Oleh: Oleh: Drs. H. Asyari Nur, SH, MM
Jangan Pernah Berhenti Mendengar NasihatHati Akan Buta Tanpa NasihatJangan Remehkan Petuah UlamaPetuah Mereka Adalah Sari Wahyu Allah(Syekh Abdul Qadir Al- Jailani)
Jangan Pernah Berhenti Mendengar NasihatHati Akan Buta Tanpa NasihatJangan Remehkan Petuah UlamaPetuah Mereka Adalah Sari Wahyu Allah(Syekh Abdul Qadir Al- Jailani)
Itulah salah satu petikan nasihat- nasihat beliau yang isinya
menyapa langsung sanubari kita. Sederhana tetapi mengena, begitulah
aroma keunikan pesan, dialog, dan perumpamaan dalam nasihat yang selalu
beliau sampaikan.
***
Syekh Abdul Qodir Jaelani bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad
Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani lahir tahun 470 H/1077 M
dan wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib pada 9 Rabi’ul Akhir
di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Pada saat
melahirkannya, ibunya sudah berusia 60 tahun. Ia dilahirkan di sebuah
tempat yang bernama Jailan. Karena itulah di belakang namanya terdapat
julukan Jailani. Penduduk Arab dan sekitarnya memang suka menambah nama
mereka dengan nama tempat tinggalnya.
Syekh Abdul Qadir Jailani dikenal dengan berbagai gelar atau sebutan
seperti Muhyiddin, al Ghauts al Adham, Sultan al Auliya, dan
sebagainya. Beliah masih keturunan Rasulullah SAW. Ibunya yang bernama Ummul Khair Fatimah, adalah keturunan Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Jadi, silsilah keluarga Syekh Abdul Qadir Jailani jika diurutkan ke atas, maka akan sampai ke Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Syekh Abdul Qadir Jailani lahir dan dididik dalam lingkungan
keluarga sufi, ia tumbuh dibawah tempaan ibunya. Sejak kecil, Abdul
Qadir telah tampak berbeda dari anak-anak lain, ia tidak suka
bermain-main bersama anak-anak lain. Sejak usia dini ia terus
mematangkan kekuatan batin yang dimilikinya, ia belajar mengaji sejak
berusia sepuluh tahun.
Mengembara
Diusia 18 tahun ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu (488 H/1095
M) untuk mencari ilmu. Kemudian berangkatlah Abdul Qadir ke Baghdad,
Baghdad adalah ibukota Irak. Saat itu Baghdad adalah sebuah kota yang
paling ramai di dunia. Di Baghdad berkembang segala aktiitas manusia,
ada yang datang untuk berdagang atau bisnis, mencari pekerjaan atau
menuntut ilmu. Baghdad merupakan tempat berkumpulnya para ulama besar
pada saat itu dengan khalifah atau penguasa yang memimpin saat itu
Khalifah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.
Ketika Syekh Abdul Qadir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan
oleh Nabi Khidir as. Nabi Khidir adalah seorang Nabi yang disebutkan
dalam Al-Qur’an dan diyakini para ulama masih hidup hingga kini. Saat
menemui Abdul Qadir itu, Nabi Khidir mencegahnya masuk ke kota Bagdad
itu. Nabi Khidir berkata, “Aku tidak mempunyai perintah (dari Allah)
untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai 7 tahun ke depan.”
Tujuh Tahun Tinggal di Tepi Sungai
Situasi tersebut membuat Abdul Qadir bingung, mengapa ia tidak
diperbolehkan masuk ke kota Baghdad selamatujuh tahun? Tetapi Abdul
Qadir tahu, bahwa jika yang mengatakan itu adalah Nabi Khidir, tentu dia
harus mengikuti perntahnya tersebut. Oleh karena itu, Abdul Qadir pun
kemudian menetap di tepi sungai Tigris selama 7 tahun. Tentu sangat
berat, selama dia hidup bersamaorang tua dan saudara-saudaranya di
rumah, sekarang harus hidup sendiri di tepi sebuah sungai. Tidak ada
yang dapat dimakannya kecuali daun-daunan. Maka selama tujuh tahun itu
ia memakan dedaunan dan sayuran yang bisa dimakan.
Pada suatu malam ia tertidur pulas, sampai akhirnya ia terbangun di
tengah malam. Ketika itu ia mendengar suara yang jelas ditujukan
kepadanya. Suara itu berkata, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”
Keesokan harinya, iapun mengadakan perjalanan ke Baghdad. Maka, ia pun
masuk ke Baghdad. Di kota itu ia berjumpa dengan para Syekh, tokoh-tokoh
sufi, dan para ulama besar. Di antaranya adalah Syekh Yusuf al
Hamadani. Dari dialah Abdul Qadir mendapat ilmu tentang tasawuf. Syaikh
al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa Abdul Qadir adalah seorang
yang istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara
para wali.
Berguru Kepada Para Ulama Besar
Syekh al-Hamdani berkata, “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya aku telah
melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di
Baghdad, dan pada saat itu engkau akan berkata, “Kakiku ada di atas
pundak para wali.”
Selain berguru kepada Syaikh Hamdani, Abdul Qadir bertemu dengan
Syaikh Hammad ad-Dabbas, ia pun berguru kepadanya. Dari Syekh Hammad,
Abdul Qadir mendapatkan ilmu Tariqah, adapun akar dari tariqahnya adalah
Syari’ah. Dalam taiqahnya itu beliau mendekatkan diri pada Allah dengan
doa siang malam melalui dzikir, shalawat, puasa sunnah, zakat maupun
shadaqah, zuhud dan jihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri. Kemudian Syekh Abdul Qadir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi.
Dan dari Syekh al Mukharimi itulah Syaikh Abdul Qadir menerima
khirqah (jubah ke-sufi-an). Khirqoh itu secara turun-temurun telah
berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya
adalah Syekh Junaid al-Baghdadi, Syekh Siri as-Saqati, Syekh Ma’ruf al
Karkhi, dan sebagainya.
Syekh Abdul Qadir tidak hanya berguru kepada para ulama di atas, ia
juga memperdalam ilmunya kepada para ulama besar seperti Ibnu Aqil, Abul
Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Muharrimi.
Kesemuanya adalah para ulama besar yang ilmunya sangat luas dalam bidang
agama. Sebab itulah, tidak heran jika kemudian Syekh Abdul Qadir
menjadi ulama besar menggantikan para ulama tersebut.
Di Babul Azaj, Syekh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil. Karena
beliau telah tua, maka pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada Abdul
Qadir. Di situlah Syekh Abdul Qadir berdakwah pada masyarakat, baik yang
muslim maupun non-muslim.
Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh, bermukim disana
sambil memberikan nasehat kepada orang-orang. Banyak orang yang
bertaubat mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada
beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak cukup
untuk menampung orang yang datang ingin berguru kepada Syekh Abdul
Qadir.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua
madzhab. Ia berdakwah kepada semua lapisan masyarakat, hingga dikenal
masyarakat luas. Selama 25 tahun Syekh Abdul Qadir Jailani menghabiskan
waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq. Akhirnya beliau
dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia
memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H
sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan
dipimpin anaknya, Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M). Kemudian
diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua
Syekh Abdul Qadir Jailani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M). Namun
sayang sekali, sekolah yang besar itu akhirnya hancur ketika Baghdad
diserang oleh tentara Mongol yang biadab pada tahun 656 H/1258 M.
Imam Ibnu Rajab juga berkata, “Syekh Abdul Qadir Al- Jailani
memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah,
takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah.” Seperti yang
tertuang dalam karya- karyanya: seperti Tafsir Al Jilani, al Ghunyah Li
Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, Al-Fath ar-Rabbani, Jala’
al-Khawathir, Sirr al-Asrar, Asror Al Asror, Malfuzhat, Khamsata “Asyara
Maktuban, Ar Rasael, Ad Diwaan, Sholawat wal Aurod, Yawaqitul Hikam,
Jalaa al khotir, Amrul muhkam, Usul as Sabaa, Mukhtasar ulumuddin
Syekh Abdul Qadir Jailani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar di dunia bernama Tarekat Qodiriyah.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti
syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna
mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua
perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran. Seperti QS Al-
Jin:16, “Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka
Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati)
yang melimpah ruah”.
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil
makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu
hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/ bathini mengandung segi-segi
eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi
eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia”
yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti.
Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid)
dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin
dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada
silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia
Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Tarekat Qodiriyah
Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul
Qadir Al- Jaelani. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq
dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di
Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah
berkembang sejak abad ke-13, namun baru terkenal di dunia pada abad ke
15 M.
Syekh Abdul Qadir adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid
tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina
Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun
temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina
Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin
ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja’far As Shodiq ra,
Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al
Rido, Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti,
Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar
As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj
Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa’id Mubarok Al
Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani
Al-Baghdadi QS atau Syekh Abdul Qadir Al- Jailani.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai
derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus
mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi
tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada
ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai
derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang
menjadi walinya untuk seterusnya.”
Karena keluwesannya tersebut, terdapat puluhan tarekat yang masuk
dalam kategori Qodiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang
pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584
M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di
India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah
(1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah,
Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan
Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah,
Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan
masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari
Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada,
sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam
mereka disebut “Syurafa Jilala”.
Tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendekatkan diri dan mendapat ridho dari Allah SWT.
Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa
dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan,
maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Tarekat Qodiriyah di Indonesia
Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-
Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16,
khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa
Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso
Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh
Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas
yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran
tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura
setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah
tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama
ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sementara itu organisasi agama
yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi
tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada
tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah
sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Inti Ajaran Dasar Tarekat Qodiriyah
Ada 2 hal yang melandasi inti ajaran Tarekah Qodiriyah, yaitu:1.
Berserah diri (lahir-bathin) kepada Allah. Seorang muslim wajib
menyerahkan segala hal kepada Allah, mematuhi perintah-Nya, dan menjauhi
larangan-Nya.2. Mengingat dan menghadirkan Allah dalam kalbunya.
Caranya, dengan menyebut Asma Allah dalam setiap detak-nafasnya.
Bagaimana pun, dzikrullah adalah suatu perbuatan yang mampu menghalau
karat lupa kepada Allah, menggerakan keikhlasan jiwa, dan menghadirkan
manusia duduk bertafakur sebagai hamba Allah. Hal ini merujuk pada
hadist riwayat Ibnu Abid Dunya dari Abdullah bin Umar berikut:Sebenarnya
setiap sesuatu ada pembersihnya, dan bahwa pembersih hati manusia
adalah berdzikir, menyebut Asma Allah, dan tiadalah sesuatu yang lebih
menyelamatkan dari siksa Allah kecuali dzikrullah.
Kedua hal ini, menurut Syekh Abdul Qadir, akan membawa seorang
manusia senantiasa bersama Allah. Sehingga segala aktivitasnya pun
bernilai ibadah. Lebih lanjut, beliau juga menandaskan bahwa keimanan
ini merupakan landasan bagi terwujudnya tatanan sosial yang lebih baik
lagi. Lebih jauh, sebuah tatanan negara yang Islami dan memenuhi aspek
kebaikan universal.
Bai’at
Untuk mengamalkan tarekat ini melalui tahapan-tahan seperti: 1.
Adanya pertemuan guru (syekh) dan murid, murid mengerjakan salat dua
rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat
al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar,
lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan
“infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS
Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid Laa Ilaha
Illallah sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan
itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid,
berdoa dan minum.2. Tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan
proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat
pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya,
menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan
melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah
seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Dengan mengamalkan ajaran tarekat dengan baik (khususnya dzikir),
maka seseorang akan terbuka kesadarannya untuk dapat mengamalkan
syari’at dengan baik, walaupun secara kognetif tidak banyak memiliki
ilmu keislaman. Karena ia akan mendapat pengetahuan dari Tuhan
(ma’rifah) dan cinta Tuhan (mahabbah), karena buah (tsamrah) nya dzikir.
Dan juga karena buahnya dzikir, maka dalam diri seseorang terjadi
penyucian jiwa (tazkiyat al-nafsi). Dan dengan jiwa yang suci seseorang
akan dengan ringan dapat melaksanakan syari’at Allah.
Kenal dan cinta kepada Allah adalah kunci kebahagiaan hidup,
kenyakinan para sufi memang “Mengenal Allah adalah permulaan orang
beragama”. Dan karena secara empiris kebenaran logika ini telah
terbukti, bahwa orang-orang yang telah diperkenalkan dengan Tuhan dan
diajari (ditalqin) menyebut Asma Allah berubah menjadi manusia yang
berkepribadian baik. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar