilan.
Yang rajih dari dua pendapat diatas adalah pendapat madzhab Malikiyah
sebagaimana dirajihkan syaikhul Islam ibnu Taimiyah رحمه الله. Beliau رحمه الله menyatakan bahwa seorang
wanita dihukum dengan hukuman zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan tidak
memiliki suami, tidak memiliki tuan (jika ia seorang budak-red) serta tidak
mengklain adanya syubhat dalam kehamilannya.3
Beliau رحمه الله pun menyatakan: “Inilah
yang diriwayatkan dari para khulafâ’ rasyidin dan ia lebih pas dengan pokok
kaedah syari’at.4
Dalil beliau رحمه الله dan juga madzhab Malikiyah
adalah pernyataan Umar bin Khatthab رضي الله عنه dalam
khutbahnya:
وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا
إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ
الإِعْتِرَاف
"Sungguh rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah atas orang yang
berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshaan), bila tegak padanya
persaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri". 5
Jelaslah dari pernyataan Umar bin al-Khatthab رضي الله عنه diatas bahwa beliau
menjadikan kehamilan sebagai indikasi perzinahan dan tidak ada seorang
sahabatpun waktu itu yang mengingkarinya.
al-Hâfidz Ibnu Hajar رحمه الله mengomentari riwayat Umar
رضي الله عنه diatas dengan menyatakan:
(Dalam pernyataan Umar diatas) ada pernyataan bahwa wanita apabila didapati
dalam keadaan hamil tanpa suami dan juga tidak memiliki tuan, maka wajib
ditegakkan padanya hukuman zina kecuali bila dipastikan adanya keterangan lain
tentang kehamilannya atau akibat diperkosa.6
Demikianlah, mudah-mudahan bermanfaat.[]
1.
Syarhu
al-Mumti’
14/207-210
2.
al-Mulakhas
al-Fiqhiy,
530-531
3.
Lihat
Majmu’ Fatawa 28/334
4.
ibid
5.
HR.
al-Bukhaari dalam kitab al-Hudud, Bab al-I’tiraf biz-Zinaa 1829 dan
Muslim dalam kitab al-Hudud no. 1691.
6.
Fathu
al-Baari
12/160
Referensi:
1. Hâsyiyah ar-Raudh al-Murbi’ syarh Zad al-Mustaqni’, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qâsim, cetakan ke-6 tahun 1417
H tanpa penerbit.
2. al-Mulakhash al-Fiqhiy, Syaikh Shalih bin Fauzân ali Fauzân, cetakan pertama tahun 1422 H,
Ri’asah Idaarah al-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’.
3. Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin at-Turki,
cetakan kedua tahun 1413H, penerbit Hajar
4. Tas-hîlul-Ilmâm bi Fiqhi Lil Ahâdits Min Bulûgh
al-Marâm, Syaikh Shalih bin Fauzân ali Fauzân, cetakan pertama tahun 1427 H.
tanpa penerbit.
5. Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhamad bin shâlih al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1427
H, Dar ibnu al-Jauzi.
6. Taisîr al-Fiqhi al-Jâmi’ Li Ikhtiyârât al-Fiqhiyah Lisyaikh al-Islam
Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwâfi cetakan pertama tahun 1416 H, Dar Ibnu
al-Jauzi.
7. Fathul Bâri, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar