Dalam
adat Minang harta pusaka terdiri dari 2 macam: 1) Harta pusaka tinggi
dan 2) Harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi diwariskan secara
turun-temurun kepada satu kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan
hasil pencaharian seseorang dan diwariskan menurut hukum Islam
(faraidh). Jadi, kita tidak akan bahas harta pusaka rendah disini karena
sudah sesuai dengan hukum waris Islam (faraidh).
Terlihat ada kegamangan orang Minang disini, satu sisi mengaku tunduk pada syara’ tetapi di sisi lain tidak menggunakan hukum waris Islam (faraidh) dalam hal harta pusaka tinggi.
Ulama Minang yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah, Syaikh Thahir Jalaluddin di Perak Malaysia dan KH Agus Salim.Lihat 4, hal 23 Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, imam dan khatib Masjidil Haram Mekah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya itu dan tidak mau kembali kekampungnya, Beliau meninggal di Mekah tahun 1916.Lihat 4, hal 103 Hanya murid-murid Beliau yang pulang ke kampung halaman dan menyebarkan Islam, seperti: Syaikh M. Jamil Jambek, DR. Abdul Karim Amrullah (Bapak Buya Hamka), DR. Abdullah Ahmad, Syaikh Jamil Jaho, KH. Ahmad Dahlan dan lain-lain.
Sementara para pahlawan Perang Paderi yang di kenal keras merubah adat Minang yang bertentangan dengan Islam tidak mengusik masalah harta pusaka tinggi, Beliau antara lain H. Miskin, H. Abdurrahman Piabang, Tuanku Lintau, Tuanku Nan Renceh dan lain-lain. Syaikh Abdulkarim Amrullah (Bapak Buya Hamka) mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf.Lihat 4, hal 103
Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota kaum dan diperoleh secara turun temurun melalui jalur wanita (padusi).Lihat 3, hal 5 Biasanya harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam dan hutan. Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya di kelola oleh Mamak Kepala Waris (Angku).
Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain: hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah dan hak menggembala. Jika berupa air (tabek) maka hak pakainya adalah memanfaatkan air dan menangkap ikan.Lihat 3, hal 23
Disamping harta pusaka tinggi, masih ada harta pusaka lain yang dimiliki oleh masyarakat Minang, seperti: tanah ulayat nagari dan tanah ulayat suku, tetapi status tanah seperti ini sudah punah dan jarang ditemukan di Minang karena perkembangan penduduk dan sosial ekonomi.Lihat 3, hal 5
Harta pusaka tinggi tidak boleh di jual dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan diantara petinggi kaum, diutamakan digadaikan kepada suku yang sama tetapi dapat juga digadaikan kepada suku lain.
Tergadainya harta pusaka tinggi karena 4 hal:
1. Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang tak bersuami)
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
2. Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah)
Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
3. Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor)
Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.
4. Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang terendam)
Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan Penghulu (Datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
Klan Wanita
Adat Minang mengikuti klan Wanita, artinya mereka menggunakan sistem Matrilineal sehingga nasab (hubungan kekeluargaan) mengikuti jalur ibu.Lihat 1
Sistem klan wanita ini dijelaskan dari 4 Tapak Pijakan orang Minang:
1. Ba-nasab pado ibu.2. Ba-sandi pado syarak.3. Ba-sako ka pusako.
4. Ba-ulayat ka tanah tinggi /pusako tinggi.Lihat 2
Terkait dengan nasab yang mengikuti jalur wanita maka struktur adat juga mengacu kepada jalur wanita: 1) Suku (kumpulan dari beberapa kaum), 2) Kaum (kumpulan dari beberapa jurai), 3) Perut (kumpulan dari beberapa keluarga komunitas seibu), 4) Jurai (kumpulan dari beberapa keluarga inti dari garis ibu yang sama), 5) Keluarga inti (kumpulan ibu dan anak, tidak termasuk ayah).Lihat 1; juga 4, hal 23
Jika kaum ini semakin besar dan keluarga dari kaum tersebut makin berkembang maka kumpulan dari beberapa kaum ini bisa membentuk sebuah suku dan mengangkat seorang Datuk sebagai pemimpinnya.
“Anduang” adalah nenek tertua dari kaum. “Angku” adalah saudara laki-laki tertua dari nenek, sedangkan Mamak adalah saudara laki dari ibu. Kumpulan Angku dan Mamak ini di sebut “Ninik Mamak”
Angku merupakan pemimpin kaum dan mempunyai kewenangan mengelola harta pusaka tinggi. Namun demikian, pemilik asli dari harta pusaka tinggi berada di pihak wanita yang dikepalai oleh Anduang. Anduang pula yang mempunyai kewenangan komersialisasi, menyimpan dan mendistribusikannya harta pusaka tinggi.Lihat 3
Sehingga tidak lazim di daerah Minang jika pemilik tanah pusaka menggunakan nama laki-laki, karena pemilik aslinya adalah wanita. Misal: Ini tanah Anduang Rukayah, bukan tanah Sutan Bagindo!
Sialnya Laki-laki Minang
Laki-laki Minang adalah korban dari sistem matrilineal, dimana nasab anak mengacu kepada Ibu, kepemimpinan di tangan Mamak dan harta pusaka tinggi turun temurun jatuh ke jalur wanita. Sehingga laki-laki Minang paling sial di dunia!, ini bukan sekedar ungkapan tetapi begitulah kenyataannya. Kesialan ini terjadi karena keteguhan menjalankan adat dan meninggalkan ajaran Islam, “Adat indak lakang jo paneh, indak lapuak jo hujan” (adat tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan).
Seperti dijelaskan di atas bahwa sitem matrilineal menjadikan wanita sebagai penguasa penuh atas harta pusaka tinggi. Sistem matrilineal juga menempatkan Angku/Mamak sebagai penguasa di tengah kaumnya.
Anak laki-laki dari anggota kaum tidak memiliki hak atas rumah yang ditempatinya karena kepemilikan turun temurun kepada jalur wanita. Ketika anak laki-laki sudah mulai beranjak baligh maka dia harus meninggalkan rumah dan tinggal di surau (mesjid), memalukan bagi anak laki-laki remaja masih tinggal di rumah ibunya. Di surau dia di tempa menjadi mandiri dan sekaligus belajar Islam dari para Buya (ulama).
Ketika dewasa dia menikahi seorang wanita dari suku lain maka dia akan tinggal di rumah istrinya, rumah yang merupakan milik anggota suku istrinya dan bukan miliknya. Di tengah suku isterinya dia tidak memiliki kekuatan apapun, kewajiban nafkah ada di tangan Mamak (saudara laki-laki isterinya), bahkan malu seorang isteri meminta nafkah kepada suaminya karena dianggap mamaknya tidak bertanggung jawab. Segala keputusan ada di tangan Mamak, hanya saat menikahkan anaknya saja sang Mamak berunding dengan dirinya. Konsekuensi dari tanggung jawab nafkah di tangan Mamak, laki-laki Minang dengan mudah kawin lagi dengan wanita lain kemudian keluarga baru itu dinafkahi lagi oleh sang Mamak. Bisa jadi kerjanya hanya nongkrong di warung kopi, main koa, berburu babi, mengurus perkutut dan mengadu ayam.
Ketika laki-laki ini bekerja dan memperoleh kekayaan, jika dia buat rumah di atas tanah suku isterinya maka harta itu menjadi milik isterinya, jika isterinya meninggal maka dia tidak berhak lagi menempati rumah itu karena rumah dimiliki oleh suku isterinya, sementara sukunya berbeda dengan suku isterinya. Jika rumah dibelikan buat kemenakan yang satu suku dengannya, maka rumah itu juga bukan miliknya karena kepemilikan semua harta jatuh ke tangan wanita, laki-laki Minang tidak berhak menerima warisan menurut adat.Lihat 4, hal 39 Di rumah isteri dia tidak punya hak, di rumah kemenakan tidak punya waris, ketika tua dia terdampar kembali di surau menunggu ajal menjemputnya.
Ketika remaja terusir dari rumah ibunya dan tinggal di surau, serta berusaha menghidupi dirinya. Dewasa dan menikah dia tinggal di rumah isterinya, tidak punya wewenang dan tanggung jawab atas keluarganya. Setelah tua terusir lagi dari rumah isterinya dan kembali tinggal di surau. Bahkan Mamak-mamak yang tadinya berkuasa, di hari tuanya akan bernasib sama, padahal dia telah berjasa mengolah harta pusaka tinggi tetapi tidak bisa menikmati hasilnya. Laki-laki Minang hanya sebagai “Kabau pahangkuik abu, gajah palajang bukik” (pekerja keras). Benar-benar sial! Alhamdulillah, adat jahiliyah seperti ini sudah mulai punah.
Akibatnya banyak laki-laki Minang memilih merantau dan tidak kembali lagi kekampungnya akibat sistem adat yang tidak adil ini. Sebut saja Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah, Syaikh Thahir Jalaluddin di Perak Malaysia, Rajo Bagindo di Sabah dan Serawak Malaysia (Rajo Bagindo juga mengembara hingga ke Mindanao Pilipina dan menurunkan Raja-raja Sulu), Rajo Malewar mendirikan kerajaan di Negeri Sembilan Malaysia dan masih eksis hingga kini, Makhudum Sati yang merantau ke Aceh.Lihat 4, hal 110
Pendekatan Hukum Islam
Kedatangan agama Islam ke ranah Minang di terima dengan baik oleh tokoh adat, hanya saja dalam masalah harta pusaka tinggi mereka tidak mau mewariskan kepada anaknya karena bertentangan dengan adat.Lihat 4, hal 25 Akhirnya di ambil jalan tengah bahwa harta pusaka rendah (harta pencaharian) dibagi menurut hukum waris Islam (faraidh) dan harta pusaka tinggi ditetapkan sebagai Wakaf Ahli (zurri). Tetapi betulkah pendekatan seperti ini, cukupkah syarat harta tersebut ditetapkan sebagai Wakaf Ahli?
Perpindahan harta dari satu pihak ke pihak lain menurut Islam antara lain karena sedekah, jual beli, barter dan waris. Wakaf bisa dimasukkan dalam kategori sedekah.
Wakaf terdiri dari: wakaf umum, khusus dan ahli. Harta pusaka tinggi sendiri termasuk wakaf ahli, yakni wakaf dimana si pewakaf menentukan penggunaan harta untuk keluarga dan keturunannya (dalam hal ini hanya melalui jalur wanita).Lihat 3, hal 39
Syarat wakaf adalah adanya waqif (pewakaf), nadzir (yang menerima wakaf), mauquf (benda yang diwakafkan), sighat (ikrar wakaf), tujuan peruntukan wakaf dan jangka waktu wakaf.Lihat 5, hal 642 Sighat (ikrar wakaf) harus dilafadzkan ketika menyerahkan wakaf kepada nadzir dan disaksikan oleh 2 orang saksi.
Kritik Terhadap Adat
Nasab
Aplikasi dari sistem matrilineal ini adalah nasab si anak mengikuti nasab ibunya, suku anak sesuai dengan suku ibunya, bukan bapaknya. Hal ini jelas bertentangan dengan Islam, karena menurut Islam nasab seorang anak berdasarkan bapaknya.
Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka syurga baginya haram (HR Ibnu Majah).
Seorang yang bernama Syamsuar Koto maka dia masih bernasab kepada ibunya karena dia menggunakan suku Ibunya (Koto) di belakang namanya. Jika Bapaknya bernama Nazaruddin maka namanya yang benar menurut Islam adalah Syamsuar bin Nazaruddin.
Sehingga kita temukan nama-nama Islam, seperti: Muhammad bin Abdullah, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan lain-lain. Ketika anak angkat Rasulullah saw yang bernama Zaid dinasabkan kepada Rasulullah saw dan di beri nama Zaid bin Muhammad, Rasulullah saw di tegur oleh Allah swt melalui surah Al-Ahzab ayat 5 dan dinasabkan kembali kepada Bapaknya menjadi Zaid bin Haritsah.Lihat 6, hal 827
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka (Al-Ahzab 5).
Wakaf
Harta pusaka tinggi boleh saja diwakafkan kepada ahli waris dan keluarga tertentu saja, misal: hanya kepada wanita.Lihat 5, hal 643
Jika harta pusaka tinggi ini mau ditetapkan hukumnya sebagai wakaf maka syarat wakaf harus dipenuhi, yakni Lafadz sighat (ikrar wakaf) ketika diserahkan kepada Nadzir.
Lantas apakah syarat wakaf telah dipenuhi ketika harta pusaka tinggi berubah statusnya menjadi wakaf?. Jika belum, maka tentu saja harta tersebut masih syubhat seperti difatwakan oleh Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Kesimpulan
Tujuan pengaturan adat Minang terhadap harta pusaka tinggi bertujuan baik yakni agar keluarga besar kaum tidak melarat dan mempunyai bekal ketika ahli waris meninggal, “Ganggam Bauntuak, Hiduik Bapangadok” Juga, untuk membentengi tanah-tanah Minang dari penguasaan orang-orang dari luar Minang. Tetapi tujuan baik ini (maslahat) jangan sampai mengabaikan syara’ (syari’at) yang menjadi landasan adat Minang.
Indak ado kusuik nan tak salasai, indak ado karuah nan tak janiah (tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan). Tapi penyelesaian masalah (kusuik) tetap harus mengacu kepada syara’, jika ada syara’ yang tidak terpenuhi maka harus disempurnakan agar sesuai dengan hukum syara’.
Jika di rasa bahwa ada hukum Islam yang belum dipenuhi dalam masalah harta pusaka tinggi ini, maka adat harus mengikuti syara’ karena posisi syara’ lebih tinggi daripada adat (adat basandi syara’). Adat bukanlah suatu yang sakral dan bisa saja di ubah jika memang kondisinya menghendaki, “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah” (sekali air besar, sekali tepian berubah).
Wallahua’lam
Terlihat ada kegamangan orang Minang disini, satu sisi mengaku tunduk pada syara’ tetapi di sisi lain tidak menggunakan hukum waris Islam (faraidh) dalam hal harta pusaka tinggi.
Ulama Minang yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah, Syaikh Thahir Jalaluddin di Perak Malaysia dan KH Agus Salim.Lihat 4, hal 23 Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, imam dan khatib Masjidil Haram Mekah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya itu dan tidak mau kembali kekampungnya, Beliau meninggal di Mekah tahun 1916.Lihat 4, hal 103 Hanya murid-murid Beliau yang pulang ke kampung halaman dan menyebarkan Islam, seperti: Syaikh M. Jamil Jambek, DR. Abdul Karim Amrullah (Bapak Buya Hamka), DR. Abdullah Ahmad, Syaikh Jamil Jaho, KH. Ahmad Dahlan dan lain-lain.
Sementara para pahlawan Perang Paderi yang di kenal keras merubah adat Minang yang bertentangan dengan Islam tidak mengusik masalah harta pusaka tinggi, Beliau antara lain H. Miskin, H. Abdurrahman Piabang, Tuanku Lintau, Tuanku Nan Renceh dan lain-lain. Syaikh Abdulkarim Amrullah (Bapak Buya Hamka) mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf.Lihat 4, hal 103
Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota kaum dan diperoleh secara turun temurun melalui jalur wanita (padusi).Lihat 3, hal 5 Biasanya harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam dan hutan. Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya di kelola oleh Mamak Kepala Waris (Angku).
Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain: hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah dan hak menggembala. Jika berupa air (tabek) maka hak pakainya adalah memanfaatkan air dan menangkap ikan.Lihat 3, hal 23
Disamping harta pusaka tinggi, masih ada harta pusaka lain yang dimiliki oleh masyarakat Minang, seperti: tanah ulayat nagari dan tanah ulayat suku, tetapi status tanah seperti ini sudah punah dan jarang ditemukan di Minang karena perkembangan penduduk dan sosial ekonomi.Lihat 3, hal 5
Harta pusaka tinggi tidak boleh di jual dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan diantara petinggi kaum, diutamakan digadaikan kepada suku yang sama tetapi dapat juga digadaikan kepada suku lain.
Tergadainya harta pusaka tinggi karena 4 hal:
1. Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang tak bersuami)
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
2. Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah)
Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
3. Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor)
Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.
4. Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang terendam)
Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan Penghulu (Datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
Klan Wanita
Adat Minang mengikuti klan Wanita, artinya mereka menggunakan sistem Matrilineal sehingga nasab (hubungan kekeluargaan) mengikuti jalur ibu.Lihat 1
Sistem klan wanita ini dijelaskan dari 4 Tapak Pijakan orang Minang:
1. Ba-nasab pado ibu.2. Ba-sandi pado syarak.3. Ba-sako ka pusako.
4. Ba-ulayat ka tanah tinggi /pusako tinggi.Lihat 2
Terkait dengan nasab yang mengikuti jalur wanita maka struktur adat juga mengacu kepada jalur wanita: 1) Suku (kumpulan dari beberapa kaum), 2) Kaum (kumpulan dari beberapa jurai), 3) Perut (kumpulan dari beberapa keluarga komunitas seibu), 4) Jurai (kumpulan dari beberapa keluarga inti dari garis ibu yang sama), 5) Keluarga inti (kumpulan ibu dan anak, tidak termasuk ayah).Lihat 1; juga 4, hal 23
Jika kaum ini semakin besar dan keluarga dari kaum tersebut makin berkembang maka kumpulan dari beberapa kaum ini bisa membentuk sebuah suku dan mengangkat seorang Datuk sebagai pemimpinnya.
“Anduang” adalah nenek tertua dari kaum. “Angku” adalah saudara laki-laki tertua dari nenek, sedangkan Mamak adalah saudara laki dari ibu. Kumpulan Angku dan Mamak ini di sebut “Ninik Mamak”
Angku merupakan pemimpin kaum dan mempunyai kewenangan mengelola harta pusaka tinggi. Namun demikian, pemilik asli dari harta pusaka tinggi berada di pihak wanita yang dikepalai oleh Anduang. Anduang pula yang mempunyai kewenangan komersialisasi, menyimpan dan mendistribusikannya harta pusaka tinggi.Lihat 3
Sehingga tidak lazim di daerah Minang jika pemilik tanah pusaka menggunakan nama laki-laki, karena pemilik aslinya adalah wanita. Misal: Ini tanah Anduang Rukayah, bukan tanah Sutan Bagindo!
Sialnya Laki-laki Minang
Laki-laki Minang adalah korban dari sistem matrilineal, dimana nasab anak mengacu kepada Ibu, kepemimpinan di tangan Mamak dan harta pusaka tinggi turun temurun jatuh ke jalur wanita. Sehingga laki-laki Minang paling sial di dunia!, ini bukan sekedar ungkapan tetapi begitulah kenyataannya. Kesialan ini terjadi karena keteguhan menjalankan adat dan meninggalkan ajaran Islam, “Adat indak lakang jo paneh, indak lapuak jo hujan” (adat tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan).
Seperti dijelaskan di atas bahwa sitem matrilineal menjadikan wanita sebagai penguasa penuh atas harta pusaka tinggi. Sistem matrilineal juga menempatkan Angku/Mamak sebagai penguasa di tengah kaumnya.
Anak laki-laki dari anggota kaum tidak memiliki hak atas rumah yang ditempatinya karena kepemilikan turun temurun kepada jalur wanita. Ketika anak laki-laki sudah mulai beranjak baligh maka dia harus meninggalkan rumah dan tinggal di surau (mesjid), memalukan bagi anak laki-laki remaja masih tinggal di rumah ibunya. Di surau dia di tempa menjadi mandiri dan sekaligus belajar Islam dari para Buya (ulama).
Ketika dewasa dia menikahi seorang wanita dari suku lain maka dia akan tinggal di rumah istrinya, rumah yang merupakan milik anggota suku istrinya dan bukan miliknya. Di tengah suku isterinya dia tidak memiliki kekuatan apapun, kewajiban nafkah ada di tangan Mamak (saudara laki-laki isterinya), bahkan malu seorang isteri meminta nafkah kepada suaminya karena dianggap mamaknya tidak bertanggung jawab. Segala keputusan ada di tangan Mamak, hanya saat menikahkan anaknya saja sang Mamak berunding dengan dirinya. Konsekuensi dari tanggung jawab nafkah di tangan Mamak, laki-laki Minang dengan mudah kawin lagi dengan wanita lain kemudian keluarga baru itu dinafkahi lagi oleh sang Mamak. Bisa jadi kerjanya hanya nongkrong di warung kopi, main koa, berburu babi, mengurus perkutut dan mengadu ayam.
Ketika laki-laki ini bekerja dan memperoleh kekayaan, jika dia buat rumah di atas tanah suku isterinya maka harta itu menjadi milik isterinya, jika isterinya meninggal maka dia tidak berhak lagi menempati rumah itu karena rumah dimiliki oleh suku isterinya, sementara sukunya berbeda dengan suku isterinya. Jika rumah dibelikan buat kemenakan yang satu suku dengannya, maka rumah itu juga bukan miliknya karena kepemilikan semua harta jatuh ke tangan wanita, laki-laki Minang tidak berhak menerima warisan menurut adat.Lihat 4, hal 39 Di rumah isteri dia tidak punya hak, di rumah kemenakan tidak punya waris, ketika tua dia terdampar kembali di surau menunggu ajal menjemputnya.
Ketika remaja terusir dari rumah ibunya dan tinggal di surau, serta berusaha menghidupi dirinya. Dewasa dan menikah dia tinggal di rumah isterinya, tidak punya wewenang dan tanggung jawab atas keluarganya. Setelah tua terusir lagi dari rumah isterinya dan kembali tinggal di surau. Bahkan Mamak-mamak yang tadinya berkuasa, di hari tuanya akan bernasib sama, padahal dia telah berjasa mengolah harta pusaka tinggi tetapi tidak bisa menikmati hasilnya. Laki-laki Minang hanya sebagai “Kabau pahangkuik abu, gajah palajang bukik” (pekerja keras). Benar-benar sial! Alhamdulillah, adat jahiliyah seperti ini sudah mulai punah.
Akibatnya banyak laki-laki Minang memilih merantau dan tidak kembali lagi kekampungnya akibat sistem adat yang tidak adil ini. Sebut saja Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah, Syaikh Thahir Jalaluddin di Perak Malaysia, Rajo Bagindo di Sabah dan Serawak Malaysia (Rajo Bagindo juga mengembara hingga ke Mindanao Pilipina dan menurunkan Raja-raja Sulu), Rajo Malewar mendirikan kerajaan di Negeri Sembilan Malaysia dan masih eksis hingga kini, Makhudum Sati yang merantau ke Aceh.Lihat 4, hal 110
Pendekatan Hukum Islam
Kedatangan agama Islam ke ranah Minang di terima dengan baik oleh tokoh adat, hanya saja dalam masalah harta pusaka tinggi mereka tidak mau mewariskan kepada anaknya karena bertentangan dengan adat.Lihat 4, hal 25 Akhirnya di ambil jalan tengah bahwa harta pusaka rendah (harta pencaharian) dibagi menurut hukum waris Islam (faraidh) dan harta pusaka tinggi ditetapkan sebagai Wakaf Ahli (zurri). Tetapi betulkah pendekatan seperti ini, cukupkah syarat harta tersebut ditetapkan sebagai Wakaf Ahli?
Perpindahan harta dari satu pihak ke pihak lain menurut Islam antara lain karena sedekah, jual beli, barter dan waris. Wakaf bisa dimasukkan dalam kategori sedekah.
Wakaf terdiri dari: wakaf umum, khusus dan ahli. Harta pusaka tinggi sendiri termasuk wakaf ahli, yakni wakaf dimana si pewakaf menentukan penggunaan harta untuk keluarga dan keturunannya (dalam hal ini hanya melalui jalur wanita).Lihat 3, hal 39
Syarat wakaf adalah adanya waqif (pewakaf), nadzir (yang menerima wakaf), mauquf (benda yang diwakafkan), sighat (ikrar wakaf), tujuan peruntukan wakaf dan jangka waktu wakaf.Lihat 5, hal 642 Sighat (ikrar wakaf) harus dilafadzkan ketika menyerahkan wakaf kepada nadzir dan disaksikan oleh 2 orang saksi.
Kritik Terhadap Adat
Nasab
Aplikasi dari sistem matrilineal ini adalah nasab si anak mengikuti nasab ibunya, suku anak sesuai dengan suku ibunya, bukan bapaknya. Hal ini jelas bertentangan dengan Islam, karena menurut Islam nasab seorang anak berdasarkan bapaknya.
Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka syurga baginya haram (HR Ibnu Majah).
Seorang yang bernama Syamsuar Koto maka dia masih bernasab kepada ibunya karena dia menggunakan suku Ibunya (Koto) di belakang namanya. Jika Bapaknya bernama Nazaruddin maka namanya yang benar menurut Islam adalah Syamsuar bin Nazaruddin.
Sehingga kita temukan nama-nama Islam, seperti: Muhammad bin Abdullah, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan lain-lain. Ketika anak angkat Rasulullah saw yang bernama Zaid dinasabkan kepada Rasulullah saw dan di beri nama Zaid bin Muhammad, Rasulullah saw di tegur oleh Allah swt melalui surah Al-Ahzab ayat 5 dan dinasabkan kembali kepada Bapaknya menjadi Zaid bin Haritsah.Lihat 6, hal 827
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka (Al-Ahzab 5).
Wakaf
Harta pusaka tinggi boleh saja diwakafkan kepada ahli waris dan keluarga tertentu saja, misal: hanya kepada wanita.Lihat 5, hal 643
Jika harta pusaka tinggi ini mau ditetapkan hukumnya sebagai wakaf maka syarat wakaf harus dipenuhi, yakni Lafadz sighat (ikrar wakaf) ketika diserahkan kepada Nadzir.
Lantas apakah syarat wakaf telah dipenuhi ketika harta pusaka tinggi berubah statusnya menjadi wakaf?. Jika belum, maka tentu saja harta tersebut masih syubhat seperti difatwakan oleh Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Kesimpulan
Tujuan pengaturan adat Minang terhadap harta pusaka tinggi bertujuan baik yakni agar keluarga besar kaum tidak melarat dan mempunyai bekal ketika ahli waris meninggal, “Ganggam Bauntuak, Hiduik Bapangadok” Juga, untuk membentengi tanah-tanah Minang dari penguasaan orang-orang dari luar Minang. Tetapi tujuan baik ini (maslahat) jangan sampai mengabaikan syara’ (syari’at) yang menjadi landasan adat Minang.
Indak ado kusuik nan tak salasai, indak ado karuah nan tak janiah (tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan). Tapi penyelesaian masalah (kusuik) tetap harus mengacu kepada syara’, jika ada syara’ yang tidak terpenuhi maka harus disempurnakan agar sesuai dengan hukum syara’.
Jika di rasa bahwa ada hukum Islam yang belum dipenuhi dalam masalah harta pusaka tinggi ini, maka adat harus mengikuti syara’ karena posisi syara’ lebih tinggi daripada adat (adat basandi syara’). Adat bukanlah suatu yang sakral dan bisa saja di ubah jika memang kondisinya menghendaki, “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah” (sekali air besar, sekali tepian berubah).
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar